Part 24 - Tangisan dari Hati

1497 Kata
Menjalani proses pemeriksaan yang sangat mengejutkan. Fadli harus dibawa ke kantor Polisi tanpa disangka. mobil yang membawanya tepat terparkir di depan rumah. beberapa orang yang ada di sekitar rumahnya pun turut menyaksikan kejadian itu. Betapa bingungnya Yanti kala itu. Dia memohon dan berteriak keras pada petugas. Meminta agar suaminya tidak dibawa. Namun, hanya sebatas itu yang bisa dilakukannya. Petugas kepolisian yang hanya menjalankan tugas pun tak bisa mengabulkan rintihan seorang ibu hamil, walaupun dengan bersujud di atas lantai sekalipun. Yanti sangat terpukul dengan dibawanya sang suami. Dia tak tahu sebab apa yang menjadikan suaminya ditangkap. Dibalik pintu rumah yang terbuka, beberapa tetangga ikut menghampiri di rumah Yanti. “Bu Yanti, apa yang terjadi dengan Pak Fadli?” “Iya bu, kenapa dijemput polisi?” “Kesalahan apa yang telah diperbuatnya?” Pertanyaan bertubi-tubi itu mampir di telinga Yanti dengan cukup jelas. Wanita yang sedang mengandung itu hanya bisa mengeluh dengan apa yang terjadi dengan suaminya. Dia tak bisa menjawab satu persatu pertanyaan itu. Bahkan ibu-ibu tetangga masih saja berada di tempat yang sama untuk mendapatkan sebuah informasi tentang apa yang membuat pikiran mereka terasa sangat penasaran. “Bu Yanti yang sabar ya.” “Iya bu, nanti juga pak Fadli bebas.” “Meskipun harus dihukum dulu.” Suara-suara itu membuat telinga Yanti terasa sangat gatal. Dia tak bisa lagi mendengar celoteh tetangganya yang sangat menyebalkan itu. Yanti segera berdiri, dia menatapa wajah ibu-ibu itu dengan sangat garang. Kemudian Yanti segera membanting pintu dengan sengaja. Yanti menguncinya dari dalam. Agar tak ada lagi orang yang datang dan akan membicarakan tentang suaminya. Wafi yang hanya bisa diam tanpa melakukan apa pun. Saat sang bapak harus diringkus dengan sangat cepat. Wafi tak merasakan perasaan apa pun di benaknya. Dia tak sehisteris Yanti. Dia kembali lagi ke kamarnya. Merebahkan tubuhnya dan menikmati rasa kantuk yang kini menyelami setiap embus napasnya. *** Di sekolah, kondisi penangkapan Fadli pun menjadi berita terhangat di kalangan guru. Tak sedikit murid-murid pun ikut serta membicarakannya. Desas-desus itu semakin nyata saat kepala sekolah ikut turun tangan dalam menjelaskan hal tersebut. “Jangan terlalu panik, tugas Pak Fadli sementara akan dihendel pak Rois, dan Bu Dinar sekarang saya alihkan tugasnya selain menjadi pendidik juga merangkap sebagai bendahara sekolah.” Kata bapak kepala sekolah dalam rapat virtual yang diikuti oleh semua jajaran guru. Bapak kepala sekolah yang kini sedang tidak berada di tempat. Hanya bisa memberikan pesan dari jauh untuk tetap fokus dengan pekerjaan masing-masing. Dalam rapat virtual itu. Semua guru-guru pun mendengarkan dengan saksama. Meskipun di dalam hati mereka menyimpan sebuah pertanyaan besar. Tentang alasan yang masih belum bisa dimengerti, tentang penangkapan Fadli. Di kalangan teman sejawat. Fadli adalah sosok yang santun, baik hati, disiplin, ringan tangan dan selalu menjadi teladan bagi semuanya. Selain itu masih banyak sekali nilai positif yang diperlihatkan Fadli selama dalam dunia pendidikan. Sayangnya saat berita ini meluas di berbagai penjuru. Semua merasa tidak menyangka sama sekali. Seperti mendapat mimpi buruk sekejap. “Saya sama sekali tak tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan pak Fadli,” ungkap Dinar. “Sama bu Dinar, antara percaya dan tidak percaya dengan kabar ini,” jawab bu Laura. “Tapi inilah kenyataan, bangkai yang tersimpan serapat apa pun pasti akan ketahuan juga,”  ujar Rois. “Apa ada bukti pak, jika pak Fadli bersalah?” “Tentu saja.” Rois dengan sangat yakin mengatakan jikalau bukti pasti ada. Hal itu membuat bu Dinar seakan terus bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya Rois sembunyikan. Hanya saja, bu Dinar masih belum bisa menyimpulkan apa pun, karena pak Rois susah sekali dipancing dalam sebuah pembicaraan itu. Rois kembali terdiam dan kembali mengikuti rapat. Kini dia akan dipercaya untuk menjadi wakil kepala sekolah, menggantikan Fadli yang harus menyelesaikan urusan hukum yang kini menimpanya. Rois turut berbangga dengan jabatan yang baru diraihnya. Ingatannya tiba-tiba saja berputar. Dirinya mengingat bahwa pagi-pagi buta. Rois menghadap kepala sekolah, dia yang merasa iri dengan jabatan yang baru saja diterima oleh Fadli. Membuatnya tak bisa diam saja. Rois membawa sebuah bukti, tentang penggelapan uang yang diambil Fadli dari rekening sekolah. Rois membeberkan bahwa Fadli telah menggunakan uang sekolah tanpa sepengatahuannya. Bahkan nilai yang ditransfer dalam jumlah yang tidak sedikit itu, menjadikan sebuah kecurigaan yang mendalam. Bapak kepala sekolah, sudah berusaha untuk memanggil Fadli dengan mengirimkan pesan via ponsel. Hanya saja tak ada sedikit pun itikad baik dari Fadli untuk menjelaskan. Dikarenakan Bapak kepala sekolah kini harus mengikuti workshop di luar kota untuk satu minggu ke depan. Dia meminta Rois untuk mengatasi semua masalah. Rois pun sama sekali tak banyak pikir lagi. Dia segera pergi ke kantor polisi tanpa harus basa-basi. Menunjukkan beberapa bukti yang diminta oleh petugas kepolisian. Bukti transfer ke rekening Fadli menjadi satu-satunya yang dia miliki. Rois berkilah dengan sangat pandai. Dia bisa dengan midah memutar balikkan fakta yang kini sedang dilakoninya. Rois dengan semangat berkobar dalam diri. Dia ingin jika Fadli terjerumus di lembah hitam itu. Rois tak ingin punya saingan lagi. Dia menganggap jika Fadli adalah satu-satunya orang yang menghalangi semua keinginannya. Rois yang menginginkan sebuah jabatan yang tinggi itu, tiba-tiba saja sebuah kepercayaan tidak diberikan kepadanya, melainkan kepada Fadli. Begitu pun juga dengan perhatian seorang wanita. Dia yang menyimpan rasa sudah lama pada bu Dinar, namun hanya dibalas dengan senyum tanpa kata. Tidak seperti Fadli, yang bisa dengan mudah meraih simpati bu Dinar. Rois semakin tak bisa mengontrol hatinya sendiri. Kecemburuan dan rasa tamak membuatnya gelap mata. Dia menghalalkan segala cara agar keinginannya bisa terwujud. Termasuk menjebloskan Fadli ke dalam penjara. Kasus ini pun masih didalami. Bahkan Rois pun dijadikan saksi dalam penyelidikan. Polisi akan terus bekerja dengan sungguh terkait pelaporan yang kini menjadi alasan utama Fadli dalam bui. *** Yanti yang tanpa Fadli terasa mesin ATM tanpa uang. Dia tak bisa melakukan apa pun. Sepeser uang pun dia tak pegang. Hanya mi instan yang kini tersedia di lemari dapurnya. Tak ada pilihan lain, Yanti hanya bisa memasak mi itu untuk bisa memenuhi kosongnya sang perut. Rintihan tangis pun menghiasi Yanti. Dia seakan tak bisa menjalani semuanya sendiri. Yanti melangkah ke kamar Wafa. Dia melihat sang anak hanya terdiam dengan terus memandangi sebuah foto yang tergenggam di tangannya. Yanti tak ingin mengganggu buah hatinya itu. Dia membiarkan Wafa dalam kesendirian. Sedangkan dia kembali melangkah ke kamar Wafi. Dia mau meminta Wafi untuk mengantarkannya ke kantor polisi. Yanti ingin menemui suaminya. Hanya saja, di kamar Wafi dia tak menemukan siapa pun. bahkan yang membuatnya terkejut, lemari Wafi berantakan. Yanti memungut baju yang jatuh di lantai. Dia turut memperhatikan isi lemari yang jumlah bajunya seakan berkurang banyak. Pikiran Yanti mulai terbang ke mana-mana. Dia memanggil Wafi dengan sangat keras. Tiba-tiba saja matanya tertuju pada sebuah catatan kecil di meja belajar. Yanti mengambilnya dan segera membacanya. Aku pergi Kalian tak perlu mencariku Seketika bulir air mata jatuh menghiasi pipi Yanti. Lagi-lagi riuh hati kembali mengaduk perasaannya. Wafi telah pergi tanpa sepengetahuannya. Kini dia hanya bersama laki-laki yang mematungkan dirinya. Yanti tak kuasa menahan beban hidupnya. Teringat dengan kehidupan di masa lalu, sebelum dirinya menikah dengan Fadli. Betapa bahagianya hari-hari Yanti kala itu. Ayahnya seorang yang kaya raya. Dihormati oleh warga. Setiap apa yang diinginkan Yanti pastilah akan segera terwujud di depannya. Tak ada hidup susah kala itu. Dia bebas membeli apa pun yang dia suka. Tak pernah ada tangisan yang mengiringi. Kebahagiaan bak surga sudah pernah dirasakannya. Hidup serba ada, dipuji banyak orang karena kecantikan paripurna yang dimiliki. Sayangnya, semua kehidupn itu berbalik tiga ratus enam puluh derajat. Kehidupan Yanti setelah menikah dengan Fadli semakin terpuruk. Bahkan kini dia rela hanya bisa makan mi instan tanpa nasi. Dia harus menahan setiap keinginan yang ada di dadanya. Semua terasa seperti di neraka. Tamparan-tamparan kejadian membuatnya terasa ingin mengakhiri semuanya. Dua anak yang dimilikinya, dibesarkan dengan kasih sayang, kini seperti dalam kubangan dalam yang tak terlihat sama sekali. Hanya kesedihan yang diberikan. Tak ada senyum sejenak untuk bisa mengatakan bahwa hati dalam keadaan baikk-baik saja. Yanti benar-benar lelah dengan kehidupannya yang sekarang. *** Kantor polisi kini telah berada di depan Yanti. Dia ingin mengetahui bagaimana keadaan suaminya. Tak sabar menunggu. Dia benar-benar sudah ingin sekali mencurahkan seluruh beban yang kini dipikulnya. Yanti tak bisa menahan air matanya untuk tidak keluar, saat Fadli baru saja datang untuk menemuinya. Kedua mata mereka pun bertemu. Seolah tersimpan sebuah pesan mendalam bagi keduanya. Tak ada kata yang mengiringi di awal perjumpaan. Hanya tangisan Yanti yang terus menjadi perhatian bagi Fadli. Kedua tangan Fadli selalu siaga untuk mengusap kesedihan dari kedua mata yang indah baginya itu. “Jangan menangis terus, semua pasti akan baik-baik saja, Yan.” “Kapan kamu keluar dari sini? Aku sudah tidak sanggup hidup dalam keterpurukan.” “Sabar ya, aku yakin secepatnya aku pasti keluar dari sini.” “Tapi kapan, Mas?” “Sabar dulu ya, bagaimana keadaan anak-anak?” Yanti seketika membungkam mulutnya sendiri. dia seolah perlu untuk menyiapkan energi khusus guna menceritakan apa yang kini berada di rumah. Yanti yang tak sengaja, semakin terisak saat bayangan wajah Wafa dan Wafi muncul dalam pikirannya. “Kenapa? Apa yang terjadi dengan anak-anak kita?” tanya Fadli lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN