Bab 16. Sulit Mengerti

1301 Kata
Alan menutup dokumen yang ada di atas meja kerjanya. Setelah itu, ia memijat lekukan di tengah kedua matanya pelan. Hari ini, rasanya cukup penat dan lelah juga. Ia menyandarkan badan di kursi kerjanya untuk mengistirahatkan otak sejenak. "Karena kita tinggal satu rumah untuk saat ini, mungkin Pak Alan bisa bercerita padaku." Tiba-tiba, Alan teringat kalimat Elena untuknya beberapa hari yang lalu. Saat ia mengantarkan Elena ke dokter waktu itu. Alan pun membuka kedua matanya dan justru membenamkan pikirannya ke waktu saat itu, ketika mereka berada di dalam mobil. "Kalau Pak Alan butuh teman, atau orang yang sekedar ingin diajak berbicara. Aku akan bisa mendengarkan keluhan Pak Alan. Dengan begitu, Pak Alan tidak akan merasa kesepian." Alan sengaja mengingat kalimat Elena yang lain. Setiap kali teringat, membuat hatinya tergetar. Entah, kenapa ia merasa ada sesuatu yang tidak wajar bekerja dalam dirinya saat Elena mengatakan seperti itu? Rasanya, baru pertama kali juga ada yang mengatakan hal seperti itu padanya. Alan lalu melihat jam tangannya. Di sana, masih menunjukkan pukul setengah empat sore. Alan lalu menegakkan badannya. Ia mengambil gagang telepon dan menghubungi seseorang. "Halo, Pak?" jawab seseorang dari dalam telepon tersebut. "Masuklah dan ambil semua dokumennya," pinta Alan. Setelah itu, Alan kembali menutup panggilan di teleponnya. Ia lalu menumpuk semua dokumen yang baru saja ia periksa. Tidak lama, seseorang masuk ke dalam kantornya. Tentu, dia adalah Satria, asisten Alan saat ini. "Cukup untuk hari ini," ujar Alan yang memberikan tumpukan dokumen tersebut pada Satria. "Baik, Pak." Satria menerimanya. Alan lalu berdiri dari tempat duduknya dan mengambil ponselnya. Satria memperhatikannya dengan sedikit heran. Ia bahkan melihat Alan membenarkan jam tangannya. "Pak Alan, sudah mau pulang?" tanya Satria. "Hm!" "Loh, bukannya Pak Alan mau meeting dengan beberapa staff di aula setelah ini?" "Katakan pada mereka, batalkan dan ganti dengan besok," ujar Alan sembari berjalan menuju keluar ruangannya. Satria yang berdiri di sana, melihat Alan dengan menautkan kedua alisnya heran. Alan bahkan tidak mengatakan apa alasan untuk membatalkan meeting dengan para staff itu. "Aneh? Tidak biasanya pak Alan seperti itu? Ada apa dengannya hari ini?" gumam Satria berbicara sendiri dengan bertanya-tanya. Satria pun mengambil ponsel dari dalam sakunya. Ia menghubungi salah satu staff untuk mengabarkan apa yang baru saja Alan perintahkan. Setelah menempelkan ponsel ke telinga, Satria menunggu seseorang mengangkat panggilannya. "Halo? Kata pak Alan, rapat di aula nanti diganti jadi besok," kata Satria pada seseorang yang berbicara dengannya di ponsel. "Benarkah?! Syukurlah! Aku belum selesai mengerjakan laporannya!" seru dari dalam telepon tersebut nampak senang. *** Alan berjalan di teras dan memasuki rumahnya. Hari ini, ia benar-benar pulang lebih awal dari biasanya. Alan yang sudah berada di dalam rumahnya itu, langsung melihat ke arah kamar Elena yang tertutup dari dalam. Alan kemudian menyapu pandangan dan memperhatikan seisi rumahnya yang luas. Di sana, ia tidak menemukan Elena di manapun. Mungkin memang Elena ada di dalam kamar. "Loh, Tuan sudah pulang?!" Tiba-tiba, bi Siti menghampirinya dengan terkejut. "Iya, Bi. Hari ini tidak ada pekerjaan yang berat," jawab Alan. "Ya sudah, Tuan. Kalau begitu, saya akan siapkan makan sorenya dulu ya, Tuan," kata bi Siti. Alan tidak menjawabnya. Alan kembali memperhatikan kamar Elena. Sama sekali tidak ada perubahan. Membuat Alan gatal penasaran ingin bertanya pada bi Siti. "Bi?" panggil Alan pada bi Siti. Membuat bi Siti terhenti berjalan dan menoleh kembali ke arah Alan. "Iya, Tuan?" "Eee ... dia, ke mana?" tanya Alan terdengar ragu ketika menanyakan Elena. "Non Elena tadi keluar, Tuan." Mendengar Elena keluar, Alan lumayan terhenyak. Tumben sekali? "Keluar? Keluar ke mana?" "Tadi katanya mau membeli sesuatu, Tuan." "Sesuatu apa?" "Bibi sendiri tidak bertanya, Tuan," jawab bi Siti. Alan diam mengkerutkan kening dan tidak menanggapi bi Siti. Membuat bi Siti memperhatikannya. "Tuan? Apa ada lagi yang ingin ditanyakan? Kalau tidak, Bibi akan ke dapur untuk menyiapkan makan malam," kata bi Siti membuyarkan pikiran Alan sebentar. "Ah! Tidak, Bi. Silahkan pergi sekarang," ujar Alan. Bi Siti pun berjalan menjauh dari Alan. Setelah bi Siti pergi, Alan menautkan kedua alisnya nampak kecewa. Padahal, ia pulang cepat ingin bertemu dengan Elena. Bahkan, Alan sudah membatalkan rapat pada staff yang harusnya melapor hari ini. Alan pun hanya menghela nafas panjangnya dan berjalan ke arah kamarnya. *** Alan berdiri di depan pintu rumah yang terbuka. Bolak balik ia melihat jam dinding yang sepertinya sangat lama sekali berjalan. Alan juga nampak tidak tenang dan gelisah. "Tuan? Makanannya sudah siap. Silahkan makan dulu," kata Bu Siti yang sudah berdiri di samping Alan. Alan menoleh ke arah bi Siti. "Bi? Kenapa Elena belum pulang juga, ya?" tanya Alan kelihatan gelisah. "Bibi juga tidak tahu, Tuan." "Apa tadi dia memberitahu mau pergi ke mana?" "Katanya di daerah dekat taman kota. Mau ke toko kerajinan." "Sejak kapan dia pergi?" tanya Alan nampak gelisah. "Sejak pukul tiga sebelum tuan pulang. Seharusnya sih, memang sudah pulang, Tuan. Karena tadi katanya saat berangkat hanya mau pergi sebentar." "Benarkah?!" "Tunggu saja, Tuan. Pasti sebentar lagi Nona akan pulang," kata bi Siti lagi. Bi Siti kemudian kembali ke meja makan untuk melanjutkan menata meja makan. Namun, Alan tetap tidak bisa tenang. Ia berpikir dan menebak, memang seharusnya Elena sudah kembali. Alan jadi memikirkan hal-hal yang membuatnya semakin tidak tenang. Alan kemudian mengambil ponselnya. Ia mengusap layar ponselnya dan segera menghubungi elena. Sayangnya, ponsel Elena tidak aktif. Membuat Alan menjadi semakin khawatir. Alan tidak bisa terus diam menunggu di sini! Elena sedang hamil! Ia pun berjalan ke arah kamar untuk mengambil kontak mobilnya. Setelah menyambar kontak mobilnya, Alan kembali berjalan keluar kembali. Ia harus menemukan Elena sekarang juga. Ia bahkan tidak bisa mengontrol nafas dan detak jantungnya yang bekerja lebih cepat dari biasanya. Namun, begitu Alan sudah melewati pintu, ia melihat Elena yang baru datang berjalan masuk. Saat itu, jantung Alan seolah terjatuh sebentar dari tempatnya. Perasaan gelisahnya hilang. Namun, ia masih khawatir. Alan berjalan cepat menjemput Elena. "Elena?! Kamu tidak apa-apa?!" tanya Alan yang langsung memegangi kedua lengan Elena. Otomatis, Elena terkejut karena sikap Alan itu. "Pak Alan? Pak Alan sudah pulang?" Elena justru balik bertanya. "Kamu dari mana saja?! Kenapa nomormu tidak aktif?!" tanya Alan dengan tergesa. "A ... aku ...," "Apa kamu tidak apa-apa?! Apa kamu terluka?!" Alan kembali bertanya bahkan ketika Elena belum sempat menjawabnya. Elena hanya terdiam tidak menjawab dan mengerjapkan kedua matanya dengan cepat melihat Alan. Ia sama sekali tidak tahu maksud Alan. Apakah, Alan sedang mencemaskannya saat ini? Mereka saling tatap dengan jarak dekat. "Non Elena sudah pulang?" Tiba-tiba, suara bi Siti membuat fokus antar keduanya pecah. Alan baru tersadar kalau ia masih memegangi kedua bahu Elena dengan rasa cemasnya. Alan pun segera melepaskan pegangannya dari Elena. Membuat Elena sendiri seolah baru bisa bernafas. "Nona dari mana saja? Dari tadi, Tuan terus saja khawatir," kata bi Siti lagi. Tentu saja membuat Alan terhenyak mendengarnya. Elena menoleh ke arah Alan dengan pandangan bingungnya. Lalu ia kembali melihat bi Siti. "Tadi, aku sedang mencari bahan merajut, Bi. Tapi, tadi aku bertemu dengan temanku, dia mengajakku minum teh, akhirnya aku pulang telat," jelas Elena. Elena lalu gantian menoleh ke arah Alan. "Maaf, Pak. Tadi baterai ponselku mati, jadi aku tidak tahu kalau Pak Alan menelpon," kata Elena pada Alan. Alan tidak menjawabnya. Ia mengalihkan pandangannya sambil berdehem salah tingkah. "Syukurlah Non sudah pulang dengan selamat. Sekarang, kita makan dulu saja," ajak bi Siti. "Kalian makanlah dulu. Aku belum lapar!" Alan tiba-tiba berjalan menuju ke kamarnya dengan langkah kaki cepat. "Loh?! Bukannya tadi tuan yang ingin makannya disiapkan?!" seru bi Siti. Alan tidak menjawab dan meneruskan jalannya menuju kamar. Alan yang baru masuk ke kamarnya, menutup pintu kamarnya dengan setengah keras. Membuat bi Siti dan Elena semakin heran melihatnya. Keduanya pun lalu saling pandang dan saling menaikkan kedua bahunya. Sedangkan Alan yang ada di dalam kamarnya, mencoba memahami sesuatu dari dalam dirinya. Ia bingung sendiri, kenapa tadi ia harus bereaksi berlebihan? "Ada apa denganku hari ini?" gumam Alan pelan berbicara sendiri. "Apa aku benar-benar mengkhawatirkannya? Benar-benar tidak masuk akal."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN