BAB 3. Mulai Membuatku tertarik.

1924 Kata
Pagi harinya, Akira sampai di kantor seperti biasanya tapi tidak ada yang terlihat mencurigakan. Judy, seniornya yang membimbing wawancara itu juga tidak terlihat aneh melihatnya kembali ke kantor dengan hasil wawancara yang diinginkannya. Semua bersikap biasa saja membuat Akira bingung. “Selamat pagi Akira.” Seorang menyapanya dengan ramah. Dia adalah Jeremy, seniornya juga di kantor. Laki-laki yang baik menurut Akira. Pakaiannya selalu rapi, cara bicaranya menyenangkan, peduli dengan sesama, dan cukup tampan. Tapi jika bahan perbandingannya adalah Chiko tentu saja tidak ada apa-apanya. Karena sekalipun laki-laki itu di mata Akira cukup menyebalkan, Chiko tetap laki-laki paling tampan yang pernah Akira temui secara langsung. Wajar saja jika Chiko memiliki perpaduan wajah sesempurna itu, ayah dan ibunya juga memiliki wajah yang rupawan. “Selamat pagi Kak Jeri.” Akira balas menyapa dengan ramah. “Bagimana wawancaranya kemarin? Lancar?” Tanyanya antusias. Jeremy memang selalu sepeduli itu dengan orang lain sehingga membuat orang lain merasa nyaman. “Lancar dong.” Jawab Akira sambil tersenyum senang. “Terus-terus, aslinya gimana sang superstar? Ganteng nggak?” Laki-laki itu berbisik-bisik penuh rasa penasaran. Akira tersenyum geli. “Banget.” “Judy, seharusnya lo kasih ke gue tugas wawancara Chiko.” Protesnya penuh rasa iri. Akira tertawa ringan. “Tugas langsung datang dari pak bos.” Jawab Judy dengan kekehan geli juga. Jeremy mendesah kemudian kembali ke mejanya sambil meletakkan sebatang coklat di hadapan Akira. “Makasih kak.” Ucap Akira senang. “Lain kali mintain tanda tangan Chiko kalau ketemu lagi yah.” Ujar Jeremy sambil mengedipkan sebelah matanya, Akira tertawa melihat seberapa tertariknya Jeremy pada Chiko. Akira mulai larut dalam pekerjaanya di kantor sementara beberapa rekannya terlihat meninggalkan kantor untuk tugas lapangan. Akira mengingat kembali perkataan Judy tentang tugas wawancara Chiko yang di tugaskan padanya. Judy mengatakan perintah itu datang langsung dari bos. Apakah dalang di balik penjebakan itu adalah bossnya sendiri? Sebenarnya Judy sudah mengatakannya sejak awal bahwa Akira di tugaskan oleh Bos menggantikan seniornya yang sedang tugas di luar kota untuk mewawancarai Chiko, tapi saat itu Akira tidak berpikir panjang saking senangnya dan hanya menerima tugas itu saja. Sejak pertama kali bekerja di tempat itu sejujurnya Akira belum pernah bertemu dengan bos atau direktur di tempat itu. Jabatan paling tinggi yang pernah Akira temui adalah Judy yang merupakan Wakil Pemimpin Redaksi. Selain itu ada Jeremy yang merupakan Redaktur. Akira sendiri masih belum lolos masa percobaan enam bulannya karena itu dia masih belajar banyak hal. Dan kesempatan wawancara eklusif seorang actor besar jika di pikir lagi terasa janggal. Akira bahkan belum mendapatkan kontrak di perusahaan ini. “Kak Jeremy, sudah aku kirim yah naskah tentang wawancara kemarin.” Ucap Akira di balas acungan jempol oleh Jeremy. Sejenak Akira melirik ke arah Judy, mungkinkah wanita itu terlibat? Setelah menyelesaikan tugasnya di kantor, Akira ada dua tugas lapangan hingga sore hari. Kemudian setelah itu baru bisa pulang. Kepalanya sakit memikirkan segala kemungkinan yang terjadi. “Naik apa pulangnya?” Tanya Jeremy dari dalam mobil ketika Akira baru keluar dari kantor. “Ojek online kayaknya kak.” Balas Akira sembari tersenyum. “Ayo bareng aja, apartemen kita searah kan?” Ucap laki-laki itu menerbitkan senyum cerah di wajah Akira. “Boleh kak?” “Boleh dong kan gue yang ngajakin.” Kekeh Jeremy, Akira langsung masuk ke bangku penumpang dan mobil Jeremy melaju menembus jalanan yang lumayan macet itu. “Pulang sama siapa?” Sebuah pesan dari Chiko membuat Akira kaget. Gadis itu pikir Chiko tidak akan pernah menghubunginya untuk hal-hal tidak penting seperti dengan siapa Akira pulang bekerja. “Teman kantor mas.” Balas Akira tapi setelah itu tidak ada balasan lagi dari Chiko membuat Akira kesal. Pesannya bahkan hanya di baca saja. “Makasih banyak kak Jeremy.” Ucap Akira setelah Jeremy menurunkannya di lobby Apartemen. “Besok pagi langsung tugas lapangan apa ke kantor dulu, Ra?” Tanya Jeremy setelah menjawab ucapan terimakasih Akira. “Ke kantor dulu kak, Akira ikut rapat paginya. Kenapa kak?” “Aku nitip beliin bubur ayam yang kayak waktu itu kamu bawa yah?” ucap Jeremy dengan senyum sumringah. Akira memang pernah membawakan Jeremy bubur ayam langganannya dan laki-laki itu ternyata sangat menyukainya. “Siap bos, besok Ira bawain.” Setelah itu Jeremy pergi dan Akira hendak masuk ke dalam apartemennya. Ingin segera berganti pakaian, merebahkan diri sejenak dan tidak ingin memikirkan apapun dulu karena dia lelah fisik dan mental menghadapi segala masalah yang ada. “Ah mbak Akira, ada tamu yang nunggu mbak sejak setengah jam yang lalu.” Ucap sang resepsionis ketika Akira memasuki lobby apartemennya. “Tamu?” tanya Akira bingung. Dia merasa tidak memiliki janji dengan siapapun dan Akira juga tidak memiliki banyak teman di kota ini karena Akira bersekolah hingga selesai kuliah di kota tempat neneknya tinggal bukan di kota ini. “Mari saya antar.” Ucap sang resepsionis mengajak Akira menuju cafe yang letaknya berdekatan dengan Lobby. Dan di salah satu bangku di kafe itu ada seorang gadis yang kira-kira umurnya tidak beda jauh darinya sedang tersenyum sumringah menatapnya. Wajahnya cantik sekali, Akira bahkan sampai mengingat-ingat apakah dia salah satu artis karena saking cantiknya. “Mbak Akira ini tamunya.” Ucap sang resepsionis kemudian setelah itu berpamitan setelah Akira mengucapkan terimakasih. Akira masih menatap bingung sementara gadis itu terlihat tertarik sekali pada Akira dan langsung menyodorkan tangannya. “Mbak Akira, aku Jelita, adiknya mas Chiko.” Ucap gadis itu tersenyum cerah. Mata Akira membulat. Pantas saja dia cantik sekali, bibitnya Adrian Setyo Aji memang tidak ada yang gagal. Akira sedikit gugup kemudian menyambut uluran tangan Jelita. Akira tidak menyangka bahwa adiknya Chiko akan langsung mengunjunginya secara pribadi seperti sekarang. Padahal seharusnya Akira lah yang mengenalkan diri. “Katanya kemarin mbak makan malam di rumah yah? Aku nggak di rumah, lagi di tempat saudara.” Ucap gadis itu terasa akrab sekali dengan Akira. Akira sendiri masih mematung karena gugup, tapi Jelita justru bersikap seperti dia adalah teman akrab Akira. Menarik calon kakak iparnya itu duduk di meja yang sama dengannya kemudian memanggil pelayan. “Ah iya, mendadak juga makan malamnya.” Jawab Akira pelan. “Mbak Akira mau pesan minum atau makanan nggak? Atau mau langsung masuk apartemen? Aku boleh ikut nggak ke apartemen mbak?” Jelita langsung bertanya dengan antusias. Akira tidak mungkin menolaknya bukan? “Gimana kalau nanti makan malam aja? Sekarang mbak baru pulang kerja banget jadi butuh mandi dan lain-lain.” Jawab Akira berusaha mengumpulkan kewarasaannya. Di hadapannya sekarang ada putri bungsu Adrian Setyo Aji yang selalu di cari-cari wartawan untuk dijadikan headline berita. Mana mungkin dia tidak gugup. Apalagi Jelita juga calon adik iparnya yang cukup diwaspadai oleh Akira. Di dalan imajinasi Akira ada kemungkinan adik Chiko itu tidak menyukainya karena posisi Akira yang mungkin akan di curigai menjebak Chiko. Tapi sikap ramah dan akrabnya Akira juga memunculkan sedikit ketakutan dalam diri Akira. Benarkah sikap aslinya memang seperti ini? Benarkah dia tulus apa hanya ingin mencari kekurangan Akira kemudian dijadikan alat untuk menyerangnya? Akira tidak percaya anak Adrian Setyo Aji akan semudah itu menerima orang asing seperti dirinya. Dan jika Jelita memang hendak mencari kekurangannya maka tidak perlu bersusah payah, karena menurut Akira hidupnya sebagian besar hanya beriri kekurangan jika di bandingkan dengan keluarga Setyo Aji. “Boleh, aku juga udah ijin sama Ayah mau ketemu mbak Akira sampai malam kok.” Ucapnya dengan wajah sumringah. Gadis itu kemudian membayar pesanannya dan menggandeng tangan Akira mengikutinya menuju unit kamarnya. Akira masih tidak percaya adik Chiko bisa senempel ini dengan orang asing. “Wah kamar mbak rapi banget.” Ucapnya takjub membuat Akira malu. “Karena kamarnya kecil jadi mudah di beresin.” Balas Akira merendah, tapi kenyataanya memang unit apartemen Akira berukuran tidak besar. “Tapi tetep aja rapi banget nggak kayak kamar aku.” Ucapnya malu-malu, Akira tersenyum menanggapi. “Aku boleh duduk di kasur dan pegang bonekanya mbak?” Tanyanya sopan. “Boleh kok, anggap aja rumah sendiri.” Jawab Akira dengan senyuman. Jelita tersenyum senang dan kemudian mendudukkan dirinya di kasur sambil memegang boneka kelinci milik Akira. “Jelita mau minum apa? Mbak punya s**u strawberry, ada teh, ada kopi juga.” “Mau s**u strawberry.” Jawabnya dengan senyuman lebar. “Koleksi boneka tikus dan kelinci mbak banyak banget yah? Bener kata mas Chiko kita satu selera.” Ucap Jelita sembari melihat-lihat rumah boneka milik Akira yang berisi beberapa koleksinya. “Kamu juga suka boneka?” Tanya Akira sambil mengambilkan Jelita s**u Strawberry. “Suka banget, aku juga punya banyak di rumah, mbak.” Jawab Jelita antusias. “Wahhh sendalnya lucu banget! Mbak beli dimana?” Seru Jelita lumayan heboh. Akira tersenyum geli. Dibandingkan dengan kedua kakaknya, Jelita rupanya sangat berbeda. Chiko dan Regarta pembawaannya tenang seperti laki-laki keren lainnya mirip ayahnya. Jelita sepertinya lebih mirip Lisa, ibunya. “Nitip sama temen yang ke disneyland. Nomor kamu kayaknya lebih kecil yah? Mbak punya satu lagi yang nggak muat. Mau nggak? Cobain aja dulu siapa tahu muat nanti boleh buat kamu.” Akira kemudian membuka lemarinya dan mengeluarkan kotak berisi sandal dengan motif kepala kelinci. “Mau banget mbak!” Ucapnya girang. Akira tersenyum kemudian menyerahkan kotk itu. “Wahhh muat, beneran buat aku?” Tanyanya dengan binar bahagia yang seperti bisa ikut Akira rasakan. Sikap menyenangkan Jelita yang tidak sedikitpun merendahkannya itu, membuat Akira mulai merasa nyaman dan tidak gugup lagi. Dan sebuah fakta bahwa ternyata Chiko membahas dirinya pada adiknya, cukup membuat Akira tersanjung. Akira pikir Chiko tidak akan mengatakan apapun tentang dirinya pada adik kesayangannya itu. “Iya buat kamu aja kalau kamu mau.” “Mau banget mbak.” Balas Jelita antusias. Selanjutnya Akira berpamitan mandi, dan mengobrol banyak hal hingga menjelang makan malam. “Jelita mau makan dimana nanti makan malam? Di deket apartemen banyak tempat makan.” “Mbak biasanya makan dimana?” Jelita balik bertanya. “Biasanya masak.” Kekeh Akira. Gadis itu memang jarang makan di luar jika tidak sedang kepepet. Demi menghemat pengeluaran tentu saja, sebab dia dan keluarganya tidak sekaya Setyo Aji. “Kalau gitu masak aja yuk! Aku kurang nyaman juga makan di tempat umum. Lagipula mas Chiko juga mau ikut makan malam mbak.” Jawaban Jelita membuat jantung Akira mau lepas rasanya. Kenapa Chiko mau ikut makan malam? Padahal dia sendiri yang mengatakan agar Akira tidak perlu terlalu akrab dengannya? Akira bingung di buatnya. Tapi dia juga tidak mungkin menolaknya. “Mas Chiko mau ikut?” “Iya mbak, tadi aku iseng chat mau makan malam di apartemen mbak terus dia bilang mau ikut. Kayaknya dia udah otw deh soalnya dari sore udah selesai kerja.” Jawab Jelita girang. “Kalau gitu mbak mau belanja dulu yah, soalnya bahan makanan udah banyak yang abis di kulkas.” Ucap Akira. “Aku ikut.” Jelita tampak senang ketika mendengar kata belanja dari mulut Akira. Misi kedatangannya hari ini selain berkenalan dengan Akira adalah untuk menjadi semakin dekat. Jelita merasa kesal karena kakaknya, dua-duanya laki-laki dan sangat posesif, ketika Wendy menikah dengan Regarta Jelita sangat senang sebab akhirnya memiliki saudara perempuan dan sering membelanya. Tapi memiliki sekutu lebih dari satu bukankah akan lebih baik? Lagipula kesan pertama Jelita pada Akira juga menyenangkan. Apalagi mereka memiliki hobby dan selera yang sama. Selain itu, Jelita tahu bahwa kakaknya sebenarnya tertarik dengan Akira. Kedekatannya dengan Akira bisa dia jadikan senjata untuk menekan Chiko agar menyembunyikan rahasianya atau untuk saling bekerjasama nantinya. Lagipula menyenangkan, memamerkan kedekatannya dengan Akira pada Chiko karena laki-laki itu terlihat iri sekalipun tidak di tunjukkan. Jelita bertekad akan menjadi pemanas hubungan keduanya agar kakak keduanya yang di penuhi gengsi itu bisa memperdalam perasaannya hingga menyatakannya dengan lantang pada Akira nantinya. Ini merupakan misi dari Lisa juga. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN