Sebuah suara datang membangunkanku. Suara itu lembut dan pelan. Memanggil dan memikat. Ia bergema dalam kepalaku. Suara itu familier. Aku pernah mendengarnya di suatu tempat. Namun tidak peduli berapa kali pun mencoba, aku tetap tidak bisa mengingat siapa pemilik suara lembut nan syahdu itu.
Tidak.
Mendadak saja ketakutan mencekik leherku dari dalam. Suara lantang dari diri dalam kepalaku bergema. Suara diriku sendiri.
Tidak, tidak tidak.
Aku mencoba menggali ke dalam kepala, ke dalam sisa-sisa ingatan. Aku menariknya dalam benang-benang imajiner, berusaha mengumpulkannya ke dalam satu kesatuan utuh yang bisa aku kenali. Namun semua kini hanya berupa fraksi. Serpihan tanpa arti yang tidak bisa aku ingat kembali.
“Jangan lupa.”
Suara itu, suara diriku sendiir, bergema. Entah di dalam kepalaku. Entah dari mulut. Aku tidak lagi bisa membedakan. Aku terlalu lelah. Seluruh tubuhku sakit untuk bergerak. Terlalu berat.
“Ingatlah. Cobalah ingat!”
Kepingan-kepingan kenangan itu menyatu semakin erat, memberiku berbagai kilasan memori yang tidak bisa dikenali kendati terasa pernah terjadi: leburan api, ledakan cahaya merah, cahaya yang sangat terang, bunyi dentuman besar, asap yang mengempas daratan, dan jeritan seseorang memanggil namaku.
“Damien.”
Aku tersentak, kaget oleh sensasi yang tidak aku kenali. Jantungku melompat, begitu kencang hingga menghantam d**a dan membuatku kesakitan. Napasku tiba-tiba terlonjak karena kaget. Sesuatu dalam diriku terpanggil oleh nama itu. Hanya sesaat, sebelum kembali kosong. Kembali tanpa arti.
Sesuatu menetes jatuh. Terdengar dekat sekali. Tes, tes, bunyi cairan itu mendesis. Aku membuka mata, menatap setetes cairan yang berpendar jatuh ke lantai batu hitam kelam di bawah kakiku. Kegelapan ada di sekelilingku, tapi tetesan cairan itu terlihat jelas. Ia jatuh dengan lambat, melayang selama beberapa saat yang terasa bagai beberapa tahun. Terang dan berpendar di depan mataku dalam warna yang aku kenali.
Merah.
Cairan itu berwarna merah.
Aroma manis menusuk hidungku. Aku terpikat ke arahnya. Terpanggil. Tubuhku condong, mencoba meraih panggilan itu. Aku menjulurkan kepala, tapi rupanya itu belum cukup. Tubuhku seolah tidak menurut. Ia tidak ikut bergerak.
Kesal dengan kondisi, aku pun bergerak lagi. Lebih jauh. Leher dan lidahku menjulur ke arah cairan yang terus menetes itu. Terdengar suara-suara bergemericing di belakang. Gemerincing yang menarikku kembali, tanpa membiarkanku pergi.
Tidak kuindahkan suara gemericing yang semakin lama semakin nyaring itu. Aku menarik tubuh semakin dekat ke arah cairan yang menetes itu. Sedikit lagi. Aroma harumnya semakin kuat. Semakin dekat.
Kemudian aku menjerit keras-keras.
Tubuhku terbakar. Panasnya membakar tangan, kaki, dan leherku. Membakar kulit sampai ke tulang-tulangku tanpa ampun. Tubuhku kejang-kejang di udara, nyaris terangkat saking kuatnya semua entakan panas itu. Mataku membuka selebar-lebarnya, dipaksa menyaksikan bilur-bilur merah aneh menjalar di kulitku seperti lidah-lidah beracun. Bilur-bilur itu menyala jingga dan kuning, bentuknya seperti ular yang melilit tubuhku. Bilur-bilur itu membara dan semakin terang warnanya, semakin kesakitan pula aku.
“Damien!”
Sekumpulan warna tiba-tiba menari- dalam pandanganku. Warna dalam berbagai corak, beragam warna, terpisah dalam berbagai garis dan warna, lalu berpusar menjadi satu dalam sebuah memori. Wajah-wajah yang tidak bisa aku kenali tapi menghantam-hantam benakku, menyerpih bagai gemeletuk api dalam sekam yang membakar segalanya: senyuman bahagia, tangisan derita, dan raungan kemarahan.
“Jangan lupa.” Suaraku kembali bergema dalam kepala. Lebih keras.
Benar, ingatan tidak boleh aku lupakan. Tidak boleh sedikit pun.
Rasa sakit itu mereda, meninggalkan tubuhku dalam keadaan letih tak berdaya. Berbeda dari saat aku datang, tapi tubuhku yang sudah terlanjur mengenali rasa ini, tidak merasakan perbedaan yang begitu berarti. Tanganku terkulai lemah, kakiku tergeletak di lantai, kepalaku menjuntai lemah, sementara tubuhku melayang dengan cara ganjil yang tidak nyaman di udara.
Lemah. Aku lemah tidak berdaya.
Pelan sekali, aku melirik bilur merah yang menjalar di seluruh tubuhku. Nyalanya telah redup, tapi bahkan dalam kegelapan seperti ini, bilur itu masih bersinar. Berpendar, seperti bara api.
Aku mencoba mendongak tinggi ke atas, tapi energi yang telah terkuras hanya membuatku bisa menaikkan kepala sedikit ke atas.
Rantai-rantai yang membelenggu kedua tanganku rupanya tersambung ke langit-langit. Atap yang rendah dan gelap terasa mengurungku. Sebelah tanganku terasa amat berat. Aku melirik, melihat cakar di tangan kananku melepuh dan menghitam. Kondisinya jauh lebih parah dibandingkan bilur-bilur lain di sekujur tubuhku.
Aku menunduk, belenggu dan rantai yang sama mengekang kedua kakiku rapat tersambung ke dinding. Cakar di kaki kiriku bahkan secara khusus dirantai dekat dengan kaki kananku, mengikatnya agar aku tidak bisa berjalan tanpa menyandung kaki sendiri.
Aku menoleh ke samping, melihat dinding batu bata yang rapat mengeliingi tubuhku. Seperti tungku yang digunakan dalam pembakaran keramik. Sekarang aku mengerti perasaan gerabah yang harus ditempa dalam tungku naga. Rasanya pasti seperti dpenjara.
Tapi, kenapa aku … dipenjara?
Aku mencoba mengingatnya, seperti yang aku lakukan sebelum ini, tapi tidak peduli sekeras apa aku bertanya, tidak pernah ada jawaban yang keluar. Sekali lagi kepalaku kosong. Perasaan lemah tak berdaya yang sebelumnya datang, kini terasa sepuluh kali lebih parah. Aku menggertakkan gigi dan memejamkan mata kuat-kuat.
Ingatlah. Aku memohon kepada diri sendiri. Aku mohon ingatlah!
Sayangnya, tidak ada yang muncul. Tidak ada yang aku ingat selain nama sendiri. Oh, tiba-tiba saja aku membenci diri sendiri. Aku membenci semua kelemahan ini!
“Mengingat sesuatu, Damien?”
Sebuah suara tiba-tiba bergema di dekatku. Sekujur tubuhku bergidik karenanya. Jantungku berdentam tak tenang. Tubuhku berubah kaku. Kepalaku mendadak tertunduk tanpa sanggup terangkat kembali sekalipun mataku terbuka lebar. Kemudian aroma amis yang kuat menusuk hidungku. Aroma amis yang membuatku mengernyit dan menahan napas.
Leherku direnggut secara tiba-tiba dan dipaksa mendongak. Belenggu di leherku kembali membara. Sekali lagi aku memekik kesakitan.
“Ah, maaf, aku kira kau sudah mati. Kau tidak menjawab panggilanku tadi. Tidak biasa sekali.”
Seorang pria duduk di hadapanku. Cengkaman di leherku membuat kami bersitatap secara paksa. Sulur-sulur biru muncul di tengah-tengah kami. Menari-nari seperti serangkaian ilusi cahaya. Sulur-sulur biru itu menyala di dalam gelap, berasal dari pria paling aneh yang pernah aku temui.
Kulitnya pucat, nyaris kebiruan. Bibirnya hitam, sementara rambutnya putih, lebih putih dari apa pun yang pernah aku lihat. Kumis putih tipis menghias bibirnya yang tersenyum. Di tubuhnya, melekat pakaian serba hitam. Celana, kemeja, dan bahkan jas yang ia kenakan pun berwarna hitam. Jas itu panjang dan ujung-ujungnya seolah tercabik oleh tangan-tangan iblis, hingga ujung-ujung kemeja itu berubah, menjadi cambuk dan cakar yang sanggup meraih, mencakar, serta mencekik leherku seperti ini.
Pria itu selalu datang tiba-tiba. Selalu menyerangku tanpa peringatan. Cakar hitamnya kali ini mencekik leherku begitu erat. Aku bisa merasakan cakar-cakarnya masuk ke dalam kulitku perlahan-lahan. Leherku terasa terbakar. Bersamaan dengan semua luka di tubuhku. Sama seperti semua luka lain yang pernah ditimbulkannya, cakar ini membakar kulitku.
Sementara aku menahan sakit, pria itu duduk tenang di tengah ruangan. Dengan udara sebagai alas duduknya dan cambuk-cambuk hitam ini sebagai tangan dan kakinya.
Pria itu tiba-tiba menyeringai lebar.
“Hm, sepertinya kau belum mengingat apa pun. Sayang sekali,” Ia menggeleng, tampak berduka, tapi aku tidak melihat kesedihan setitik pun di matanya.
Sulur-sulur merah perlahan muncul dari dalam tubuhku. Pucat dan lemah, tidak seperti sulur-sulur cahaya biru yang keluar dari tubuhnya. Sulur cahaya milikku tertelan sulur cahaya miliknya dengan mudah.
Aku merasakan tangan-tangan tidak terlihat di belakang kepalaku. Mencakari memori dan kepingan ingatan yang telah aku susun susah payah. Menguraikannya kembali. Merenggut warnanya dariku, menjadikannya kelabu. Wajah dan perasaan yang tadi timbul dalam diriku, tergerus. Hilang.
Aku ingat sekarang.
Sulur-sulur cahaya biru ini akan membuatku lupa. Itu tugas mereka. Perlahan-lahan mereka akan mencuri apa pun dariku: memori, kehidupan, dan nyawa. Satu demi satu, sedikit demi sedikit, hingga tidak ada yang tersisa. Hingga aku hanya tidak lebih dari tulang dan daging tanpa nyawa dan ingatan.
“Jangan….” Kali ini aku mendengar suaraku sendiri berkata. Parau dan lemah. Sekarat dan tidak berdaya. Tapi menolak untuk menyerah begitu saja.
“Jangan apa, hm?” Pria itu bertanya. Cekikannya pada leherku semakin kuat. Mencegahku bicara lebih jauh. Lebih keras. “Kamu sedang memohon? Aku tidak mendengarmu.”
“Jangan … lupa….!” Aku berusaha berkata di tengah sempitnya napas. Tanganku mengepal erat. Keduanya. Sensasi terbakar itu kembali. Bilur-bilur di tubuhku menyala. Tapi kali ini aku sanggup mengabaikannya. “Jangan lupa!”
Suara tawa memecah perhatianku. Menoleh, aku menyaksikan pria itu tertawa terpingkal-pingkal. Asap hitam pekat yang menyelubunginya turut bergetar, seperti terbatuk.
“Ini benar-benar menghibur,” Pria itu menghapus air di sudut matanya. Aku bergidik saat menyadari seluruh kuku tangannya hitam pekat, kontras dengan kulitnya yang pucat pasi. “Melihatmu mencoba mengingat segalanya lagi, sedari awal … aku tidak pernah bosan melihat tahanan seperti ini!”
Kemudian tiba-tiba saja pria itu sudah ada di depan mataku.
Satu lagi ledakan energi meledak ketika tubuhku dicengkam kuat-kuat. Pikiranku berkejaran tak tentu arah sementara ketakutan mencengkam benak dan tubuhku kuat-kuat.
Pria itu tidak bergerak. Aku melihatnya sesaat tadi di seberang ruangan, tetapi kini ia ada di depan mataku. Ia melesat bahkan tanpa suara, tanpa embusan angin menyertainya. Seakan ia tidak berwujud dan berupa.
Pria itu menyeringai. Menjulang di atas tubuhkuyang berlutut tidak berdaya di bawah belas kasihannya.
“Hei, Tahanan….” Suara pria itu berubah. Bergema dalam bunyi ganda yang memikat. “Kita akan mulai sesi tanya jawab kita hari ini.”
Asap hitam yang menyelimuti tubuh pria itu bergerak naik dan berubah. Asap yang warnanya lebih hitam dari batu di lantai itu menebal dan meninggi, memperbanyak jumlahnya sendiri. Kemudian asap itu mewujud menjadi seperti sekumpulan taring panjang makhluk buas yang siap menelannya bulat-bulat.
Ruangan tiba-tiba berubah panas membara. Belenggu-belenggu besi di tubuhku juga ikut membara, meski aku tidak bergerak.
“Para Pengawas sudah sangat bosan padamu,” Salah satu cambuk hitam dari pria itu menyambar tubuhku. Mengikat tubuhku. “Dan harus aku akui, selain reaksimu tadi, kamu lumayan membosankan.”
Separuh tubuhku ditarik dengan sangat cepat menghadap pria itu sementara tubuh bawahku tertahan kuat-kuat oleh rantai di dinding. Pergelangan kakiku terbakar, sementara cambuk-cambuk hitam itu membelit semakin kencang, menghancurkanku dari luar. Kerasnya tenaga mereka mengiris sebagian kulitku.
Aku menjerit, tetapi tiba-tiba salah satu cambuk itu mengikat dan membekap mulutku erat-erat, menghancurkan rahangku.
Wajah pria itu menjulang di atas wajahku yang mendongak tegak ke arah langit-langit. Dengan seringai membelah wajah, pria itu menaruh telunjuk di bibirnya yang berubah semerah darah. Taring-taringnya mencuat panjang melewati bibir hitamnya yang menyeringai.
“Tidak boleh berisik, Tahanan,” Pria itu berujar. “Kanu akan mengganggu tidur tahanan yang lain.”
Cambuk hitamnya lantas berdiri tegak di depan mataku. Ujungnya yang seperti taring hewan buas lantas terpecah menjadi tiga cambuk yang lebih kecil. Ketiganya terlihat tajam. Aku meronta semakin keras saat tiga cambuk itu mendekat ke wajahku.
“Sudah aku bilang pada mereka untuk menggunakan metode ini dari awal. Karena kamu tidak akan diampuni. Dosamu terlalu besar. Percuma juga menjaga ingatan dan indentitasmu kan?” Pria itu menghela napas dengan sikap santai. “Tapi pada akhirnya mereka sadar aku benar. Dan mereka mengizinkan aku mencoba ini kepadamu.”
Senyum yang berseri-seri di wajahnya membuat amarah yang baru menyala di dalam diriku: kemurkaan.
Tanganku yang terbelenggu mengepal kuat-kuat. Rasa sakit kembali naik semakin parah, tapi kali ini aku tidak begitu saja ketakutan dan menjerit seperti sebelumnya. Aku menelan semua itu dengan kemurkaan yang menggelegak tertuju kepada pria itu, mengutuk sikap tenangnya.
Anehnya, pria itu justru tersenyum semakin riang. Aku memelototinya dengan segenap emosi yang paling gelap yang aku miliki, tapi ia sama sekali tidak tergerak. Senyumnya masih merekah setia di wajahnya, tanpa sedikit pun penyesalan. Tanpa keraguan.
“Jangan mendendam, ya. Pengawas memintaku melakukan metode ini. Mereka ingin segera mendapat jawaban sebelum kamu dihukum mati.”
Tanpa peringatan, tiga cambuk itu menghunjam ke dalam dua mata dan telingaku sekaligus, secara bersamaan.
Rasa sakitnya tidak bisa aku gambarkan. Kesakitannya melebihi apa pun yang aku pernah rasakan sejak terbangun, jauh lebih parah dari saat belenggu-belenggu di atas sana membakar tubuhku.
Cambuk dan taring hitam itu mematahkan segala yang masih utuh dalam tubuh ini, dari luar dan dalam.
“Oh, tidak perlu mendramatisir. Kamu tidak akan mati hanya karena ini. Lagipula kamu akan lupa semua ini besok pagi….” Anehnya, kini suara pria itu bergema di dalam kepalaku, jauh lebih jelas dari sebelumnya. Yah, jika kamu masih punya hari esok…”
Rasa sakit lain mencengkam dadaku yang terperangkap. Jeritan yang terperangkap di sana memberontak tak terkendali. Rasa sakitnya meledakkan tubuhku dari dalam.
“Sekarang, perlihatkan kepadaku apa yang kamu lakukan hari itu. Semua yang kamu lihat dan dengar.” Suara pria itu berubah menjadi bisikan. “Hari ketika kamu menghancurkan Jayakarta sampai rata dengan tanah.”
***