Aku pernah meraba hitam. Lalu tertarik untuk masuk ke dalamnya. Setelahnya, aku tersesat. Kemudian keluar dan dunia tak lagi sama. Aku kehilangan.
-Dunia Baru-
"Kamu gak apa-apa?"
Adalah suara yang pertama aku dengar. Masuk begitu saja ke telingaku saat mataku menjelajah ke Langit-langit.
Ruangan asing.
"Olivia, tolong jawab saya. Apa yang kamu rasakan?" Aku menoleh kearahnya.
"Pusing," ucapku pelan. Lalu aku melihat lagi perempuan itu berlalu dan kembali dengan segelas air di tangannya.
"Minum dulu. Kamu masih shok." Perempuan itu meyanggah Badanku yang setengah berbaring. Kemudian aku meminum air itu hingga tandas.
"Kamu ingat yang terjadi?" Perempuan itu mengamatiku.
Bu Yulia. Ah! Aku ingat! Dia guru matematikaku.
"Saya di mana, Bu?" tanyaku.
"Kamu di kamar hotel, Olivia. Tadi beberapa orang menemukanmu di gudang hotel. Bagaimana kamu bisa berada di sana?"
Pikiranku kembali berjalan saat aku masuk hotel ini. Saat itu, aku turun dari bus terburu-buru karena ingin ke kamar mandi. Lalu aku berjalan sesuai instruksi seseorang yang sebelumnya aku tanya dimana letak kamar mandi. Setelahnya, aku di dorong ke dalam ruangan gelap. Gelap yang pekat dan aku tak bisa melihat apapun. Lalu hanya orang-orang menari dan tertawa yang ada di pikiranku.
"Saya tidak ingat." Mataku terpejam. Aku ingin melupakan segalanya.
Adio.
Mengapa aku mendengar suaranya saat itu? Mengapa ia selalu menghantuiku sampai sini? Aku sudah minta maaf atas yang terjadi lima bulan lalu, dimana saat hubunganku dan Adio hampir membaik kemudian kubuat hancur lagi dengan kembali menjadi kuman dalam hidupnya.
"Sepertinya kamu butuh istirahat." Aku merasakan usapan halus di kepalaku sebelum aku mendengar pintu terbuka kemudian tertutup.
Salahku memang. Sempat berharap sekali lagi dengan Adio lima bulan lalu. Kesalahan yang membuat Adio semakin membenciku. Bukan hanya Adio. Kak Oliver, Mama, Bunda, Tante Ve, juga si kembar Ve.
Ah! Satu lagi, Cinta.
Kini aku sendiri dengan musuh di Mana-mana. Aku yakin, tidak ada satu orang pun yang datang menjengukku saat ini. Aku memang pantas menerimanya atas apa yang ku lakukan lima bulan yang lalu.
Saat aku menjadi monster.
*__*
"Lo gak apa-apa?" Aku hanya melirik Fathan kemudian kembali memejamkan mataku. Ah, aku salah. Mungkin Fatanlah satu-satunya yang ingin menemaniku.
"Dia, Ghea." Aku hanya memejamkan mataku sembari menunggu Fatan menceritakan semuanya. "Ghea yang dorong lo masuk ke gudang. Gue juga gak nyangka, Ghea yang gue kenal pendiam dan baik jadi orang yang mengerikan kayak gitu." Bukan salahnya. Itu Salahku. Aku yang membuat Gea seperti itu.
"Liv, mungkin dulu lo emang salah. Tapi lo gak berhak diperlakukan mereka kayak gitu."
Mereka berhak. Bahkan ini belum ada apa-apanya dibandingkan dengan perbuatanku ke Gea lima bulan yang lalu.
"Lupain Adio, Liv. Hidup lebih baik dari sebelumnya."
Aku tahu, aku memang cengeng. Dan saat ini, aku ingin menangis. Menangisi apa saja yang sudah terjadi selama lima bulan di hidupku. Semuanya hancur. Berubah karena kejadian satu hari s****n itu.
Seharusnya, aku benar-benar berhenti untuk mengejar Adio. Tapi aku egois. Aku tidak terima Adio berpacaran dengan Ghea. Demi Tuhan Ghea adalah teman sekelasku. Mungkin tidak masalah jika bukan dengan Ghea. Tapi melihat Adio menghabiskan waktu liburnya untuk menjemput kemudian pergi kencan dengan Ghea membuatku muak!
Aku tahu, aku banyak mengabaikan nasihat dari orang-orang terdekatku. Cinta, Mama, Kak Oliver, Tante Ve, dan Bunda. Tapi mereka tidak tahu rasanya. Saat aku benar-benar berharap saat itu. Adio sudah kembali berteman dengan Kak Oliver walaupun dia mengabaikanku. Adio sudah mau ikut mengantarku saat dia mengantar si kembar Ve sekolah. Tapi Demi Tuhan, jika ternyata mengantarku dan si kembar Ve ke sekolah dapat mempertemukan Adio dengan Ghea, lebih baik aku menolaknya. Karena itu, dia mengenal Ghea. Dan mereka berpacaran.
Lalu aku semakin muak saat Ghea mulai datang ke rumah Adio. Berkenalan dengan Bunda, Tante Ve, juga si Kembar Ve. Mereka Menyukai Ghea. Perlahan melupakan bahwa mereka mendukungku untuk mendapatkan Adio.
Lalu kejadian di mana saat pensi di sekolah. Saat itu, aku melakukannya. Aku membully Ghea seorang diri. Mengurungnya di kamar mandi setelah aku menyiramnya dengan air got. Saat itu, aku berpikir setelah membalasnya, aku akan berhenti mengejar Adio dan membiarkan ia bahagia dengan Ghea. Tapi ternyata Adio mengetahuinya. Semua tahu. Dan semua membenciku. Termasuk Cinta.
Adio membentakku saat itu. Bukan hanya itu, dia memakiku. Semua memerhatikan itu. Saat itu, semua tidak segan-segan mencemooh kearahku.
Olivia membully gadis baik seperti Ghea hanya karena dia cemburu.
Lalu seharusnya saat ini aku tidak ikut darma wisata. Tapi aku nekat ikut padahal aku tahu tidak akan ada satupun yang ingin menemaniku. Namun ini kesempatanku bersama teman-teman sebelum kami semua berpisah. Walaupun aku tahu mereka tidak akan sedih berpisah denganku. Tiga tahun kami bersama hanya satu hari yang membuat mereka membenciku.
Kecuali Fathan. Yang bahkan sekarang memilih diam sembari memainkan ponselnya dan duduk di sofa kamarku.
"Tadi Cinta nanyain lo. Dia cemas." Ah! Sudah lama aku tidak mendengar Cinta bertanya tentangku. Apalagi mencemaskanku. "Dia mungkin masih kecewa sama lo. Lo gak pernah jelasin apapun ke dia. Mungkin dengan lo cerita, walau tetap aja perbuatan lo salah, Cinta mungkin bisa memakluminya."
Aku tertawa mengejek. Mengejek diriku sendiri. Untuk apa penjelasan itu? Tidak penting sama sekali. Aku sudah cukup menangis karena Kak Oliver dan Mama yang tidak ingin mendengar penjelasanku. Apalagi Cinta. Mustahil.
"Cukup lo, Than. Selama lo gak menjauh, bagi gue udah cukup."