“Bu Lurah, silakan masuk,” kata pak Fadli.
Wanita yang datang itu adalah istri kepala desa. Pak Fadli pun terlihat gugup karena dirinya sebenarnya takut terlambat untuk mengajar. Tapi tak ada pilihan lain selain menyambut tamu yang sangat terpandang itu.
“Silakan duduk, Bu Lurah,” pinta pak Fadli.
“Terima kasih, Pak. Maaf mungkin kedatangan saya menganggu waktu Bapak yang akan berangkat mengajar.”
“Tidak apa-apa, Bu. Ngomong-ngomong ada sesuatu yang bisa saya bantu, Bu?”
Bu Lurah seperti memendam sata-katanya. Mengambil napas panjang sebelum berani berkata kepada pak Fadli. Tatapan matanya berotasi. Bu Lurah terlihat bingung, dari mana akan memulai pokok pembicaraan yang akan disampaikan itu.
“Saya buatkan minum dulu ya, Bu.”
“Tidak usah, Pak. Saya juga buru-buru.”
“Baiklah, Bu. Silakan sampaikan saja apa yang ada di benak Ibu.”
“Begini, Pak. Tolong sampaikan kepada Bu Riyanti, untuk segera mengembalikan uang kas PKK, karena sebentar lagi kami akan mengadakan acara besar dan membutuhkan dana itu.”
Pak Fadli kembali menelan ludah. Seakan tak percaya dengan apa yang didengarnya. Membalas dengan senyum tulus namun penuh dengan beban. Bu Lurah pun undur diri setelah menyampaikan hal tersebut pada pak Fadli.
***
Tak banyak waktu lagi untuk berada di rumah. Pak Fadli segera mengendarai sepeda motornya. Dengan kecepatan lebih daripada biasanya. pikirannya yang tak dapat fokus membuat pak Fadli terjatuh dari motornya. Kaki kirinya sepertinya keseleo. Pak Fadli dengan susah payah mencoba membangunkan tubuhnya. Ada seorang tetangga yang kebetulan lewat. Lalu membantunya.
Senyum pak Fadli tak pernah pudar. Di depan anak didiknya dipancarkan sebuah wajah yang riang dan jauh dari beban. Meski batinnya sedang penuh dengan masalah rumah tangganya. Mengajar anak-anak dengan hati menjadi obat tersendiri baginya.
Pak Fadli dalam keyakinan yang terus saja tergenggam erat pada kedua tangannya. Baginya tak ada masalah yang tak bisa diselesaikan. Saat jam pulang sekolah tiba. Pak Fadli tak bergegas pulang. dia pergi ke perpustakaan, hanya untuk mencari ketenangan. Berpikir dengan jernih atas apa yang kini menimpa rumah tangganya.
Hampir satu jam berdiam diri dengan tatapan kosong. Hingga penjaga sekolah yang siap mengunci perpustakaan itu akan mengunci ruangan. Pak Fadli terperangah. Dengan cepat keluar ruangan dan segera mengendarai motornya dan pulang.
***
“Tolong jangan sakiti Aku, Aku janji akan segera membayar hutangku.”
Suara Riyanti terus saja meraung. Dia ketakutan dengan datangnya dua orang laki-laki beradan besar. Tangisannya pun tumpah ruah. Seketika pak Fadli yang baru saja datang, melihat istrinya yang meronta dengan tangis yang menyelimu. Dengan cepat pak Fadli menjadi penengah di anatara mereka.
“Hentikan, saya akan bayar hutang istri saya.”
“Jangan banyak ngomong, mana uangnya!”
“Besok pukul lima sore silakan datang lagi kemari, saya akan bayar lunas.”
“Baiklah, jika kamu berbohong istrimu yang jadi taruhannya.”
Kedua laki-laki kekar itu pun segera pergi. Pak Fadli mendekap erat istrinya. Namun Riyanti merasa mual dengan bau badan suaminya. Dia menjauh, berusaha menghindar. Pak Fadli pun yang melihat istrinya bertingkah aneh merasa bertanya-tanya.
***
Riyanti memandang wajahnya di cermin. Terlihat pucat pasi. Tiba-tiba saja pandangan matanya tertancap di sebuah kalender di sampingnya. Ada hal yang mengganjal. Riyanti merasa dirinya telat datang bulan.
“Pak, aku telat menstruasi,” kata Riyanti.
“Apa sudah dites?” tanya Fadli.
Riyanti menggelengkan kepalanya. Fadli merasakan sebuah anugerah yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Dia segera pergi mengendarai sepeda motornya. Sedangkan Riyanti tergeletak lemah, merasa badannya sangat lelah.
***
“Wafi, kalau Bapak tahu kamu bisa dihukum,” ucap Wafa sembari memperlihatkan sebuah dompet dari sakunya.
“Kalau kamu diam Bapak tak akan pernah tahu, Fa.”
“Tapi aku takut.”
“Selagi kamu tutup mulut, rahasia ini aman. Hanya aku, Kamu dan Tristan yang tahu.”
Wafa dan Wafi akhir-akhir ini sering pulang terlambat. Mereka pasti akan datang ke rumah Tristan, teman satu kelasnya. Ada hal yang mereka kerjakan. Namun semua dilakukan dengan sembunyi-sembunyi.
Banyak rencana yang dibicarakan. Dengan berteman kopi pahit dana beberapa putung rokok. Wafa dan Wafi tak bisa mengendalikan diri. Kondisi ekonomi yang mencekik. Ditambah lagi sekarang ibunya sering uring-uringan. Wafa dan Wafi mencari pelarian. Sebuah ketenangan yang dirasa cukup untuk memberikan mereka berdua kekuatan.
***
Pulang dari apotek. Pak Fadli memanggil-manggil istrinya. Terlihat begitu jelas binar mata dan cerah wajahnya. Ada harapan yang terselubung di benak pak Fadli. Terus saja senyum mengembang di wajah pak Fadli. Sedangkan Riyanti yang berada di kamar cukup merasa berdebar jantungnya.
Beberapa kemungkinan yang menjerat dalam kalbunya ingin segera dihapus segera. Pak Fadli menyerahkan plastik putih yang di dalam berisi sesuatu yang akan membantu istrinya membaca keadaan.
Dengan cepat Riyanti pun menarik plastik putih kecil itu. Dirinya merobek bungkusnya. Perasaan getir melanda. Getar-getar rasa itu menyeruduk setiap aliran darah yang mengalir di setiap aliran darahnya.
Pak Fadli menunggu di depan pintu dengan perasaan cemas. Semenit kemudian istrinya telah membuka pintu. Rasa penasaran membuat pak Fadli seolah tak sabar dengan apa yang ada di benaknya. Namun raut wajah Riyanti terlihat begitu datar.
“Bagaimana hasilnya, Bu?”
Riyanti tak menjawab. Dia lalu pergi ke kamar dan menerjunkan tubuhnya bersama tangis yang terus mengiringi rasa sesak di dadanya. Pak Fadli mengejar istrinya. Jawaban atas pertanyaannya itu belum juga tersampaikan.hanyabulir air mata yang dihadirkan.
“Kenapa menangis, Bu?”
Riyanti mendongakkan kepalanya. Dia menatap tatapan mata suaminya dengan takdir yang membuatnya merasa dikecewakan.
“Bapak ini bisanya cuma tanya saja! Aku hamil dan Aku tak menginginkan anak ini!”
“Maksud Ibu apa? Anak itu amanah, kita harus bisa menjaga amanah itu!”
“Mau dikasih makan apa? hutangku ada di mana-mana, gajimu untuk kebutuhan kita satu bulan saja kurang. Aku tak mau menambah anak lagi!”
“Jangan bersedih. Setiap anak pasti membawa rejekinya sendiri. jangan khawatir, Bu.”
“Ini semua kesalahan Bapak, Aku tidak punya uang untuk suntik KB, demi Tuhan. Aku tak mau melahirkan anak ini.”
“Jangan bicara seperti itu, Bu. Tak baik!”
“Aku tak butuh ceramahmu, aku hanya butuh anak ini mati, ya mati!”
Saat berkata seperti itu Riyanti ke luar kamar dan dia pergi dari rumah. Pak Fadli pun segera menyusul istrinya yang sedang kalut itu. Riyanti berlari dengan cepat. Pak Fadli kehabisan tenaganya. Hingga saat pak Fadli hampir dapat menangkap tangan istrinya. Ternyata sang istri tersandung batu dan membuatnya terjatuh ke tanah.
Riyanti merintih kesakitan. Bias harapan yang tergantung tinggi seakan tercoret dari impian pak Fadli. Dia segera membopong istrinya untuk dibawa ke puskesmas atau klinik terdekat. Dia takut bila terjadi sesuatu pada calon bayinya.