Chapter 7 [Waktu Yang Terlewati]

2171 Kata
Happy reading! - - - ⬛ 4 Tahun Kemudian ⬛ Kaisar Gellius menyesap teh nya, pria nomor satu di kekaisaran Roxane itu kini sedang minum teh bersama permaisuri Roxane, Delayna Graciella Roxane. "Yang mulia, bagaimana dengan rasa tehnya?" Tanya Delayna, Gellius hanya mengangguk dan tersenyum kecil. Delayna senang dengan respon suaminya, dan tersenyum lembut, kemudian tidak lama datang seorang pelayan pribadi kaisar, pria itu membisikkan sesuatu pada kaisar. "Suruh ia masuk." Ujar Gellius, pelayan itu membungkuk hormat dan pergi, Delayna menatap Gellius dengan sorot tanya, lalu tidak lama kemudian datang seseorang bertopeng dengan jubah sepinggang dan bertudung, semua pakaian nya serba hitam, dan terdapat sebuah lambang. 'Pasukan khusus kaisar...' Pikir Delayna, setiap pangeran yang di angkat kaisar biasanya akan membentuk sebuah pasukan kecil dimana mereka sepenuhnya mengabdi pada kaisar hingga akhir hayat mereka atau kaisar mereka. "Bagaimana kondisinya?" Tanya kaisar Gellius sembari kembali meminum tehnya hingga habis, Delayna bergerak hendak mengisi teh gellius lagi. "Semua masalah setiap daerah kekaisaran merupakan ulah sekte Warzerten yang hendak memecah persatuan bangsawan yang berpihak pada kekaisaran, mereka melakukan nya sekarang karena orang yang di takdirkan firman dewa sedang tidak di ketahui status nya, yang mulia." Jelas orang tersebut, Gellius mendengus pelan. "Kalau begitu masalah apa saja yang belum di selesaikan?" Tanya Gellius. "Tidak ada yang mulia, semua nya sudah di selesaikan." Ucap orang itu, Delayna menuangkan teh sembari tersenyum, wanita itu yakin jika anaknya, Gionard Darnfroz Roxane yang sudah melakukan semua itu. "Jadi pangeran Gionard sudah menyelesaikan nya ya." Ujar Gellius, kemudian hendak mengambil cangkir tehnya. "Tidak yang mulia, tetapi pangeran Raven yang melakukannya." Seketika suasana hening, Gellius berhenti bergerak begitu juga dengan permaisuri, wanita itu mengerutkan alisnya, dan mengatupkan bibirnya, ada rasa kesal muncul dalam dadanya. Gellius melirik sedikit istri sah nya, kemudian kembali menatap orang yang melapor tersebut. "Begitu, baiklah kau boleh pergi." Ujar Gellius lalu orang tersebut menghilang begitu saja, Gellius mendengus pelan dan mengambil cangkir tehnya, kemudian menyesap isinya. "Apa yang dilakukan putra mahkota, permaisuri?" Tanya Gellius sembari mengangkat sebelah alisnya. Delayna bergerak, tampak gugup melukis wajahnya, sembari duduk kembali, ia menarik nafas, "Sepertinya ia sangat sibuk dengan urusan politik, hingga masalah itu tidak tersentuh olehnya, mohon maafkan ia yang mulia." Jawab Delayna, Gellius mengangguk kecil. "Begitu, tidak masalah, untunglah ada pangeran Raven, sehingga aku tidak harus lelah turun tangan menangani semua itu." Ujar Gellius, Delayna mengangguk dengan senyum palsu, tetapi di bawah meja pada pangkuannya, ia mengepalkan tangannya kesal. 'Dasar anak si jalang sialan.' ⬛⚪⬛ Reithel duduk di ruang Arvid sembari menyesap teh herbal buatan Elias, sama seperti Peter, Elias merupakan murid dari pendeta agung Arvid dan ia bersahabat dengan Peter yang merupakan murid pendeta agung Mathias, sehingga pria itu punya banyak pengetahuan mengenai herbal. Tidak lama pintu ruangan terbuka dan tampak Arvid yang membawa kitab besar, pria itu mendengus lelah, kemudian matanya langsung mengarah pada Reithel. Reithel menyapanya dengan mengangkat cangkir tehnya, Arvid tersenyum, "Ternyata kau lebih dulu sampai." Ujar Arvid sembari menaruh kitab yang di bawanya ke sebuah lemari khusus, kemudian pria itu melepas jubah kebesaran nya sebagai pendeta. "Pekerjaan ku di akademi selesai lebih awal." Balas Reithel, tidak lama muncul Elias dari pintu ruangan lain, ia melihat Arvid, dan langsung berjalan cepat ke arah pria itu dan mengambil jubah arvid dan menaruhnya di sebuah gantungan baju khusus. "Pendeta agung apakah kau mau teh?" Tanya Elias, Arvid menggeleng. "Aku mau anggur saja, tolong bawakan yang ada di laci nomor 34." Titah Arvid, Elias mengangguk dan bergerak pergi mengambil. "Tidak baik minum anggur di siang hari." Tegur Reithel. "Tidak ada peraturan resmi yang mengatakan itu." Balasnya sembari mengedikkan bahu, Reithel hanya mendengus lelah. Arvid duduk di hadapan Reithel, tidak lama Elias datang membawa anggur yang di minta Arvid, pria itu membawa satu botol dan segelas anggur, lalu meletakkannya di meja. Kemudian Elias membungkuk hormat dan pergi meninggalkan mereka berdua di ruangan. Arvid membuka tutup botol anggur tersebut dan menuangkan isinya ke dalam gelas lalu menyesapnya, pria itu mendengus senang, "Ini benar-benar di waktu terbaiknya." Komentar Arvid. "Aku tidak mau menemani mu minum." Ujar Reithel mendadak, membuat Arvid tersadar kemudian meletakkan gelasnya dan berdeham. "Maaf haha, okeh jadi ada sesuatu yang ingin ku bahas, dan aku butuh pertolongan mu." Ucap Arvid sembari menegakkan duduknya, Reithel mengangkat sebelas alisnya. "Sebuah firman baru di turunkan, ini sepertinya perintah untuk sang popi merah dan safir biru, tapi kau paham kondisi mereka bukan, ya begitu.." ucap Arvid, Reithel mendengus panjang dan mengangguk. Eloise sampai saat ini belum kembali maupun memberi kabar. "Seharusnya aku menyerahkan misi ini pada Eloise, tetapi sampai saat ini aku tidak mendengar kabar apapun mengenai keberadaan gadis itu, aku sudah mencoba menghubungi Patrishia tetapi sangat sulit." Ucap Arvid sembari menyesap anggurnya sedikit, Reithel menatap Arvid dalam diam. "Ini adalah misi dengan resiko kematian tertinggi, sejujurnya aku tidak mau meminta mu untuk melakukan ini, tetapi untuk saat ini penyihir terhebat yang masih ada di Roxane hanya kau, Dominic sama sekali tidak ada kabar, sedangkan tuan penyihir agung Robert sudah terlalu tua untuk melakukan misi ini." Reithel mengangkat kedua alisnya. "Memangnya misi apa?" Tanya Reithel, Arvid mendengus. "Membunuh naga penyihir setelah kehancuran." Ucap Arvid, kemudian pria itu menjentikkan jarinya, dan di atas meja muncul lingkar sihir, dan beberapa saat kemudian muncul sebuah map dokumen cukup besar. "Ini semua informasi soal naga itu, tempat, kekuatan dan lain sebagainya, kau bisa melihatnya disini." Unjuk Arvid, Reithel mengambil map itu dan mulai membukanya, tampak beberapa foto naga ada di halaman pertama. "Tetapi kau tidak perlu khawatir, aku sudah membuat Anigi yang mengantarkan pesan pada Patrishia, agar Eloise segera melakukan misi ini, jika pesan itu tersampaikan, maka Eloise akan datang." Jelas Arvid, Reithel mengangguk paham, kemudian terbayang di benaknya sosok Eloise yang tersenyum. "Seperti apa dia sekarang?" Gumam Reithel pelan. "Apa?" Arvid tidak mendengar jelas, Reithel menggeleng lalu membawa map dokumen tersebut. "Aku akan melakukannya, aku juga membawa beberapa penyihir Risilv dari akademi untuk membantu ku." Ujar Reithel, Arvid mengangguk mengerti. "Kau mau pergi sekarang?" Tanya Arvid karena melihat Reithel yang beranjak berdiri lalu memakai mantelnya, pria itu mengangguk sembari membawa map tersebut. "Aku harus mempersiapkan banyak hal." Ucap Reithel, Arvid mengangguk. "Kapan kau akan melakukannya?" Tanya Arvid, Reithel terdiam sebentar. "Lusa." Singkatnya lalu berjalan menuju pintu kemudian membuka pintu lalu pergi keluar ruangan, tidak lupa Reithel melambaikan tangannya sebelum benar-benar keluar. Arvid mendengus pelan kemudian menyesap anggur miliknya. "Dia pasti sangat merindukan Eloise." ⬛⚪⬛ Angin semilir meniup lembut rambutku, bunga-bunga di padang rumput luas depan ku juga ikut bergerak. Aku terpesona dengan pemandangan alam disini. Fleurland. Dominic bilang kalau ini adalah daerah paling indah di kekaisaran Roxane juga paling jauh dari ibu kota nya, kota Rayash. Aku tidak tahu kenapa pria itu mengajakku kesini, tetapi yang pasti setelah sampai di Fleurland, Dominic memintaku menunggu di pinggir padang rumput ini, dan aku sudah lama menunggu. Kesabaran ku mulai habis. "Ini orang lama banget astaga." Ketus ku, kemudian aku bergerak berjalan ke pohon di sampingku dan duduk bersandar disana. Walaupun lama nya Dominic membuat ku kesal, tetapi pemandangan alam ini cukup menghibur ku. Aku menatap ke sendu padang rumput di depan ku. "Rasanya aku mau tinggal disini selamanya, pasti sangat menenangkan..." Gumam ku. "Benarkan, Shannon memang memilih tempat yang bagus." Tiba-tiba saja Dominic muncul di sampingku, aku mendengus panjang kemudian menatapnya. "Apa yang membuat mu lama?" Tanya ku dengan sorot kesal, pria itu tertawa kemudian duduk di sampingku, lalu ia bergerak merogoh saku di mantelnya. Krincing Terdengar suara kunci, aku menoleh dan Dominic menyodorkan ku sebuah dua buah kunci yang di jadikan satu gantungan, aku menerima kunci itu dan memperhatikan dengan sorot tanya. "Itu adalah kunci rumah, Shannon membeli rumah di sekitar sini dengan kredit, dia pernah meminta rekomendasi padaku mengenai tempat tinggal yang jauh dari ibu kota tetapi bagus, lalu aku mengantarnya ke sini, seminggu sekali ia datang ke sini untuk membayar kredit rumah, dengan meminjam Vocorgi teleportasi milikku. Tetapi setelah kematiannya waktu itu, rumahnya belum sempat di lunas kan, aku yang tahu soal itu langsung melunaskan nya." Jelas Dominic lalu menatap ku. "Aku hendak memberitahu mu sebelumnya tapi ku pikir nanti saja karena kau harus fokus latihan mengembangkan kemampuan bertarung pedang dan sihir mu, dan sekarang kupikir sudah waktunya, jadi yah aku berikan kuncinya padamu. Shannon pernah bilang kalau dia ingin hidup tenang berdua bersama Eloise, dia ingin Eloise hidup bahagia dan tidak terlibat dengan bangsawan maupun hiruk pikuk ibu kota. Tetapi karena Eloise sudah mengubah jalur hidupnya, seperti nya rencana itu tidak akan berjalan. Omong-omong rumahnya ada di sebelah sana." Dominic menunjuk ke suatu jalan yang memasuki hutan. "Kau tidak perlu khawatir tersesat, karena Shannon sudah memberi tanda petunjuk jalan. Aku akan berada disini untuk tidur sebentar, bangunkan aku jika kau sudah selesai melihat." Ujar Dominic sembari membaringkan tubuhnya di atas padang rumput. Aku terdiam tidak tahu harus merespon apa atas penjelasan Dominic, tetapi setelah melihat nya mulai tidur, aku bangkit berdiri dan berjalan menuju jalan yang di tunjuk Dominic. Ketika berada di depan jalan yang di kedua sisi sampingnya adalah hutan, di situ aku melihat dua buah pita yang diikat di salah satu pohon, kemudian aku melihat pita lain yang sama di pohon berbeda, jaraknya hanya 5 pohon setiap pita. "Warna nya merah dan biru." Gumam ku. Itu pasti menandakan Eloise dan Shannon. Aku berjalan mengikuti petunjuk jalan itu, dan di ujung jalan aku melihat sebuah rumah dengan pekarangan yang luas dan di batasi pagar kayu, rumah itu terlihat sederhana dan manis. Aku berjalan mendekat lalu membuka pagar tersebut, mataku menangkap dua buah karung bibit dan tertulis bunga popi. Pasti Shannon berencana menanam bunga popi di pekarangan ini. Aku berjalan mendekati rumah tersebut, dengan kunci yang di berikan Dominic, aku berhasil membuka pintu tersebut. Tidak sesuai dugaan ku yang ku kira kosong, ternyata rumah ini sudah diisi dengan berbagai perabotan rumah yang sudah cukup lengkap. Rumah ini tidak sempit dan tidak luas tapi sederhana, juga sangat nyaman, walau di penuhi debu, tetapi setidaknya masih rapih. Aku melihat sebuah tangga dan berjalan ke atas, dan aku melihat tiga buah pintu yang sudah di gantung papan kecil dengan tulisan. Setiap pintu berbeda warna, pintu biru di tulis dengan nama Shannon di papan kecilnya, pintu merah di tulis dengan nama Eloise di papan kecilnya, dan terakhir pintu berwarna ungu di tulis perpustakaan di papan nya. Entah bagaimana aku bisa membayangkan nya, jika Eloise dan Shannon tinggal disini. Jika firman dewa itu tidak turun dan Shannon masih hidup, kemudian Eloise berhasil lulus dari akademinya, Shannon pasti akan berhenti dari pekerjaannya sebagai ksatria dan pergi bersama Eloise ke rumah ini dan memulai kehidupan yang baru dengan sederhana, hangat dan bahagia. Air mata jatuh begitu saja dari kelopak mataku, aku terkejut, rasa sesak juga menjalar dari d**a ku. "Apa ini perasaan Shannon? Atau empati ku pada mereka?" Tanya ku pada diriku sendiri. Aku membalikkan tubuhku dan berjalan menuruni tangga, lalu keluar dari rumah tersebut, tidak lupa mengunci pintunya juga. Sekali lagi angin sepoi meniup lembut rambutku, aku memutar tubuhku dan menatap rumah tersebut. "Shannon, kau tidak perlu sedih karena rencana kalian untuk hidup baru bersama Eloise gagal, tapi gadis itu sudah menemukan kebahagiaan nya." Gumam ku, terbesit di benakku sosok Reithel. Aku merasa sangat yakin akan kehadiran Reithel sebagai sumber kebahagiaan Eloise yang baru. "Dia tidak sendirian, jadi kau tidak perlu khawatir." Ucapku lagi. "Aku tidak butuh ini." Gumam ku sembari menatap kunci rumah yang ada di tangan ku. "Karena ketika semuanya sudah selesai, aku akan membunuh diriku lagi." ⬛⚪⬛ Raven menaruh bunga putih anyelir di depan sebuah batu nisan. Tertulis, Shannon Shafiria, pada batu nisan tersebut. Setiap hari, setelah kematian Shannon, Raven selalu membawa setangkai bunga anyelir putih untuk makam Shannon. Pria itu juga tidak lupa untuk berdoa agar Shannon merasa tenang di sana. "Kau tidak perlu khawatir, aku baik-baik saja, istirahat lah Shannon, aku selalu berterimakasih atas apa yang kau lakukan selama ini sebagai ksatria." Ucap Raven kemudian berdiri, ia menatap sendu batu nisan tersebut. "Aku akan kembali lagi." Ujarnya kemudian Raven berjalan pergi meninggalkan makam. Tapi tanpa di sadari pria itu, dari jauh tampak kaisar Gellius menatap Raven, dan di sampingnya ada Mathias yang mendampingi nya. "Ku dengan itu adalah makam salah satu bawahan terbaik Raven, Shannon Shafiria?" Tanya Gellius. "Benar yang mulia." Balas Mathias, mata Gellius menatap batu nisan tersebut dan bunga anyelir yang di taruh raven tadi. "Apakah dia juga kekasih raven?" Tanya Gellius, Mathias memasang ekspresi terkejut. "Aku tidak yakin tetapi menurut yang aku tahu, pangeran Raven sangat menghormati Shafiria sebagai ksatria, karena ia sudah sangat berjasa dalam membantu banyak masalah di kekaisaran Roxane." Jelas Mathias, Gellius mengangguk-angguk. Gellius sudah pernah mendengar itu sedikit dari pasukan khusus nya, dan semakin kesini, mereka melaporkan kalau kerja Raven semakin bagus, dan kriminalitas yang di ciptakan Warzerten sudah menipis. Sedangkan untuk Gionard anak pertama Gellius, jujur saja pria itu sedikit kecewa karena Gionard lebih mempedulikan bangsawan yang berpihak pada nya untuk menjadi putra mahkota di bandingkan mengurus masalah keamanan kekaisaran juga rakyat. "Mathias." Sebut Gellius, pendeta agung itu menoleh dan menatap sang matahari kekaisaran. "Tolong persiapkan Raven, aku ingin menjadikan dia sebagai salah satu kandidat, karena aku akan memilih ulang siapa yang akan mewarisi tahta ku sebagai pemimpin kekaisaran ini nanti." - - - To be continued
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN