Chapter 8 [Kepercayaan Diri]

2292 Kata
Happy reading! - - - Raven mendatangi kuil, semenjak kejadian di hutan Crystalden dimana Raven mendapatkan pedang terkutuk itu, pria itu terkena efek buruk dari pedang nya, membuatnya harus rutin melakukan penyembuhan dengan sihir Risilv di kuil. Sebenarnya kesehatan Raven terhadap efek dari pedang itu sudah membaik, tetapi Raven tetap ke kuil karena meminta Mathias untuk menguatkan sihir Risilv nya agar kejadian waktu itu tidak terulang. Metode yang Mathias rekomendasi untuk Raven adalah meditasi di kolam mata air Risilv. Raven melepas baju nya, memperlihatkan tubuh kekarnya yang penuh dengan bekas luka, pria itu hanya mengenakan celana hitam panjang dan memasuki kolam renang. Lalu duduk di tengah kolam dan menarik nafas kemudian menghembuskan nafas panjang, rasa tenang menjalar ke seluruh tubuhnya. Secara perlahan sihir Risilv pada kolam bereaksi terhadap keberadaan Raven, dan air di sekitar Raven mulai bercahaya dengan lembut. "Sepertinya kau masih tidak percaya dengan ku, pangeran." Tiba-tiba Leviathan muncul, Raven mendengus pelan. "Sudah ku bilang jangan muncul sembarangan, aku tidak mau ada orang lain yang melihat mu." Balas Raven dingin. "Astaga pangeran posesif sekali~" ujar Leviathan, Raven langsung menatap tajam, dan iblis itu tertawa kecil. "Aku bukan tidak percaya padamu." Raven kembali ke topik awal Leviathan, iblis itu mengangkat sebelah alisnya. "Aku butuh kekuatan lebih, sihir iblis belum cukup untuk melawan Warzerten, dan mungkin sangat kurang, jadi aku ingin memiliki semuanya. Aku tidak berpikir untuk menjadi penyihir tetapi setidaknya aku ingin punya perlindungan dengan kedua sihir itu, karena itu aku memperkuat sihir Risilv ku." Ucap Raven, Leviathan mengangguk mengerti, Raven terdiam sebentar, kemudian menatap Leviathan. "Aneh." Ucap Raven tiba-tiba, Leviathan mengangkat alisnya sebelah. "Bagaimana bisa kau memunculkan sosok mu di dalam kuil, bahkan di dekat salah satu sumber sihir Risilv di kekaisaran Roxane, bukankah kau iblis?" Tanya Raven, Leviathan mengangkat kedua alisnya terkejut, dan tersenyum. "Pangeran, apakah malaikat dan iblis bisa bersatu?" Tanya Leviathan, Raven mengerutkan alis, melihat ekspresi Raven, Leviathan tertawa kecil. "Jawabannya mustahil ya?" Leviathan mendengus pelan, Raven mengangkat kedua alisnya, "Tunggu apa jangan-jangan kau..." Leviathan kembali tertawa kecil. Clap! "Yap betul pangeran, aku adalah mahkluk yang di lahirkan dari rahim iblis dengan malaikat sebagai ayahku." Jawab Leviathan sembari menepuk tangannya sekali, Raven menatap nya tidak percaya. "Tetapi walau begitu kekuatan sihir Risilv dalam tubuh tidak sebanyak yang kau kira, jika di buat persentase itu hanya sekitar 10% dan sisanya adalah sihir iblis, itu karena aku di besarkan di alam iblis." Jelas Leviathan. "Dengan sihir Risilv yang ada dalam tubuh ku, mampu membuatku bertahan dari efek tabrakan sihir jika aku terkena sihir Risilv, karena dalam tubuhku masih terkandung sihir tersebut." Kembali Leviathan menjelaskan, kemudian Leviathan menjentikkan jarinya. Kepak! Tiba-tiba saja muncul sayap hitam berbulu besar di punggung Leviathan, jumlahnya ada 3 pasang sayap, Raven terkejut. "Seharusnya sayap iblis itu berbentuk mirip kelelawar bukan, tetapi karena aku masih memiliki darah malaikat, maka bentuk sayap ku jadi berbeda dengan iblis lain, hal ini menjadi salah satu penyebab aku turun ke alam ini." Ucap Leviathan. "Sebenarnya juga, salah satu alasan mengapa kau tidak mati ketika menerima sihir iblis ku, karena aku masih ada sedikit sihir Risilv dalam tubuhku membuat tabrakan sihir yang terjadi pada mu tidak sangat parah, tetapi tetap manusia atau penyihir biasa tidak semua bisa menerima sihir iblis ku, karena sihir Risilv mereka tidak banyak, tubuh mereka tidak akan mampu mengemban sihir iblis ku. Dan seharusnya aku mendapat efek timbal balik karena sihir Risilv turunan yang kau miliki, hanya balik lagi bukan, aku memiliki sedikit sihir Risilv hal ini membuat ku sedikit terlindungi dari kemungkinan buruk tersebut." Jelas Leviathan, lalu ia menutup sayap nya kembali, dan menghilang begitu saja. "Begitu pangeran, bagaimana menurut mu?" Tanya Leviathan sembari senyum, Raven bangkit berdiri, dan berjalan ke tepi kolam, aliran sihir Risilv mengikuti pria itu. Raven memakai handuk nya, dan berjalan ke dekat Leviathan, "Aku tidak peduli, selama kau masih bekerja sama dengan baik, maka tidak masalah." Ucap Raven, Leviathan tertawa pelan sembari bertepuk tangan kecil. "Pangeran, aku sedikit penasaran, kau pernah bilang kalau kau bukan bagian dari keluarga kekaisaran, bisakah kau ceritakan sedikit soal itu?" Tanya Leviathan, Raven melirik pria itu. "Ayolah bukankah sekarang kita rekan bertarung, jadi setidaknya aku harus tahu sedikit tentang mu pangeran, lagipula tadi aku juga sudah menceritakan sedikit soal diriku bukan?" Raven mendengus pelan, pria itu berjalan pada sebuah sekat, dan mulai berganti baju, Leviathan melihat hal itu langsung mendengus panjang, tidak lama kemudian Raven keluar dengan baju bahan putih dan celana berwarna hijau tua kehitaman. Pria itu berjalan dan bergerak ke seberang dimana Leviathan duduk, Raven duduk di hadapan pria itu dan menyandarkan tubuhnya. "Ibu ku bukanlah bangsawan, maupun orang kaya raya." Raven memulai pembicaraan, Leviathan menatap pria itu. "Ia hanyalah seorang wanita cantik dengan suara indah, ibu ku sering bernyanyi di berbagai kota, dan suatu hari ia di panggil sebagai salah satu penghibur acara pesta ulang tahun kaisar." Ucap Raven. "Oh pasti dia..." "Benar, dia ayahku, mereka bertemu, dan saling jatuh cinta, ayahku menjadikan ibu ku selir nya, ibu ku tidak bisa menjadi ratu karena di tentang oleh petinggi bangsawan juga kuil, walau begitu ibu ku tidak masalah, selama ia bisa melihat ayahku dia sudah cukup bahagia. Dan suatu hari ibu ku meninggal karena melahirkan ku, ayahku yang sangat mencintai ibu ku menjadi sedih, dan membenciku, yah karena memang kelahiran ku membunuh ibuku. Permaisuri membenci ku karena aku adalah anak ibu ku, aku tidak masalah dan bisa memahaminya, pasti menyakitkan ketika kau tahu orang yang kau cintai memiliki wanita lain di hatinya." Jelas Raven. "Jadi permaisuri mencintai kaisar ya, dan karena itu juga kau tidak tinggal di istana kekaisaran ya." Ujar Leviathan, Raven mendengus. "Aku hanya tidak ingin mengganggu mereka, aku tidak masalah tidak di anggap sebagai keluarga, aku tetap menyayangi ayahku karena dia mencintai ibuku, maka dari itu aku mau menjadi anjing penjaga kekaisaran dan melindungi tanah ayahku." Jelas Raven, Leviathan mengangguk. "Itu berat sekali, tetapi pangeran kau tahu, tujuan hidup mu yang seperti itu, membuat dirimu bisa mati lebih cepat." Ucap Leviathan, Raven mengerutkan alis, mahkluk itu tertawa pelan. "Kau akan mengerti nanti." Kemudian Leviathan kembali masuk ke dalam pedang Raven. Pangeran kedua itu terdiam menatap pedang terkutuk di depannya. "Aku akan lebih cepat mati ya." ⬛⚪⬛ Raven membuka pintu, dan tampak harley yang sudah menunggu nya, pria itu membungkuk hormat, di tangannya terdapat jubah hijau tua Raven yang biasa Raven pakai. "Pangeran sudah selesai?" Tanya Harley sembari memberikan jubah yang di pegang nya, Raven mengangguk kemudian mengenakannya. "Kalau begitu setelah ini kita kembali ya?" Tanya Raven. "Sebelum itu, aku memeriksa stok herbal kemarin, dan sudah menipis, sebaiknya kita pesan lagi ke Peter." Ujar Harley, Raven mengangguk, kemudian mereka berjalan menuju kebun herbal Peter untuk menemui pria itu. Mereka sampai dan melihat Peter yang tengah berbincang dengan seseorang. "Peter." Panggil Raven, Peter dan orang yang berbincang dengannya menoleh dan ternyata itu adalah Eloise. Pria itu sedikit terkejut dengan kehadiran Eloise, "Ah eloise, lama tidak jumpa bagaimana kabar mu?" Harley bertanya, Eloise tersenyum. "Aku baik." Kemudian mata gadis ruby itu menatap ke arah raven, eloise bergerak membungkuk dan salam hormat ke arah raven. "Salam hormat pangeran Raven, semoga keberkahan Risilv dan Omnia senantiasa menemani anda." Ucap Eloise, Raven terdiam sebentar. Melihat sosok Eloise membuatnya teringat dengan kematian Shannon, rasa sesak kembali menjalar di d**a pria itu. Ia merasa bersalah dengan Eloise atas kematian Shannon. Karena kelalaian nya waktu itu, Raven tidak menolong Shannon membuat gadis itu menghilang selamanya. 'Aku harus minta maaf padanya, walau mungkin dia tidak menerima nya, tapi aku harus melakukannya..' Pikir raven, Kemudian ia menoleh ke arah harley. "Harley tolong urus sisanya, ada yang ingin ku bicarakan dengan Eloise." ⬛⚪⬛ Shannon dan Dominic kembali tiba di hutan Witchweed, mereka bertemu Izolda di gerbang hutan. "Oh Izolda kau sudah kembali, bagaimana situasi nya?" Tanya Dominic. Beberapa hari yang lalu Izolda memang harus tinggal di ibu kota kekaisaran Roxane, Rayash, untuk membantu para penyihir Risilv seperti Reithel, Simon, Sherina, Georges, dan lainnya untuk menyelesaikan misi membunuh naga setelah kehancuran, misi itu melibatkan banyak penyihir Risilv karena tingkat kesulitannya yang tinggi. "Semuanya sudah mulai membaik, walau mereka harus istirahat lama untuk penyembuhan total." Balas wanita itu. "Bagaimana Eloise?" Tanya Shannon, Izolda mendengus pelan. "Dia belum siuman, tapi aku yakin tidak lama lagi dia sadar, karena luka-luka nya sudah sembuh total, dan tinggal pemulihan pada sihirnya saja." Ucap Izolda, sembari mengayunkan tongkatnya dan membuka gerbang rahasia masuk ke hutan Witchweed. "Jangan khawatir, dia baik-baik saja." Tambah Izolda, sembari masuk ke hutan bersama Shannon dan Dominic. "Aku tahu kok, dia adalah Eloise, penyihir Risilv dengan kemampuan sihir iblis juga, dia bukan penyihir biasa, melainkan orang yang di takdirkan oleh dewa." Ujar Shannon, Dominic bersiul kagum dengan kalimat Shannon. "Hebat sekali bukan murid ku." Ucap Dominic. "Dia murid ku kali." Tiba-tiba saja seseorang menimpa ucapan Dominic, membuat mereka menoleh ke sumber suara, dan tampak Patrishia yang duduk di kelilingi berbagai anigi liar. "Patrishia!" Seru Dominic dan Izolda terkejut, Patrishia tertawa kecil melihat respon keduanya. Sebagai penyihir Risilv, Patrishia memang bisa mengakses gerbang hutan Witchweed, karena itu dia bisa masuk tanpa bantuan Izolda. Mata Patrishia mengarah pada Shannon, wanita itu tersenyum kemudian bangkit dari posisinya dan berjalan perlahan mendekati mereka, lebih tepatnya Shannon. "Sudah kuduga, sang safir biru masih hidup, tapi tampaknya ada sedikit perubahan yang signifikan?" Patrishia melirik Dominic. "Jika kau ingin penjelasan maka masuk lah dulu." Ucap Izolda, Patrishia mengangguk dan kembali menatap Shannon. Gadis bermata safir biru itu menelan ludah, ia sedikit tegang dengan Patrishia. 'Terlihat sekali, dia sangat kuat, aku bisa merasakannya, inikah kekuatan penyihir agung kedua, Patrishia Feissmann, aku yakin Eloise pasti sudah meningkat pesat kekuatan nya di bawah asuhan orang ini.' Puk! "Tidak perlu se tegang itu padaku, aku tidak akan membunuh mu kok, ahahahaha." Patrishia tertawa, Shannon ikut tertawa dengan kaku. 'Dark joke...' "Hei tunggu kau bilang Eloise murid mu? Enak saja dia murid ku, aku yang mengajarkannya sejak kecil!" Tukas Dominic. "Hahh?? Kau mengajarkan sejak dia umur 16 bodoh dan itu hanya 2 tahun lamanya, sedangkan dia sudah belajar dengan ku 4 tahun, sekarang usianya sudah 22 tahun asal kau tahu, sudah pasti aku masternya." Balas Patrishia. "Umur 16 kurasa bukan anak kecil..." Ucap Shannon dengan menurunkan alisnya. Efek Dominic yang memiliki umur ratusan tahun membuatnya pria itu berpikir kalau belasan tahun hanyalah waktu yang singkat, begitu juga dengan Patrishia. Izolda mendengus lelah melihat penyihir bersaudara ini mulai bertengkar. "Apa-apaan kau, aku pertama yang mengajarnya jadi aku masternya." Balas Dominic. "Aku yang lebih lama mengajarinya jadi aku masternya sialan." Balas Patrishia lagi. 'Ini tidak akan selesai...' Pikir Izolda bersama dengan Shannon, Izolda bergerak mendorong Patrishia untuk maju jalan menuju kediamannya, sedangkan Shannon menarik jubah Dominic agar pria itu juga bergerak. Sembari berjalan menuju rumah Izolda, mereka tetap bertengkar membuat Shannon dan Izolda mendengus lelah untuk kesekian kalinya. ⬛⚪⬛ "Begitu, aku mengerti." Setelah pertengkaran yang sempat terjadi antara Patrishia dan Dominic, mereka berhenti ketika sudah sampai di kediaman Izolda, lalu pembahasan mengenai Shannon di mulai. Dominic menjelaskan awalnya, dan Izolda menjelaskan bagaimana nya, sedangkan Shannon diam karena ia tidak harus mengeluarkan kalimatnya untuk Patrishia. Dan setelah selesai penjelasan, Patrishia menatap Shannon sembari mengangguk mengerti. "Kalau begitu, saat ini bisa dibilang kau adalah Shannon yang baru ya, dewa menghapus identitas mu yang asli dari ingatan mu bukan, jadi bagaimana perasaan mu?" Tanya Patrishia. "Sebenarnya jujur saja, menyebalkan, karena ini membuat ku merasa seperti mengambil posisi Shannon yang gadis itu sangat inginkan. Aku tidak tahu pasti bagaimana aku mati, tapi kupikir itu karena aku bunuh diri." Jelas Shannon, Patrishia menurunkan alisnya. "Kenapa?" Shannon menatap Patrishia dengan sorot getir, "Karena perasaan ku ingin mengakhiri hidup tidak pernah hilang semenjak bangun di tubuh ini." Ucap gadis itu sembari meremas bajunya dan tersenyum miris. Patrishia mendengus pelan, "Kau tahu, kenapa setelah mati, kau tidak langsung dikirim ke tempat yang seharusnya, itu artinya belum waktunya hidup mu harus berakhir. Ini bukan soal kau mengambil posisi Shannon dengan paksa atau tidak, tetapi soal takdir. Memang kau bukan Shannon yang sebenarnya, tapi kau tetap bagian dari Shannon, jiwa kalian adalah satu dengan dua sisi. Pasti ada sesuatu hal yang kau miliki, membuat sosok mu sekarang harus memenuhi hal itu, karena itu, tidak perlu merasa bersalah. Kau berhak untuk hidup." Jelas Patrishia, Shannon tertegun dengan ucapan Patrishia. Seketika beban hati yang Shannon rasakan selama ia hidup lagi sekarang rasanya menghilang, gadis itu merasa lega entah bagaimana. Tesh Air mata Shannon terjatuh tiba-tiba, membuat Patrishia, Dominic dan Izolda terkejut. "Sha-Shannon?? Ke-kenapa??" Bingung Patrishia, Shannon mengelap air matanya sembari tertawa. "Ahahaha, tidak-tidak, hanya saja aku," sembari berusaha mengelap air mata yang terus berjatuhan, Shannon menarik nafas dan tersenyum. "Aku merasa lega!" ⬛⚪⬛ Patrishia berjalan keluar dari pintu rumah Izolda, diantar oleh Dominic, Izolda dan Shannon. "Sudah ya, aku pergi." Ucap Patrishia, Izolda melambaikan tangannya, Dominic tersenyum, begitu juga dengan Shannon. "Terima kasih Patrishia!" Seru Shannon, wanita itu membalasnya dengan senyum dan melambaikan tangannya. Lalu setelah Patrishia sudah sepenuhnya pergi, mereka bertiga kembali masuk kedalam. "Sepertinya sudah waktunya." Ucap Dominic tiba-tiba, Shannon mengangkat alisnya, pria itu tersenyum. "Eloise pasti sudah sadar saat ini." Ucap pria itu, Izolda mengerutkan kening. "Bagaimana kau tahu?" Tanya Izolda, Dominic menampilkan senyumannya. "Perasaan ku kuat," kemudian pria itu menatap Shannon, gadis itu mengerti. "Baiklah, tapi aku akan jujur langsung." Ucap Shannon, Dominic mengangkat sebelah alisnya. "Kurasa sebaiknya kita berbohong dulu sementara waktu, dia akan terkejut sekali bukan, dan mungkin sulit menerima kenyataan." Ucap Dominic. "Tidak, justru aku yakin Eloise lah yang akan sadar, karena tubuh ini berasal dari rahim yang sama dengannya." Ujar Shannon, Dominic mendengus pelan, kemudian ia merogoh sakunya dan menunjukkan sebuah kalung dengan liontin batu safir biru yang dilapisi kaca di hadapan Shannon. "Aku sempat mengambil ini ketika melakukan sedikit penelitian, pakailah ketika kau sudah siap untuk bertemu dengan Eloise." Ucap Dominic, Shannon mengerutkan alis. "Bukankah kau yang menentukan?" Tanya gadis itu, Dominic mengedikkan bahu dan menggeleng. "Tidak, tapi kau yang menentukan kapan akan bertemu Eloise." - - - To be continued
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN