Episode 7: Marah

2050 Kata
Sudah hampir pukul 9 malam saat Gustian pulang dengan wajah marah yang tak kutau karna apa. Apa dia punya masalah? Aku tak ingin bertanya, tak ingin mengusik masalah pribadinya. Aleo sudah tidur pulas saat Gustian tiba tadi. Aku pun sudah siap untuk tidur, mengambil bantal dan selimut dari lemari dan bersiap merebahkan diri saat Tian keluar dari kamar mandi. "Apa kau gila?" Gustian yang hanya mengenakan handuk untuk menutupi tubuh bagian bawahnya langsung berjalan kearahku dan membentakku tanpa alasan. Aku yang kebingungan langsung duduk dan memalingkan wajahku dari tubuh setengah telanjangnya. Tuhan, mataku ternoda "Aku salah apa? Dan tolong kenakan dulu pakaianmu sebelum kita bicara" "Aku sudah cukup menahan diri Nola. Lalu katakan kenapa kau mempermalukanku dengan sengaja meminjam uang dari Danu?" Apa karna itu dia marah? Apa yang salah dari meminjam uang? Lagipula Danu tau hubungan kami yang sebenarnya seperti apa, jadi apa yang perlu dirahasiakan dari Danu? "Tenang saja aku akan membayarnya dan tentu saja setelah aku menerima gaji pertamaku" "Kau pikir aku mempermasalahkan apa? Kau merendahkanku Nola" "Kecilkan suaramu Tian! Aleo bisa terbangun jika kau terus berteriak-teriak seperti itu. Masalah uang itu, aku meminjamnya dari Danu karna aku memang tak mempunyai uang sama sekali" "Lalu kemana ATM yang kuberikan padamu waktu itu? Lagipula kenapa kau tidak memintanya dariku?" "Aku tidak akan menggunakan uangmu Tian bukankah sudah kukatakan itu sejak awal" "Kalau begitu jangan gunakan atau makan apapun dari uang yang kuhasilkan" Gustian berlalu dari hadapanku, mengambil baju dari lemari, masuk ke kamar mandi dan membanting pintunya dengan sangat kuat. Beruntung Aleo tidak terbangun karna perbuatanya itu. "Baiklah akan kulakukan sesuai apa yang kau perintahkan" Teriakku tak mau kalah. Tak ingin berdebat denganku lagi, Tian memilih merebahkan diri didekat Aleo. Kenapa dia begitu marah? Danu jelas tau kalau aku bukan siapa-siapanya Gustian. Jadi apa yang begitu memalukan baginya jika aku meminjam uang dari Danu. Lagipula selain Danu aku belum mengenal siapapun. Dan terus terang saja aku memang tidak ingin menggunakan uang Tian. Tengah malam. "Mama" Aku langsung terbangun saat Aleo berteriak mencariku. Tuhan jangan sampai dia tau kalau aku tidur di sofa. "Iya sayang. Kenapa Aleo terbangun?" "Mama kemana?" Aleo terisak dan langsung berhambur memelukku saat aku sudah dekat dari jangkauanya. "Mama haus sayang, jadi mama ambil minum. Ayo tidur lagi, sekarang masih malam sayang" Aleo hanya mengangguk dan kembali merebahkan diri. Kuelus rambutnya dengan sayang untuk membuatnya kembali terlelap. Setelah yakin Aleo sudah tidur, dengan sangat pelan kutarik tanganku yang sejak tadi dijadikanya bantal. Aku hendak kembali tidur disofa saat tangan Gustian menarik tanganku dan berbisik, "Tidurlah disini! Aku tidak mau Aleo terbangun dan menangis seperti tadi karna kau tidak ada disampingnya" Aku hanya mengangguk dan melepaskan genggaman tangan Gustian. Karna masih sangat mengantuk akupun langsung tertidur dan tak begitu memusingkan kalau aku sedang tidur di satu tempat tidur dengan seorang laki-laki yang hanya terpisahkan oleh Aleo. *** Pagi-pagi sekali seperti biasa aku jadi orang pertama yang membuka mata. Kucium pipi Aleo sebelum akhirnya turun dan melakukan rutinitas pagiku. Karna sudah terbiasa, rasanya canggung kalau hanya melihat dan tidak ada yang bisa kukerjakan. Setidaknya pelayan dirumah ini sudah akrab dan mulai menerima kehadiranku didapur mereka, jadi tak ada lagi tatapan tidak enak yang selalu mereka perlihatkan padaku. "Apa ibu dan bapak tidak pulang?" Aku bertanya karna penasaran kemana orang tua Gustian yang sejak kemarin tidak kulihat. "Nyonya tidak tau? Mereka pulang kerumah utama nyonya" Rani angkat bicara untuk menjawab keingintauanku. "Rumah utama? Jadi ada rumah lain selain rumah ini?" "Lho nyonya tidak tau? Rumah ini adalah rumah peninggalan almarhum kakeknya tuan Gustian nyonya. Rumah ini satu-satunya rumah yang tidak diketahui oleh media" "Jadi sebenarnya mereka tidak tinggal disini?" "Iya. Mereka tinggal dirumah utama nyonya. Nah rumah itu adalah rumah tempat mereka menjamu tamu ataupun orang penting lainnya. Rumah ini bahkan tidak pernah dikunjungi oleh mereka sebelumnya. Hanya tuan Tian yang sesekali pulang kesini" Mendengar penjelasan dari Rani aku menyadari satu hal. Ternyata mereka benar-benar mempersiapkan semuanya dengan sangat sempurna. Sungguh tak ada cela sedikitpun bagiku untuk masuk ke dalam kehidupan mereka. Perasaan senang karna aku diakui sebagai seorang istri dirumah ini tiba-tiba saja menguap entah kemana. Aku bukanlah siapa-siapa. Lagipula kenapa rasanya begitu sakit menerima kenyataan itu? Apa karna aku begitu takut berpisah dengan Aleo? Atau karna aku sempat berharap kalau pernikahanku akan menjadi pernikahan pertama dan terakhir kalinya bagiku? Belum apa-apa sifat serakahku muncul begitu saja. Jujur aku sangat malu untuk mengakui keserakahanku itu. Sudah kuputuskan aku tak ingin menjadi serakah. Akan kulakukan apapun untuk segera bisa meninggalkan rumah ini. Apapun yang terjadi aku harus membuang jauh-jauh keinginanku untuk terus bersama Aleo. Bagaimanapun Aleo memanglah bagian dari keluarga ini dan aku bukanlah siapa-siapa. Untuk itu aku harus bekerja keras. Harus terbiasa tanpa Aleo dipelukanku dan yang pasti harus mengumpulkan uang sedikit demi sedikit untuk menjamin kehidupanku selanjutnya setelah Tian resmi menceraikanku. *** "Nola kenapa wajahmu pucat sekali?" "Benarkah?" Aku memperhatikan raut wajahku dipantulan cermin yang ada di samping meja resepsionis. Mukaku memang terlihat sangat pucat meskipun bisa disembunyikan dengan lipstik merah muda yang sedang kupakai. "Jika kau sakit istirahatlah sebentar. Biar aku dan Rasid yang jaga disini" "Sebaiknya juga begitu. Terima kasih untuk pengertianya Novi" Aku segera beranjak ke ruang istirahat meninggalkan Novi dan Rasid yang beberapa hari ini sudah jadi teman baikku di meja resepsionis. Sudah beberapa hari sejak aku mulai bekerja secara resmi di hotel Grand Paradise milik Tian. Dan sudah beberapa hari juga aku menghemat uang 200 ribu yang kupinjam dari Danu untuk mencukupi kebutuhan sehari-hariku. Bisa dibilang aku sedang marah. Jadi aku menuruti perkataan Tian untuk tidak menggunakan atau makan dari uang yang dia hasilkan. Alhasil beginilah aku, aku jadi kekurangan tenaga karna tidak makan makanan yang cukup dan juga tidak bisa istirahat dengan tenang karna terus menahan lapar. Kuminum air sebanyak mungkin untuk mengganjal perutku yang lapar dan kurebahkan tubuhku sembari memejamkan mata berharap air yang kuminum tadi bisa membuatku tidur dengan nyenyak. Aku tidak ingat apa-apa. Sungguh aku tidak mengetahui apapun. Dan bodohnya aku yang bahkan tidak tau sejak kapan aku sudah berada di dalam kamar yang sudah seminggu ini kutempati. Lagipula sudah berapa lama aku tertidur? "Aww apa ini?" Kuperhatikan tanganku yang entah sejak kapan pula sudah dipasangi inpus. "Kau sudah bangun?" "Tian? Dimana Aleo?" "Dia sudah tertidur setelah hampir seharian menangis melihat keadaanmu" "Aku ingin menemuinya" "Jangan Nola! Dia baru saja tertidur. Biarkan dia istirahat bersama Rani dan ingat kau juga butuh istirahat." Air mataku jatuh. Apa yang kulakukan? Bagaimana mungkin aku membuat anak sekecil itu menghawatirkan keadaanku? Apa pula yang kuharapkan setelah jatuh sakit seperti ini? Ah bodohnya aku. "Kenapa kau bisa kekurangan energi seperti itu Nola? Apa kau tidak makan?" "Aku tidak punya cukup uang" Gustian langsung menutup mukanya dengan frustasi, aku tau dia pasti marah dengan kekeraskepalaanku. "Uang lagi uang lagi. Sebegitu tidak inginnya kah kau memakai uang yang kuberikan padamu?" "Kau sendiri yang mengatakan kalau aku tidak boleh makan dari uang yang kau hasilkan. Aku hanya menuruti keinginanmu" Tian menatapku tajam dengan wajah marah yang tak bisa dia sembunyikan. "Dasar bodoh. Apa setiap ucapanku harus selalu kau anggap serius dan kau turuti?" "Tentu saja. Kau suamiku, kau imamku, jadi apa yang kau katakan adalah sebuah perintah bagiku dan aku wajib untuk melakukanya" "Kalau begitu buka bajumu?" "A a apa? Kau sudah gila" Aku langsung menyilangkan tanganku didepan d**a dan mendorong Gustian dengan kakiku "Kenapa? Bukankah tadi kau berbicara sesuatu mengenai kewajiban? Apa sekarang kau tidak ingin menuruti perintah suamimu?" Gustian tersenyum mengejek ke arahku. "Jangan berbuat bodoh Nola. Jika kau sakit maka Aleo lah orang yang paling menderita disini. Jadi berhenti keras kepala dan hiduplah sebagai nyonya Gustian selama waktu yang masih tersisa. Dan juga aku minta maaf untuk perkataanku waktu itu. Aku juga sudah menyiapkan uang untukmu, jika kau memang keberatan untuk menggunakanya maka anggaplah uang itu sebagai hutang" Aku diam saja, tak ingin mengatakan hal-hal yang sudah pasti akan memancing kemarahan Gustian lagi. "Tidurlah. Aku akan tidur disofa agar istirahatmu tidak terganggu" "Tidak tidurlah disini." Sebelum Gustian sempat pergi, aku menarik tangannya dengan tanganku yang bebas dari jarum inpus. "Jujur saja tidur disofa sangatlah tidak nyaman dan juga tempat tidur ini terlalu luas untukku sendiri. Aku juga minta maaf untuk kelakuanku yang kekanak-kanakan tanpa memikirkan Aleo maupun kedudukanmu" Gustian hanya mengangguk dan langsung merebahkan diri membelakangiku. Mungkin Tian sudah tertidur saat perutku berbunyi minta diisi. Sebaiknya aku makan. "Tian apa kau sudah tidur?" Tak ada jawaban. Kuperhatikan jam yang sudah menunjukan pukul 01.00 malam. Sepertinya aku harus turun sendiri. Aku lapar. Cairan inpus itu sama sekali tak membuat perutku merasa kenyang. Perlahan aku berjalan mengendap-endap persis seperti seorang pencuri. Bukan apa-apa aku cuma tidak mau membangunkan Gustian yang baru beberapa saat lalu memejamkan mata. "Kau mau kemana?" Gustian langsung terduduk saat menyadari pergerakanku. "Aku lapar" "Tunggulah disini akan kuambilkan nasi untukmu. Apa kau bodoh? Kau tidak lihat selang infusmu berdarah?" "Oh bagaimana ini?" Gustian langsung menarikku ke tempat tidur dan meletakkan botol infus ke tempat semula. Selanjutnya dia mempercepat aliran cairanya agar darah tidak segera membeku diselang dan membuat infusnya tidak berjalan. "Lain kali bangunkan aku kalau ada sesuatu yang kau butuhkan" Gustian meninggalkanku yang masih terpana. Jujur malam ini aku menemukan sisi lain dari sosok dingin dan arogan Gustian. Ternyata dia juga bisa bersikap hangat dan perhatian. Kak Hilda, aku tau kau tidak mungkin mencintai laki-laki yang salah. Seharusnya aku menyadari itu sejak awal. Gustian mungkin hanya tidak menunjukan sisi itu padaku yang bukan siapa-siapa baginya. Selesai makan, kantukku benar-benar menghilang karna sudah hampir seharian tertidur. Sama halnya dengan Gustian, kulihat sedari tadi Gustian hanya sibuk dengan ponselnya tanpa berniat memejamkan mata lagi. Mungkin dia juga kesulitan untuk tidur karna sudah terbangun. "Mm Tian boleh aku bertanya?" "Apa?" Gustian hanya melirikku sekilas kemudian kembali sibuk dengan ponselnya. "Bagaimana kau bisa mengenal kak Hilda?" "Dia bekerja disalah satu pusat perbelanjaan milikku" "Lalu bagaimana kisah cinta kalian?" Kali ini Gustian langsung melepaskan ponselnya dan menatap kearahku. "Apa sekarang semuanya menjadi penting?" "Tidak sih. Hanya saja aku sangat ingin tau mengapa kak Hilda bisa hamil anakmu dan mengapa pula kak Hilda menyembunyikanya darimu" Gustian menghela nafas berat sebelum akhirnya menjawab pertanyaanku. "Tentu saja karna suka sama suka. Tapi Hilda memilih menghindar dan menanggung semuanya sendiri bahkan aku tidak tau kalau dia hamil" "Apa benar seperti itu? Setauku kak Hilda bukanlah orang yang akan tidur dengan sembarang orang" "Lalu apa kau pikir aku ini laki-laki sembarangan?" "Iya juga sih. Tapi maksudku kak Hilda bukan tife orang yang akan dengan mudah memberikan keperawananya." Kembali Gustian menghela nafas berat sebelum menjawab pertanyaanku. "Apa kau pernah benar-benar menyukai seseorang?" "Tidak" Aku menjawab cepat karna begitu yakin aku tidak pernah benar-benar menyukai seseorang. "Itulah jawabanya. Saat kau benar-benar menyukai seseorang maka akal sehatmu sekalipun tidak akan bisa mencegahmu menyerahkan semuanya pada laki-laki yang kau sukai" Apakah benar seperti itu? Apa kak Hilda benar-benar menyerahkan hidupnya untuk Gustian hanya karna emosi yang disebut dengan cinta itu? Apa yang begitu kak Hilda sukai dari laki-laki ini? "Lalu apa kalian punya hubungan kusus? Pacaran misalnya?" "Iya. Tapi kemudian dia memilih menyerah, mungkin karna campur tangan keluargaku atau juga karna merasa hubungan yang kami bina tidak mungkin berhasil" "Kau tidak menahanya?" "Dia yang ingin pergi, lalu aku bisa apa?" "Harusnya kau pertahankan dia, harusnya kau tau kalau dia sedang hamil, dan harusnya kau cari tau seperti apa hidupnya setelah memilih berpisah denganmu" "Aku melakukanya, aku juga mengawasi setiap gerak-geriknya. Tapi kemudian Hilda memutuskan berhenti dari tempatnya bekerja dan memintaku untuk tidak mengawasinya lagi. Dia bahkan mengancam akan melaporkanku ke polisi kalau aku masih ikut campur dengan kehidupan pribadinya" Aku kembali diam. Kenapa kak Hilda bersikap seperti itu? Apa ada yang mengancamnya? Apa yang membuat kak Hilda mengambil keputusan untuk melahirkan anaknya sendiri? Apa mungkin dia takut Gustian tidak mau bertanggung jawab? "Tidurlah. Kau perlu banyak istirahat agar bisa bekerja. Dengan begitu kau baru bisa membayar hutangmu. Berhenti memikirkan hal-hal yang sudah berlalu. Saat ini kau hanya perlu memikirkan bagaimana caranya agar Aleo cepat terbiasa tanpa kehadiranmu. Dengan begitu kau pun bisa bebas melanjutkan hidupmu" "Aku tau. Lagipula Aleo sudah mulai dekat dengan keluargamu dan lingkungan barunya. Hanya tinggal menunggu hari sampai Aleo terbiasa tanpa aku disisihnya" Kembali hatiku terasa nyeri saat mengingatnya, mengingat bahwa Aleo putra yang sejak kecil kujaga dan begitu kusayangi akan kembali kekeluarga kandungnya. Seolah selama ini Aleo hanya dititipkan padaku dan kemudian diambil lagi oleh orang yang memang berhak atas dirinya. Tuhan kenapa rasanya begitu sakit? to be continue...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN