Elena mengambil ponsel yang diletakkan di atas meja. Kemudian ia memasukkannya ke dalam tas. Setelah itu, Elena menutup resleting tasnya dan memakai tasnya.
"Apa kamu tidak apa-apa?"
Tiba-tiba saja Elena teringat suara Alan yang lembut saat menangkapnya di dapur kemarin malam. Sudah yang ke lima kalinya untuk hari ini. Setiap kali teringat, Elena menjadi tersipu malu dan jantungnya selalu berdebar kencang.
"Ada apa denganku ini?!" kata Elena menepuk-nepuk kedua pipinya keras.
"Ini pasti karena aku terlalu lama tidak berkencan. Aku berdebar hanya karena masalah sepele." Lagi-lagi, Elena berbicara sendiri.
"Sudahlah! Aku harus segera berangkat! Mumpung ini masih pukul sembilan pagi! Agar tidak terlalu malam, aku harus berangkat menjenguk anak bi Siti!" ungkap Elena mencoba mengembalikan fokusnya.
Elena pun berjalan keluar kamarnya. Setelah berada di luar kamar, ia menutup kembali pintu kamar. Setelah itu, ia berjalan keluar pintu utama rumah ini.
Namun, begitu Elena sudah berada di teras, ia melihat mobil Alan terparkir di halaman. Tentu saja membuat Elena terhenyak kaget melihatnya. Elena melebarkan kedua matanya dan mengerjapkannya cepat.
"Bukannya dia tadi sudah berangkat ke kantor? Kenapa sekarang dia ada di sini lagi?" lirih elena sangat pelan berbicara sendiri.
Pintu mobil terbuka. Alan keluar dari dalam mobil itu. Begitu Alan keluar dari dalam mobil, jantung Elena berpacu lebih kencang lagi. Selalu saja seperti ini. Elena harus berusaha terus mengatur nafasnya.
Alan yang sudah di luar mobil, berjalan mendekat ke arah Elena. Semakin Alan mendekat, Elena semakin berdebar. Elena menarik nafas panjang, agar ia bisa mengontrol dirinya.
"Pak Alan, kenapa pulang lagi? Apa ada yang ketinggalan?" tanya Elena pada Alan yang berdiri di depannya.
"Aku akan mengantarmu ke rumah sakit tempat anak bi Siti dirawat," jawab Alan.
"Apa?! Tapi, bukannya pak Alan harus bekerja?"
"Aku sedang tidak sibuk di kantor. Aku bisa mengantarmu hari ini."
Tiba-tiba, ponsel Alan berdering. Belum sempat Elena membalas kalimat Alan, ia jadi diam sejenak. Alan melihat ada panggilan dari teman Alan yang waktu itu datang ke rumahnya. Alan pun mengangkat panggilannya.
"Halo?" sapa Alan dulu.
"Halo, Lan? Kau tidak masuk kantor? Padahal aku ke sini untuk bertemu denganmu!"
"Hm! Aku tidak di kantor."
"Aku tanya Satria, katanya kau buru-buru pulang. Kau bahkan membatalkan semua jadwal dari staff yang ingin bertemu denganmu. Apa ada hal yang sangat mendesak?"
Alan tercekat mendengar temannya itu. Ia jadi salah tingkah. Mana mungkin Alan mengatakan pada temannya kalau sebenarnya tidak ada keperluan yang begitu mendesak. Alan hanya mencemaskan Elena yang sedang hamil, pergi sendirian ke desa tempat anak bi Siti dirawat.
"Hm! Begitulah," jawab Alan pada temannya itu.
"Apa kau di rumah? Aku akan menemuimu di sana."
"Tidak. Aku juga tidak di rumah. Kau bisa datang lagi besok."
"Tapi, Lan! Aku —,"
Alan menjauhkan ponsel dari telinga dan segera menggeser kursor berwarna merah. Ia segera mematikan ponselnya, tanpa menunggu temannya menyelesaikan kalimatnya. Kemudian, Alan melihat ke arah Elena lagi.
"Ayo berangkat sekarang!" kata Alan yang langsung berbalik kembali menuju ke arah mobilnya.
"Tapi Pak ...."
Elena terhenti berbicara ketika melihat Alan sudah menjauh dan sampai di dalam mobil. Elena masih setengah bingung awalnya.
"Bagaimana aku bisa naik mobil bersamanya kalau jantungku selalu berdebar-debar tidak tentu seperti ini?" lirih Elena berbicara sendiri sangat pelan.
Alan membunyikan klakson mobilnya. Elena terhenyak sesaat. Ia melihat Alan yang sudah berada di dalam mobil dan menyuruh Elena segera masuk. Elena pun tidak memiliki pilihan lain. Ia akhirnya berjalan mendekat ke arah mobil dengan langkah berat.
***
Alan membuka pintu di dalam ruangan kamar pasien. Begitu dibuka, bi Siti yang ada di dalam ruangan tersebut terkejut melihat Alan. Elena mengikuti di belakangnya.
"Tuan dan Nona?! Kenapa kalian bisa ada di sini?!" tanya Bi Siti yang masih terkejut dan berdiri.
"Elena ingin melihat anak Bibi," kata Alan. Elena pun berjalan ke arah Bi Siti.
"Bagaimana keadaan anak Bi Siti?!" tanya Elena yang sudah di samping bi Siti. Sebelumnya, Elena sempat melihat laki-laki muda yang terbaring di tempat tidur dengan infus dan memejamkan matanya.
"Itu, Non," tunjuk bi Siti pada laki-laki muda yang merupakan anaknya. "Namanya Bima. Dia baru saja tidur. Dokter menyuruhnya banyak-banyak istirahat selesai operasi kemarin," jawab bi Siti. Elena pun mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tiba-tiba, ponsel Alan kembali berdering. Sejujurnya, hari ini banyak yang sedang mencari Alan di kantor. Tapi, Alan sudah terlanjur berada jauh dari area kantor. Alan pun keluar kamar pasien untuk mengangkat panggilannya. Bi Siti memperhatikan Alan.
"Non Elena ke sini minta diantar tuan Alan, ya?" tanya Bi Siti setelah Alan keluar.
"Tidak, Bi. Tadi, pak Alan sendiri yang menawarkan untuk mengantarku," jawab Elena. Bi Siti kaget mendengar ungkapan Elena tersebut. Tidak biasanya Alan bersikap seperti ini?
"Jadi, operasinya kemarin berjalan lancar ya, Bi?" tanya Elena lagi.
"Syukurlah lancar, Non. Ini semua berkat tuan. Tuan, segera mendaftarkan Bima untuk operasi secepatnya. Bahkan, tuan langsung menghubungi dokternya. Tuan juga memesankan kamar VVIP untuk Bima. Bibi sendiri juga tidak tahu kalau tidak ada tuan, Non," jelas bi Siti.
Elena pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia merasa terkesan dengan cerita bi Siti tentang Alan. Elena kembali melihat ke arah Bima yang sedang tertidur itu.
"Dia usia berapa, Bi? Kelihatan masih muda?" tanya Elena.
"Bima masih kuliah semester tiga, Non."
"Wah, pantas saja masih kelihatan sangat muda."
"Bima selalu belajar dengan keras. Dia bilang, kalau dia lulus akan membalas semua jasa-jasa tuan Alan."
"Membalas jasa pak Alan? Apa maksudnya, Bi?"
"Bima, tidak akan bisa kuliah tanpa bantuan tuan, Non. Tuan yang sudah mengkuliahkan Bima. Tuan juga membiayai semua kebutuhan anak Bibi semasa kuliah. Bukan hanya itu. Tapi, tuan juga sudah menganggap Bima sebagai adiknya sendiri. Tuan kadang mengunjungi Bima dan mengajaknya untuk main," jelas bi Siti. Elena diam mendengarkan.
"Bibi, banyak berhutang pada tuan Alan," kata bi Siti nampak melanjutkan kembali kalimatnya. "Kalau ayah Bima masih hidup, mungkin bibi dan suami bibi bisa menguliahkannya."
"Oh iya, Bi. Aku juga dengar dari pak Alan kemarin, ternyata almarhum suami Bibi, sebelum meninggal bekerja sebagai sopir di rumah pak Alan, ya?"
"Iya, Non."
"Aku turut sedih dengan apa yang menimpa suami Bibi," ungkap Elena lagi.
"Terima kasih, Non. Saat ayah Bima meninggal, tuan Alan juga yang mengurus semuanya. Bahkan, tuan juga ikut memandikan dan menguburkannya. Setelah itu, tuan melakukan sedekah besar-besaran ke panti asuhan atas nama almarhum suami Bibi. Tuan bilang, almarhum suami Bibi harus diingat dan dikenang," terang bi Siti.
Elena semakin tertegun mendengarnya. Ia kembali mengetahui, sisi Alan yang seperti ini. Elena kemudian melihat ke arah kaca pintu yang tembus pandang ke luar. Di sana, ia bisa melihat Alan yang sedang menerima telepon di luar ruangan.
"Jadi, selama ini yang aku pikirkan tentang pak Alan salah besar. Ternyata pak Alan orang yang peduli dan sama sekali tidak egois," gumam Elena dalam hati dengan terharu.