Part 5 - Perjanjian

1826 Kata
Fadli merasa tegang dengan apa yang sedang dilihatnya itu. Riyanti semakin mendekatkan benda tajam itu ke arah nadinya. Fadli melangkahkan kakinya ke depan dengan pelan. Sembari terus memanjatkan doa dalam hatinya. Ketakutan seolah menyayat dan berderai dalam ilusinya. Fadli tak mau suatu hal terjadi dengan sang istri. Sedangkan Riyanti, kedua matanya memerah. Air matanya mengalir membasahi pipinya. “Jangan kamu lakukan itu!” “Diam, jangan maju.” Riyanti wajahnya terlihat sangat garang. Namun tak dapat dipungkiri bila dirinya dalam emosi yang meradang. Sedangkan Fadli disleimuti kebingungan. Dia sama sekali tak ingin jika benda tajam itu akan melukai istrinya. ”Aku mohon, buang benda itu. Aku berjanji akan menuruti semua keinginanmu.” “Percuma aku hidup, tapi harus menjadi bualan para tetangga, aku gak mau, mas. Aku ingin hidup cukup dan tak punya hutang di mana-mana.” ”Iya, aku akan berusaha untuk itu, tolong buang benda itu, Yanti. Aku berjanji apa pun yang kamu minta aku akan berusaha untuk mengabulkannya. Tolong... buang ya benda itu, tolong... ” Riyanti semakin histeris. Dia semakin mendekatkan benda tajam itu dengan nadinya. Fadli tak bisa hanya diam dengan memandang Yanti tanpa lepas. Yanti merasa penuh beban dengan celoteh tetangganya. Fadli yang perlahan bisa sedikit menenangkan istrinya. Dia kemudian memeluk Riyanti dengan penuh kasih. Dia ingin memberikan perlindungan kepada istrinya. Namun, Riyanti yang memang sudah melepaskan benda tajam itu, dia tak serta merta merasa apa yang kini menjadi bebannya hilang begitu saja. Dia diam, tapi hatinya seolah memberontak penuh kemarahan. Yanti menarik napas panjang. Seolah dia ingin mengeluarkan segala duri yang bersemayam dalam benaknya. *** “Fa, ikut gak?” “Gak.” “Lagian ngapain sih di rumah, ayo kita cari kesibukan, siapa tahu bisa dapat uang.” Wafa berpikir dengan ajakan Wafi. Dia memang sedang membutuhkan uang. Setidaknya Wafi ingin meringankan beban sang bapak. Tapi, Wafa tak nyaman dengan teman-teman Wafi. Mereka yang beberapa bulan ini menginjak bangku SMA, sayangnya Wafi dan Wafa ak satu kelas. “Jangan banyak mikir, ayo cepat!” “Gak, aku di rumah saja.” “Nyesel kamu kalau gak ikut.” Wafa yang merasa bimbang dengan hatinya sendiri. Sedangkan Wafi segera beranjak meninggalkan kamar Wafa. Dia melihat suasana rumah sangat sepi. Wafi pun seolah memanfaatkan kondisi yang sepi itu untuk segera  keluar dari rumahnya. Dia tak pamit, karena ada ketakutan untuk tidak diberikan ijin. Sedangkan Wafa yang berada di dalam kamarnya pun merasakan hal yang tak seperti biasanya. Wafa keluar kamar dan pergi ke halaman belakang. Wafa melihat ayam-ayam ternak sang bapak. Wafi mendengar suara sedikit berisik dari arah kamar kedua orang tuanya. Dia kemudian mendekat ke arah pintu. Entah mengapa, Wafi ingin mendengar apa yang orang tuanya perdebatkan. “Mas, kita hidup pas-pasan, jadi lebih baik aku gugurkan saja kandungan ini.” “Yanti, setiap anak itu pasti membawa rejeki. Kamu yang khawatir.” “Rejeki dari mana, jika kamu tetap saja mengandalkan gaji dari sekolahmu itu.” “Yan, sepuluh tahun kita menikah dan Tuhan baru berikan kita amanah ini, harusnya kita terima dengan bahagia.” “Mana mungkin bisa bahagia, Mas. Hutang belum lunas, uang sekolah anak-anak juga belum ada.” “Aku janji, aku akan berusaha untuk bisa melunasi semua hutang-hutang.” “Jangan egois kamu, Mas.” “Egois apa aku, Yan.” “Kita itu hidup pas-pasan, lebih baik anak ini tidak usah dilahirkan, dia akan menderita seperti kakak-kakaknya.” “Kumohon Yan, kamu ingat kan dulu saat aku harus menerima Wafa dan Wafi, aku sudah menganggap dia seperti anakku sendiri, tolonglah Yan, pertahankan calon anak kita. Aku berjanji apa pun yang engkau inginkan aku akan penuhi, asalkan engkau tidak menggugurkannya.” “Apa pun yang aku mau kamu pasti belikan?” “Iya, tapi kamu juga harus berjanji untuk tetap menjaga kandunganmu dengan baik.” “Akan aku pikirkan, jika kamu menepati apa yang kamu katakan itu, Mas.” “Kamu istirahat, aku akan beri makan ayam-ayam dulu.” Wafa yang mendengar langkah kaki sang bapak akan keluar kamar. Dia dengan cepat melangkah terlebih dahulu. Wafa menuju kamarnya dan mengunci pintu. Wafa terkejut dengan apa yang didengarnya tadi. Tentang sebuah status. Kata-kata seperti anakku sendiri yang terucap dari mulut sang bapak. Membuat Wafa terus saja bertanya-tanya. Dia sama sekali tak mengerti apa yang bapaknya katakan itu. Bahkan jika apa yang ada di kepalanya merupakan dugaan sementara yang sangat kuat, Wafa sempat merasa ingin marah. Dia tak mau berpikiran buruk tentang apa yang belum diketahuinya itu. Terdiam dalam bayangan semu. Altar menyatu dalam kisi-kisi yang tak bisa tertebak dengan mudah. Bias masa lalu yang tak diketahui sama sekali. Wafi merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Dia mencoba untuk menutup matanya. Wafi ingin menepis apa yang telah didengarnya itu. Dia tak ingin terbayang-bayang hal yang tabu itu. Dia menutup matanya erat. Seakan tak ingin membukanya dengan cepat. *** “Mana adikmu?” “Susah.” “Kamu masih berani, Fi. Secara ayahmu kan guru.” “Aku butuh uang Tan, bapakku tak bisa memberikan uang setiap hari padaku.” Tristan adalah anak konglomerat. Dia punya segalanya. Kekayaan yang berlimpah. Tristan menjadikan Wafi seperti budaknya. Apa pun yang dikatakan Tristan, Wafi selalu mengikutinya. Tak ada bantahan sama sekali. Wafi merasa nyaman berteman dengan Tristan. Teman yang baru berjalan kurang lebih dua bulan itu menjadi tempatnya pulang. Tristan anak broken home. Mama dan papanya sudah lama bercerai. Tristan tergolong anak yang bebas. Kedua orang tua Tristan sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Bahkan, Tristan yang sekarang tinggal serumah dengan mamanya sangat jarang bisa bertatap muka. Kadang hari libur pun Tristan tak mendapati mamanya di rumah. Sebulan pun belum tentu mereka bisa bersua. Kadang mama Tristanhanya menyapa anaknya via ponsel. Hal itu sudah biasa dijalani Tristan sejak dirinya berusia sepuluh tahu. Dia seakan tak merasakan perbedaan apa pun, saat dia kecil hingga sekarang sudah remaja itu. “Ambil rokok itu, Fi.” Wafi pun segera melakukan apa yang di instruksikan Tristan. Beberapa pak rokok yang berada di samping meja televisi, segera diraih Wafi. Tristan mengambil sebatang rokok dan segera menyatukan dengan korek api yang dibawanya. Tak lama, Wafi pun juga mengikuti apa yang dilakukan Tristan. Dia ikut serta merasakan sebatang rokok itu. Dihisap berkali-kali hingga tinggal putungnya. Tak puas di situ.Tristan mengambil sebotol minuman dari dalam kulkasnya. Tristan menuangkan minuman itu pada gelas yang ada di depannya. Kemudian tak lama Tristan pun meminumnya. Wafi menatap Tristan dengan tatapan penuh. “Kamu harus coba minuman ini.” “Apa itu?” “Coba saja.” Tristan sengaja menuangkan kembali minuman yang ada di botol itu ke gelas Wafi. Setelah itu dia meminta Wafi untuk segera meneguk segelas minuman yang sudah berada dalam genggamannya itu. Wafi mendekatkan gelas itu pada mulutnya. Dia seolah merasakan bau yang menyengat. Dia seketika menjauhkan gelas dari hidungnya. “Paksa saja untuk diminum. Asal kamu tahu minuman itu bisa membuat kita bahagia, Fi.” Wafi semakin penasaran dengan minuman yang kini masih dalam genggaman tangan kanannya itu. Dia yang juga mendapati Tristan dengan senyum penuh keyakinan. Wafi segera membuka mulutnya dengan cepat, dan melahap habis segelas minuman itu. Tristan dan Wafi saling menikmati. Mereka berdua pun saling berbincang satu sama lain. Beberapa cemilan terhidangkan di meja. Tristan mengambil lagi minuman di kulkas. Tak terasa tiga botol minuman telah habis masuk ke dalam perut mereka. Wafi dan Tristan sampai kehilangan kesadaran. Mereka berdua menghiasi sofa dengan terbaring lunglai. Mengigau tanpa arah yang jelas. Keduanya kemudian memejamkan matanya dengan posisi badan tak beraturan. *** Riyanti terlihat sedang mempersipkan makan malam. Sementara dia hanya bisa masak nasi goreng. Tak ada menu makanan lain. Fadli pun selalu menyantap apa pun makanan yang dihidangkan sang istri. Wafa yang duduk seorang diri tanpa saudaranya. Dia melahap makanan dengan cepat tanpa memandang disekelilingnya. Wafa masih terbayang kata-kata yang belum bisa ditafsirinya dengan mudah. Dia seperti ingin cepat pergi dari tempat yang kini seperti membelenggunya. “Fa, kakakmu di mana?” Suara Fadli mengalun syahdu. Dia belum menyendok sedikit pun nasi dari piringnya. Fadli mencari keberadaan anaknya yang tak terlihat pandang matanya. “Tadi sore keluar, Pak.” “Kemana?” “Katanya ke rumah teman.” Fadli menjeda pertanyaannya. Dia seperti merasakan suatu hal yang tak biasa dari diri Wafi. Entah mengapa, perasaannya seperti sedang dalam kondisi khawatir tanpa alasan. “Sudahlah, pak. Wafi itu anak laki-laki. Gak usah dikhawatirkan berlebih.” Suara Riyanti menggema dengan cepat. Seperti meteor jatuh yang tak memiliki jejak. Fadli tak ingin berdebat dengan istrinya. Meskipun sebenarnya dia tak setuju dengan apa yang Riyanti katakan itu. Fadli merasa tak bisa tenang. Wafi tak seperti biasanya. Kedua anaknya itu jarang sekali keluar rumah di malam hari. Bahkan Fadli sendiri tak pernah sekalipun meminta tolong anaknya untuk melakukan sesuatu di luar rumah, jika malam telah tiba. Meskipun itu hanya di warung depan rumah. Fadli akan melakukan apa pun asalkan tak membebani anaknya. Dia akan pergi sendiri pada tempat yang menjadi tujuannya. Dia tak mau merepotkan Wafa atau Wafi, meskipun mereka adalah anak laki-laki yang biasanya bebas untuk dimintai tolong apa pun. “Wafa ke kamar dulu, Pak, Bu.” Wafa meninggalkan setengah nasinya yang masih terhidang di piringnya. Dia tak menghabiskan makanan itu. Fadli pun hanya bisa diam menatap sang anak laki-lakinya. Tak ada komen apa pun yang keluar dari mulutnya. “Pak, berasanya tinggal satu kali masak saja, besok kita bisa masak nasi tapi lusa kalau bapak gak beli beras, kita gak bisa makan.” “Iya, Bu.” Riyanti yang sudah menghabiskan makanannya. Fadli melarang Riyanti untuk membereskan alat-alat makan yang kotor. Dia ingin Riyanti istirahat. Dia tak mau jika istrinya itu kelelahan. Apalagi Riyanti telah mengandung anaknya. Fadli segera membersihkan piring dan beberapa alat makan lain. Mencucinya hingga bersih dan menaruhnya kembali di tempatnya. Fadli yang baru saja menyelesaikan tugas itu. Dia kemudian melangkah ke ruang tamu. Fadli melihat jam dinding menunjukkan pukul sembilan malam. Fadli menunggu Wafi yang belum juga kelihatan batang hidungnya. Sembari menunggu, Fadli pun membuka buku. Dia belajar untuk materi besok yang akan diajarkan di sekolah. Tak terasa satu jam, Fadli telah berada di ruang tamu, menunggu kepulangan Wafi. Fadli berdiri dari tempat duduknya. Dia kemudian ke luar menuju teras rumahnya. Fadli menempati kursi kayu yang hampir lapuk. Tetap menunggu sang anak tanpa bosan. Fadli menguap berkali-kali. Dia merasakan kepalanya sedikit berat. Beban dan juga pikiran seolah bercampur menjadi satu. Uang untuk membeli beras belum ada. Uang sekolah pun juga belum terbayar. Fadli menghela napas panjang. Semua terasa sulit untuk dibayangkan. Lagi-lagi mulut Fadli menguap. Dia sudah merasakan kantuk maha dahsyat. Fadli masuk ke ruang tamu untuk melihat jam. Pukul satu malam, Fadli belum mendapati sang anak pulang ke rumah. Pikiran Fadli semakin tak karuan. Dia semakin tak tenang. Fadli bahkan tak tahu ke mana Wafi pergi. Fadli kembali lagi ke teras. Dia memfokuskan pandangannya. Terlihat seorang pemuda berjalan mendekat ke rumahnya. Fadli memaksa matanya untuk memandang dengan jeli. Dia yang sudah mengantuk, pandangannya terlihat samar. Wafi pulang ke rumah. Tatapan matanya seperti kosong dan dia seakan tak kuat membawa tubuhnya sendiri. Wafi berjalan sempoyongan dengan tawa kecil yang mengiringi. “Apa yang kamu lakukan, Wafi?”                                                            
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN