Adinda Haris
Davin Viona
"Bagaimana?" tanya Davin setelah cukup lama saling diam di dalam mobil. Viona juga tampak tidak baik-baik saja semenjak masuk ke mobil.
"Aku lelah, Mas. Bagaimana kalau kita menginap di hotel malam ini? Kita. … nggak usah pulang. Aku capek." Viona menggigit bibir bawahnya. Mengusir rasa takut dan ragu yang menyelimuti hatinya. Saat mengajak Davin menginap di hotel, sedangkan jarak rumah dengan posisi mereka sekarang sudah amat sangat dekat.
Tinggal lima menit perjalanan lagi mereka akan sampai, jika tidak halangan tertentu.
"Kamu yakin kita nginap di hotel? Jarak rumah dan hotel jika dihitung, lebih jauh jarak hotel, Vi."
Sebelum memutar balik mobil yang ia kendarai, Davin memilih untuk meminta kepastian dari pernyataan aneh milik Viona.
Viona mengangguk cepat. "Ini bukan masalah dekat atau jauh, Mas. Ini lebih menjurus ke tempat yang nyaman. Aku masih merasa canggung berada di rumahmu. Dan aku juga tidak nyaman dengan rumahku sendiri. Maka dari itu aku ingin tidur di hotel malam ini. Itupun kalau kamu tidak keberatan."
"Oke, kalau itu yang kamu mau. Aku akan mengikutinya." Davin mengulas senyum. "Tapi kalau boleh aku memberi saran padamu, Vi. Kamu bisa menceritakan apapun padaku. Aku siap menampung dan membantumu untuk mencari jalan keluar agar kamu bisa lepas dari segala masalah."
Davin menoleh sekilas kepada Viona yang ada di sampingnya. Pria itu mencoba menebak apa yang telah dibicarakan Viona dan Garis. Kalau ia tidak salah menebak, bisa dipastikan mereka membahas masalah yang membuat gadis itu tersudut. Buktinya kini Viona tampak gelisah, tidak seperti tadi sebelum mereka memutuskan untuk menemui Haris.
Sayangnya saja tadi Davin memiliki posisi yang cukup jauh dari Viona dan Haris. Sehingga ia tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang mereka bicarakan sampai-sampai Viona tampak seperti orang linglung seperti sekarang.
"Nggak apa-apa hotel ini saja?"
Davin memastikan. Sebelum mereka masuk ke hotel yang cukup mewah. Meski tidak berbintang lima, tapi cukup untuk mereka menginap melepaskan rasa lelah yang memang sudah mulai mendera.
"Tidak apa-apa. Yang penting nyaman, ya, kan?" Viona memaksakan senyumannya. Langsung saja ia membuka ponsel untuk memesan sesuatu begitu mendapatkan hotel yang akan mereka tuju.
"Mas, karena kita tidak memiliki pakaian ganti. Tidak masalah kan, aku pesan pakaian untukmu? Tenang saja, ini cash on delivery, jadi kamu bisa bayar nanti. Kalau nggak mau aku traktir."
Viona kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas. Sebelum Davin keluar dari mobil.
"Tidak apa-apa. Asalkan kamu memesan pakaian pria untukku." Davin sedikit bergurau agar Viona sedikit rileks, setelah menghadapi kecanggungan yang tiba-tiba saja muncul.
Viona hanya mengulas senyum. Pikirannya melayang entah kemana saat ini. Melihat Davin rasanya ia ingin menyampaikan sesuatu, tapi kembali ditepis. Sepertinya ia tidak ingin bertanya, tapi akan langsung saja meminta apa yang telah direncanakan.
Meminta yang dikatakan Haris, tidak akan pernah terjadi karena Viona masih mencintainya. Dan tidak akan pernah sempurna menjadi istri pria asing yang baru saja ditemukan di rumah sakit.
"Mas, aku mandi duluan, ya, gerah," tutur Viona begitu mereka sampai di kamar hotel. Tanpa mengizinkan Davin menyahut terlebih dahulu, ia sudah berlari ke kamar mandi. Meletakkan begitu saja tasnya di atas ranjang, tanpa peduli dengan keheranan Davin.
Mencoba abai, Davin memilih bersantai di sofa menanti kedatangan kurir yang dipesan Viona untuk membeli pakaian ganti mereka berdua. Sebenarnya Davin sudah lelah dan mengantuk, tapi ia tidak memiliki pilihan lain selain menunggu. Kalau dibawa tidur takutnya malah kebablasan dan ketiduran.
Di dalam kamar mandi Viona menatap tubuhnya sendiri di cermin yang menggantung di belakang pintu. Ia menimbang apakah akan melakukannya sekarang atau tidak. Tubuh yang telah melewati banyak perawatan untuk menjalani ritual malam pertama itu, kini ditatap Viona.
Rasanya ia tidak ingin melangkah jauh secepat ini, tapi ia tidak ingin Haris memandang sebelah mata pada sosok Davin yang menurutnya baik.
Bukan cuma itu, Viona pun tidak ingin dikuasai oleh harapan untuk kembali kepada Haris. Hatinya yang sangat mudah bimbang, tentunya membuat Viona ingin segera utuh menjadi istri Davin. Daripada nanti ia termakan rayuan Haris, yang belum tentu benar.
Buktinya saja satu hari ini tidak ada kabar apapun tentang kecelakaan yang menimpa Haris dan keluarganya. Itu sudah jelas sebuah kebohongan yang dibungkus dengan drama agar Viona kembali luluh dan kembali kepadanya.
"Vi, kamu jangan terlalu lama di kamar mandi. Ini sudah tengah malam, nanti kamu masuk angin!" seru Davin dari luar seraya mengetuk pintu kamar mandi. Tentu saja menyentak lamunan Viona.
"Iya, Mas. Ini udah kelar, kok." Segera mengenakan kimono handuk yang telah tersedia disana.
"Kamu ngapain saja di dalam? Hampir setengah jam kamu di sana. Nanti masuk angin gimana?" cecar Davin, begitu Viona keluar dari kamar mandi.
"Aku gerah, Mas. Jadi mau hilangin gerah itu dulu baru selesai." Viona mengusap tengkuknya. Sungguh ia tidak kuat berdekatan dengan Davin, apalagi melakukan ….
"Vi, kamu melamun?" Davin menyentuh pundak Viona, yang lagi-lagi hanyut dalam pikirannya sendiri.
"Ah, tidak, Mas. Aku … oh, ya, itu pesanan aku tadi, ya?" segera Viona meninggalkan Davin dan beranjak ke arah ranjang. Di sana telah ada di paper bag, yang baru saja diantarkan kurir.
Davin mengangguk. "Iya, baru nyampe." Mendekati Viona yang tengah memeriksa isi paper bag yang belum sempat dibuka.
"Aku mandi dulu, ya. Kalau kamu lapar, tinggal pesan makanan." Davin menengadahkan tangannya. "Bajuku?"
"Aku sudah kenyang. Biarpun makan sambil berdebat tadi tetap saja kenyang ternyata." Viona sedikit terkekeh untuk mengusir rasa salah tingkah yang muncul saat Davin tidak sengaja melihat isi paper bag yang salah buka.
Mencari pakaian Davin Viona malah tidak sengaja membuka paper bag miliknya. Sehingga Davin bisa melihat salah satu pesanannya berwarna merah muda dengan renda.
"Ah, baiklah kalau gitu aku mandi dulu." Segera beranjak ke kamar mandi setelah mendapatkan sebuah kaos dan celana katun e dari Viona. Tidak lupa seperangkat pakaian dalam yang membuat Davin semakin salah tingkah.
Baru saja ia melihat renda yang telah membuat otaknya berkeliling kemana-mana, kini harus menerima pula benda segitiga dari Viona. Entah muat atau tidak. Davin tidak tahu karena tidak memberi ukuran pasti kepada Viona tadi.
Viona menghela nafas. Begitu Davin menghilang dari kamar mandi. Ia segera membuka pesanannya. Matanya terpejam, menatap sebuah lingerie berbahan satin yang tadi ia pesan.
Jantung Viona berdegup kencang begitu mengenakan lingerie tersebut. Ia tidak menyangka jika belahannya bisa serendah ini. Sehingga membuat dua gundukan padatnya langsung mengintip dari sela belahan tersebut. Renda di bagian belahan memperparah keadaan.
Jika diperhatikan dengan baik. Ada dua benda merah muda yang mengintip di balik renda tersebut. Tidak sampai disitu, di gambar produk tadi, Viona sangat yakin tali yang ada di pundak tidak setipis spaghetti seperti yang datang ini.
"Sama juga bohong aku pakai baju ini, mah. Kalau tahu begini lebih baik aku memesan pakaian dalam juga," gerutu Viona. Menyesali berbelanja di toko, yang tidak mendatangkan barang sesuai dengan deskripsi produk.
Namun, nasi telah menjadi bubur. Lagipula kalau memang benar ingin melakukannya malam ini, maka sesungguhnya lingerie ini sudah sangat baik dan cocok dengan tugasnya. Masalahnya cuma satu sekarang.
Viona tidak mengenal siapa suaminya sendiri. Davin hanya sebagai suami darurat agar sang ayah tidak semakin drop. Jadi belum tentu juga pria itu mau memberikan nafkah batin padanya.
"Mas Davin," gumam Viona dalam hati. Tangannya yang sedang menyisir rambutnya yang panjang, seketika menggantung di udara. Saat tatapannya dan Davin bertemu di cermin.
Meski Viona sudah susah payah untuk meyakinkan dirinya untuk melayani Davin, tetap saja rasanya ia ingin menyelam ke dasar samudra saat berhadapan dengan pria itu.
Begitupun dengan Davin yang tertegun melihat Viona yang duduk di depan meja rias. Meski gadis itu membelakanginya, tapi Davin tetap tahu bagaimana bentuk lingerie yang dikenakan Viona di bagian depan.
Seketika Davin tidak mampu bergerak jika memang harus tidur satu ranjang dengan Viona malam ini.