"Ketika ruang itu mulai terlupakan. Kau hadir mengisi satu per satu harapan, membentuk bayangan walau aku tahu itu tidak pasti. Sesederhana itu aku merasakan kenyamananan."
------
Setelah hampir beberapa jam tidak sadarkan diri, Nathania akhirnya terjaga. Ia memandang keadaan sekitar dengan perasaan bingung. Ada yang tidak biasa dengan apa yang sedang ia lihat saat ini.
Aku ada di mana?
Ini bukan kamarku, kan?
Pertanyaan itu yang pertama kali muncul di benaknya. Karena ketika membuka mata, pandangannya terpaku pada sebuah ruangan didominasi oleh warna putih yang cukup khas. Terlihat tak jauh dari tempat ia berbaring, ada beberapa perlatan medis seperti panel oksigen, tiang infus, serta vacum meja makan portabel. Jelas ini bagian dari sebuah ruangan rumah sakit.
Belum lagi terjawab rasa penasaran di kepala, sesosok pria yang sangat ia kenal masuk dan menghampirinya.
"Kau sudah sadar? Bagaimana perasaanmu?" pertanyaan itu yang pertama kali terdengar. Ada rasa cemas menyertai di suara beratnya.
Nathania mengangguk lemah.
"Saya rasa sudah lebih baik. Maaf kalau saya merepotkan. Mungkin saya akan pulang sekarang." Nathania menegakkan tubuhnya, berusaha bangkit dari posisi tidurnya.
Melihat Nathania yang memaksakan diri untuk bangkit, dengan serta merta Richard memajukan tubuhnya berusaha menghalangi niatan wanita di hadapannya.
"Tunggu! Ku rasa kau belum bisa kemana-mana. Keadaanmu belum pulih benar." tahan Richard.
"Tapi saya harus pulang, mister. Saya tidak bisa berlama-lama di sini." pinta Nathania.
Richard terdiam sejenak, menimbang permintaan Nathania untuk pulang. Sebenarnya ia tidak memiliki hak untuk melarang wanita itu pergi. Tapi entah mengapa ada rasa khawatir menyeruak dipikirannya. Takut, kalau saat di rumah kecemasan yang menimpa Nathania sebelumnya kembali terulang. Tapi sekali lagi Richard sadar diri, dia bukan siapa-siapa yang harus serta merta perduli. Lagipula yang ia lakukan saat ini hanya keperdulian antara seorang atasan terhadap bawahannya. Yah, Richard memastikan akan hal itu.
"Kau belum bisa pulang sekarang. Beristirahatlah dulu. Untuk besok kau tidak perlu bekerja. Aku akan memberikan cuti sampai kondisimu benar-benar membaik."
Nathania sedikit terkesiap mendengar ucapan Richard.
"Tapi, mister ---"
"Tinggal dulu sejenak di sini atau kau mau aku pecat?"
Cih! Apakah itu sebuah pilhan? Intinya terdengar sama, bukan? Bila setuju ia harus tinggal sejenak di rumah sakit dan bila menolak sama saja ia harus kehilangan pekerjaan. Mau tidak mau Nathania menuruti perkataan Richard untuk tetap tinggal sejenak di rumah sakit. Salahnya juga harus pingsan hingga Richard sampai membawanya ke tempat ini.
"Sekarang lanjutkan istirahatmu. Aku harus pulang. Kalau kau butuh apa-apa kau bisa memanggil perawat jaga atau hubungi saja aku."
Nathania mengangguk sebagai jawaban. Tak berselang lama, pria bermata hazel itupun pergi meninggalkan Nathania sendiri di ruangannya.
****
Pagi-pagi sekali Richard memarkirkan lamborghini aventador miliknya di halaman parkir rumah sakit. Berjalan sedikit tergesa ia akhirnya sampai di ruangan di mana Nathania sedang beristirahat.
Di lihatnya wanita itu masih tertidur pulas di atas tempat tidurnya. Dengan sedikit mengendap, Richard masuk lalu meletakkan tas yang berisi beberapa buah dan makanan di atas meja portable. Setelah memastikan wanita itu baik-baik saja, Richard kembali mengarahkan kakinya untuk segera keluar dan pergi menuju kantor.
Memasuki ruang kerjanya, Richard di kejutkan dengan kehadiran Kenzie disana. Sedikit heran karena sahabatnya itu tidak sedikitpun memberitahu kalau ia akan pulang ke Indonesia.
"Terkejut dengan kehadiranku?" sapa Kenzie seraya meraih tangan lalu memeluk tubuh Richard dengan erat. Setelah itu mereka berdua tampak duduk bersama di sofa tamu.
"Sejak kapan kau pulang ke Indonesia? Kau tidak sama sekali mengabariku."
Kenzie tertawa mendengar ada nada kesal dari ucapan sahabatnya.
"Aku benar-benar tidak merencanakan ini, hanya saja Mama memintaku untuk pulang karena beliau akan merayakan ulang tahun akhir pekan ini. Kau tahu sendiri bagaimana Mamaku, kan?"
Richard mengedikkan bahunya. "Well, aku sangat mengenal Mrs.Luna Winata, setiap merayakan apapun ia selalu saja ingin seluruh anggotanya berkumpul."
Kenzie tersenyum.
"Lalu bagaimana kabar perusahaan? Apa ada masalah selama aku tinggalkan?"
Richard menggelengkan kepala.
"Sejauh ini semua berjalan dengan baik. Apalagi setelah kau mengirim Edward kemari, setidaknya hampir semua tender besar bisa kita dapatkan. Bahkan saat ini kita sedang mempersiapkan pembangunan komplek permainan Indoor terbesar se-Asia Tenggara di singapura."
"Aku memang tidak pernah salah dalam memilih, ya walaupun kau tahu sendiri sahabatmu yang satu itu sering bersikap gila. Tapi setidaknya ia selalu totalitas dalam urusan pekerjaan."
Belum lagi usai perbincangan antara Richard dan Kenzie, terdengar suara ketukan pintu sekali di ikuti masuknya seorang pria yang sedang mereka bahas sedari tadi.
"Aku tebak kalian pasti sedang membicarakanku." ucap pria itu langsung mendudukkan tubuhnya bersisian dengan Kenzie tanpa di persilahkan terlebih dahulu.
Kenzie terkekeh mendengar ucapan Edward.
"Kau memang selalu percaya diri."
"Maaf aku pemula dan masih belajar. Bukannya soal kepercayaan diri, aku dan Richard belajar darimu Tuan muda Kenzie Winata?"
Kali ini Kenzie tidak bisa lagi menahan gelak tawanya mendengar ucapan Edward. Di antara mereka bertiga, Edward memang terkenal yang paling pintar bercanda dan berbicara. Itu sebabnya banyak wanita di luar sana jatuh hati dengan segala rayuannya. Bahkan kepiawaiannya itu juga berpengaruh dalam usahanya meyakinkan para investor untuk bekerja sama.
"Ngomong-ngomong, di mana Nathania? Sejak tadi aku tidak melihatnya?"
"Ada atau tidak Nathania di ruangannya, itu bukan urusanmu, Ed," jawab Richard dengan raut wajah datar.
Kenzie yang tidak paham lantas mengerutkan dahinya. "Nathania? Siapa Nathania?" tanyanya bingung.
"Sekretaris baru Richard, dulunya karyawan di divisi perencanaan. Sayang sekali sebelum aku pindah kesini Richard sudah menariknya menjadi sekretaris. Kalau tidak, wanita itu mungkin sekarang menjadi asisten pribadiku," jawab Edward di sertai senyuman penuh arti.
Richard memandang tajam ke arah Edward. "Berhentilah menggodanya, Ed."
"Oh ayolah Rich, aku sudah memperingatkanmu. Kalau kau tidak maju, maka aku yang akan maju mendekatinya."
"Tunggu dulu ..." potong Kenzie. "jangan bilang kalian berdua sedang memperebutkan seorang wanita? Rich, apa kau benar-benar kali ini?"
Richard mendengkus kesal mendengar pertanyaan Kenzie. Namun belum sempat pria itu menyanggah ucapan Kenzie, dari balik pintu kini masuk wanita cantik yang sedang menggendong balita laki-laki.
"Apa aku mengganggu perbincangan para lelaki?" tanya nya seraya masuk mendekat.
"AL, astaga aku begitu merindukanmu."
Richard bangkit dari tempat duduknya lalu merentangkan kedua tangannya bermaksud memeluk wanita yang kini berjalan mengampirinya.
"Kau pikir aku tidak merindukanmu, hah? Aku bosan di London hanya melihat wajah Kiano!" Tanpa sadar Alya mencebikkan bibirnya seakan sedang merasa kesal.
Richard terkekeh mendengar ucapan Alya. Lantas pria itu meraih lalu menggendong tubuh balita yang tak lain Raphael, anak Kenzie dan Alya.
See?
Sikap Richard tiba-tiba berubah menghangat ketika bertemu Alya Winata. Satu-satunya wanita yang di perlakukan istimewa olehnya. Ia selalu mengatakan Alya berbeda dari kebanyakan wanita di luar sana. Lebih-lebih Richard sangat tahu bagaimana pengorbanan Alya dulu saat pertama kali menjalin hubungan bersama Kenzie. Itu yang menjadikan alasan utama Richard begitu menyayangi Alya layaknya saudara perempuannya sendiri.
"Jadi berapa lama kalian akan tinggal di Indonesia?" tanya Edward.
"Mungkin dua minggu, mengingat perusahaan di sana tidak bisa di tinggal terlalu lama. Aku hanya tidak tega membiarkan Briana menghandle semuanya sendiri."
Edward mengangguk, sejurus kemudian Alya mengeluarkan sebuah kartu undangan dari dalam tasnya lalu menyerahkannya kepada Kenzie.
"Ini undangan acara ulang tahun Nyonya besar Winata. Ku harap kalian berdua datang. Jangan lupa bawa pasangan kalian," ucap Kenzie.
Richard memandang Kenzie dengan tatapan yang sulit untuk diartikan. Meyadari itu, Kenzie kembali berbicara.
"Kalau kau memang sedang dekat dengan sekretarismu, kau bisa membawanya Rich. Tidak ada salahnya mengenalkannya pada kami semua."
Edward tergelak mendengar ucapan Kenzie. Jelas pria itu sedang menantang Richard untuk membawa seorang wanita hadir di pesta perayaan ulang tahun ibunya. Pikirnya, ini akan sangat menarik. Apakah nanti Richard menerima tantangan itu? Atau tetap bersikeras pergi sendiri.
"Yang pasti kalau kau datang sendiri, kumohon kabari aku, Rich. Maka aku yang akan maju dan menggandeng Nathania untuk hadir bersama di acara ulang tahun tante Luna."
Belum sempat lagi Richard menjawab, Kenzie mengambil alih pembicaraan.
"Aku tidak perduli dengan persaingan kalian, yang pasti aku sangat mengharapkan kehadiran kalian berdua. Kalau begitu, aku dan istriku pamit pulang dulu. Sampai jumpa lain waktu."
Edward pun mengikuti langkah Kenzie dan Alya yang berlalu pergi keluar ruangan. Sementara Richard terduduk malas sejurus kemudian menarik nafas dengan gusar. Bisa-bisanya Kenzie menantangnya untuk membawa serta sekretarisnya ikut hadir ke pesta ulang tahun ibunya.
Ngomong-ngomong soal Nathania, Richard baru tersadar jika hari sudah menunjukkan pukul dua belas. Artinya sudah memasuki jam makan siang. Cepat-cepat pria itu bergegas menuju parkiran lalu mengarahkan kendarannya menuju rumah sakit. Ia hanya ingin memastikan apakah wanita itu sudah menyantap makan siangnya atau belum. Entah mengapa ia jadi begitu perduli dengan keadaan sekretarisnya saat ini.
Ini hanya sebatas keperdulian antara atasan dan bawahan.
Ya aku yakin tidak ada maksud lebih selain itu.
Ini murni kemanusiaan.
Bukan begitu, Richard?
Sepanjang jalan Richard terus saja meyakinkan dirinya hingga tanpa sadar mobilnya sudah sampai di pelataran rumah sakit.
Tidak butuh waktu lama bagi Richard untuk sampai di ruangan tempat Nathania di rawat. Namun, sesampainya disana Richard tidak menemukan Nathania. Ruangannya terlihat bersih seperti tidak ada orang yang menempatinya.
Merasa bingung, pria itu mengarahkan kakinya menuju ruang resepsionis rumah sakit.
"Permisi, kalau saya boleh tahu pasien kamar Vip atas nama Nathania Aurora ada di mana?"
Salah seorang perawat tampak tersenyum kemudian menjawab. "Pasien kamar Vip atas nama Nathania Aurora sudah keluar beberapa jam yang lalu, Sir." jawabnya sopan.
"Sudah keluar? Apa sudah mendapat persetujuan dokter jaga?" tanya Richard tak percaya.
Perawat itu mengangguk. "Pasien sudah di periksa sebelumnya. Dokter menyatakan bahwa kondisinya sudah membaik, jadi pasien memutuskan untuk pulang."
"Baiklah, terima kasih atas informasinya."
Setelah mendengar penjelasan perawat, Richard memutuskan untuk kembali menuju kantornya.
Begitu Richard sampai di kantor, sesaat sebelum ia masuk lift direksi tanpa sengaja pria itu berpapasan dengan Keyra dan Alex. Sahabat Nathania itu terlihat baru saja kembali dari cafetaria.
"Key, bisa ke ruangan ku sebentar?" pinta Richard.
Keyra dan Alex tertegun secara bersamaan. Seumur hidup keyra bekerja di Blackhorse ia memang beberapa kali memasuki ruangan CEO untuk meminta tanda tangan persetujuan. Namun, bila di minta secara langsung oleh si pemilik ruangan, jelas baru kali ini.
"Baik, mister."
Keyra dan Alex menaiki lift berbeda dari Richard. Setelah sampai di lantai lima belas, ia segera menuju ruang kerja CEO.
"Silahkan duduk," pinta Richard saat wanita itu sudah berada di dalam ruangan. Takut-takut ia mendudukkan dirinya di kursi tepat di hadapan Richard.
"Kau tahu di mana rumah Nathania?"
Keyra mendongakkan wajahnya, menatap Richard dengan tatapan tidak percaya.
"Kenapa? Ada yang salah dengan pertanyaan ku?" Richard kembali bertanya.
Keyra menggelengkan kepalanya berkali-kali. Sebenarnya ia hanya bingung kenapa atasannya yang terkenal dingin itu bisa tiba-tiba bertanya alamat rumah sahabatnya. Apakah mereka ada sesuatu, pikirnya saat itu.
"Maaf, mister. Saya tidak bermaksud seperti itu. Kalau rumah Nathania saya tahu. Saya bisa memberitahukannya kepada Anda."
Richard mengangguk sejurus kemudian kembali bertanya. "Kalau nomor handphonenya? Apa kau punya?" Kali ini Keyra mengulum senyum. Hal itu tidak luput dari pandangan Richard. Membuat pria itu sedikit salah tingkah. "Jangan berpikiran macam-macam, ada urusan pekerjaan yang harus Aku sampaikan kepadanya. Sedangkan nomor handphone yang terdaftar di perusahaan sepertinya tidak aktif. Siapa tahu wanita itu punya nomor lain," ucap pria itu membuat Keyra tersenyum geli.
"It's ok, mister. Walaupun ada apa-apa itu juga bukan masalah buat saya. Nathania memang punya dua nomor handphone. Satu khusus untuk pekerjaan dan satu lagi khusus untuk keperluan pribadi," jelas wanita itu. "Sekedar informasi, Nathania wanita yang baik. Bahkan dulu di divisi sebelumnya banyak karyawan pria banyak yang suka dengannya. Kalau mister tidak gerak cepat. Saya tidak jamin sekretaris anda itu akan terus available," ucap Keyra memanasi.
Entah dari mana keberanian itu muncul sehingga Keyra secara terang-terangan memanasi atasannya yang terkenal dingin itu. Dalam hatinya, ia tersenyum puas melihat ekspresi yang di tunjukkan Richard. Raut wajahnya mengisryaratkan kewaspadaan.
"Aku tidak perduli mau dia banyak yang suka atau tidak. Itu bukan urusanku. Saat ini Aku hanya butuh alamat rumah dan nomor handphone pribadinya."
Richard sebenarnya bisa saja meminta alamat rumah Nathania pada Randy, supirnya. Hanya saja supirnya itu tidak memiliki nomor ponsel pribadi wanita itu. Alih-alih dua kali kerja, lebih baik ia bertanya langsung pada Keyra yang jelas-jelas sahabat Nathania.
Keyra memicingkan matanya, seakan meragukan apa yang di ucapkan atasannya hingga membuat Richard lagi-lagi terlihat salah tingkah. Ingin rasanya Keyra tertawa puas di hadapan atasannya. Tapi demi profesionalisme, wanita itu hanya mengangguk.
"Baik, saya akan tuliskan alamat jelas dan nomor handphone Nathania."
Setelah menuliskan apa yang di mintanya di secarik kertas, Keyra pamit meninggalkan ruangan.
Demi Tuhan, Richard!
Apa aku sudah gila bertanya secara terang-terangan alamat dan nomor handphone seorang wanita?