Yanti menatap wajah wali kelas dengan penuh keseriusan. Harapannya kini bergantungpada satu cahaya yang kini benar-benar ingin didapatkan. Yanti memasang kedua telinganya dengan sangat jeli.
“Ada apa dengan Adisti, bu?”
“Adisti sudah pindah sekolah, karena kedua orang tuanya bercerai, akhirnya dia harus ikut ibunya tinggal di luar kota,”
Betapa hancur rasanya hati Yanti. Dia seolah terbekuk dengan apa yang didengarnya. Yanti merasa semua hanya kesia-siaan belaka. Satu-satunya jalan yang dimilikinya, kini dengan cepat tertutup lagi.
“Bu, saya tidak tahu lagi, apa yang harus saya lakukan dengan kondisi Wafa saat ini.”
“Maafkan saya bu, bolehkah saya melihat Wafa?”
“Tentu saja boleh.”
Yanti merasa terharu sekaligus tak bingung dengan langkah apa yang akan diambilnya. Kini dia hanya bisa pasrah dengan kondisi sang anak yang semakin mengalami kemunduran dalam berbagai aspek.
Wali kelas Wafa segera mengajak Yanti pulang. Yanti berharap jika dia bisa menemukan jalan lagi untuk sebuah asa yang masih ada. Sesampainya di rumah, Wafa yang masih terus mengurung diri di dalam kamar,
Wali kelas Wafa pun bersama Yanti segera memasuki kamar Wafa. Mereka memandang laki-laki yang kini menghiasi tempat tidur. Wafa terpejam matanya, sembari tubuhnya meringkuk. Membuat pemandangan kali itu begitu menyentuh kalbu.
“Fa, bangun nak. Ada gurumu datang.”
Suara Yanti lirih membisikkan tepat di telinga Wafa. Hanya saja anaknya itu tak merespon apa pun yang dikatakannya. Yanti pun mengira jika Wafa tak mendengar apa yang dikatakannya.
“Fa, bangun, nak. Bangun.”
Yanti mencoba menggoyahkan tubuh anaknya berkali-kali. Hanya saja usahanya itu masih tetap mendapat jawaban yang sama. Wafa tetap saja terdiam tanpa merespon apa pun.
Sekarang bergantian untuk sang wali kelas. Dia ingin mencoba membangunkan Wafa dengan usahanya sendiri. Nyatanya apa yang dilakukan itu tak mendapatkan respon dari Wafa.
Yanti semakin tak bisa tenang dengan apa yang kini dihadapinya. Tanpa sadar kedua matanya dengan hitungan detik telah basah. Pikirannya terasa pecah, riuh membubarkan setiap partikel yang membuatnya tak bisa bersikap tenang.
“Wafa, bangun. Ibu di sini nak, Fa. Ayo bangun.”
Suara Yanti membahanan. Begitu sangat keras ingin membuat Wafa cepat membuka matanya. digoyahkan tubuh Wafa yang masih dengan posisi meringkuk. Dia tetap tak mau bergerak.
“Bu Yanti, lebih baik kita bawa Wafa ke rumah sakit.”
Yanti hanya mengangguk setuju. Sayangnya dalam perjalanan menuju ke rumah sakit. Hati kecil Yanti seolah berbisik, bahwa sang anak sudah tak bisa bernapas dengan baik. Yanti merasa tertampar dengan kenyataan itu.
Hanya saja, Yanti terus berpikir positif agar apa yang dilihatnya itu tak seperti pikirannya. Dia terus saja berharap. Asanya tak pernah putus. Yanti akan terus meminta lewat tetesan air mata yang jatuh menggenangi pipinya.
“Ibu yang tenang, ya.”
Suara penuh keindahan itu didengar Yanti dari wali kelas Wafa. Dia tak tahu lagi bagaimana rasa yang kini campur aduk itu. Dia sembari memegangi perutnya yang semakin membesar. Yanti tak henti-hentinya mencemaskan kondisi Wafa.
Menunggu dalam pemeriksaan dokter. Yanti tak bisa hanya berdiam dengan kondisi yang sama sekali tak pernah diinginkannya. Tak lama, dokter yang memeriksa Wafa pun menemui Yanti dan juga wali kelas Wafa.
“Bagaimana kondisi Wafa, dokter,” tanya Yanti cemas.
Raut wajah dokter terlihat begitu sayu. Yanti seolah telah mengartikan arti dar pesan yang tersirat itu terlebih dulu. Yanti tak sanggup menahan rasa sesak di dadanya.
“Wafa sudah tutup usia, maafkan kami.”
Jeritan tangis Yanti tak bisa dibendung lagi. Berteriak dengan sangat keras memanggil nama Wafa berkali-kali. Tapi sayangnya, tubuh Wafa telah kaku dan tak bisa bergerak lagi, dia telah meninggal.
***
Fadli yang diberi keringanan untuk ikut serta mengantarkan sang anak di peristirahatan terakhirnya. Dia tak henti-hentinya menenangkan Yanti. Sang istri yang terus saja terisak dengan tangisan yang sama sekali tak berhenti.
Nisan yang sudah terpampang dengan nama Wafa itu membuat Yanti semakin histeris. Dia memeluknya dengan penuh cinta dan kasih sayang. Fadli menemani Yanti dengan terus mencoba untuk menenangkan.
“Ikhlaskan, Yan. Wafa sudah tenang di sana.”
Yanti sama sekali tak memperdulikan suara itu. Dia terus saja menangis tanpa henti. Semua terasa hancur baginya. Anaknya yang begitu dicintai, kini telah pergi untuk selamanya. Yanti merasa dunia sudah sangat jahat kepadanya.
“Ayo kita pulang, bu. Aku harus kembali lagi ke lapas.”
Suara Fadli seketika menghapuskan air mata Yanti. Dia menatap suaminya tanpa lepas. Lalu Yanti kembali lagi untuk meneteskan air matanya tanpa ragu.
“Kamu akan meninggalkanku juga, Mas,”
“Tidak, aku tidak akan ke mana-mana, Yan.”
“Kamu tahu, aku bakal sendirian di rumah.”
“Kamu doakan aku ya, semoga aku tak lama berada di bui.”
Yanti memeluk Fadli dengan cukup erat. Dia merasa hatinya kini kelu. Semua terasa hambar baginya. Yanti tak tahu harus meluapkan kesedihannya pada siapa lagi. Ketika polisi sudah menarik tangan Fadli. Mereka akan membawa suaminya kembali ke lapas.
Yanti dalam gejolak derita yang dalam. Dia seperti kehilangan napasnya lagi. Yanti terduduk kaku di samping gundukan tanah yang penuh dengan bunga setaman itu. Rasanya Yanti tak ingin segera pulang. Dia ingin berlama-lama di samping makam Wafa.
Yanti banyak sekali berbicara pada nisan yang sudah terpasang kokoh itu. Bulir air matanya tak henti hadir dalam kesendirian yang kini terusa menjelma dalam kepedihannya itu.
***
Rapat kepala sekolah dan beberapa jajaran pengurus sekolah itu sedang digelar dengan sangat serius. Berita tentang meninggalnya anak Fadli membuat rapat segera dipercepat. Mereka semua sedang membahas tentang nasib Fadli yang sekarang sedang berada di dalam penjara.
Kepala sekolah yang kini sudah kembali dari luar kota. Beliau memimpin rapat dengan penuh kewibawaan. Di sampingnya terlihat Rois yang juga memeperlihatkan senyuman penuh kesombongan. Dia yang kini menjabat sebagai wakil kepala sekolah, membuatnya sedikit besar kepala.
Setiap pembicaraan yang berkaitan untuk bisa meringankan beban Fadli, Rois mencoba untuk menghalangi hal itu dengan silat lidahnya. Rois tak ingin jika Fadli dengan mudahnya akan bebas dari tuntutan.
Bu Dinar yang kali itu juga diberi kesempatan untuk memberikan argumennya. Dia merasa iba dengan apa yang harus diterima oleh Fadli. Betapa pengabdiannya yang sudah puluhan tahun itu, kini seolah tak terjamah sedikit pun.
Hanya karena dia melakukan satu kesalahan, sehingga seribu kebaikan yang telah dilakukan pun seolah terabaikan dan bahkan terhapuskan. Bu Dinar merasa apa yang diterima oleh Fadli tak imbang dengan sejuta pengorbanan yang telah dilakukan.
Bu Dinar dengan tegas memberikan opsi atas apa yang kini dijalani Fadli di ruang sempit yang pasti membuat hidupnya merasa sangat tersiksa. Apalagi dengan meninggalnya sang anak yang pasti membuat kondisi mentalnya sedikit terkoyak.
Bu Dinar mencoba menggiring opininya, untuk melihat perjuangan Fadli ke belakang. Semangat juang yang diperlihatkan sangatlah patut untuk diteladani. Bu Dinar pun mencoba mengajak semua peserta rapat, untuk membuka mata selebar-lebarnya, agar bisa menyentuh titik hati nurani masing-masing.
“Orang yang melakukan suatu kejahatan, pastinya ada alasan tersendiri yang mendasarinya. Contoh kecil seperti ini, anda semua memiliki anak yang kala itu harus anda beri makan, karena anda tak punya apa pun untuk memenuhi kebutuhan sang anak, anda terpaksa mencuri. Sekarang mari kita lihat dengan dua kacamata.”
Semua peserta rapat begitu serius mendengarkan apa yang bu Dinar katakan dalam forum itu. semua memasang kedua telinga dengan sangat baik. Bu Dinar yang menjeda kata-katanya untuk mengambil napas, kemudian dia kembali mencoba meluruskan argumen yang sedang dibangunnya itu.
“Kemudian, jika kita tidak mencuri makan anak kita terlantar, dia akan masuk rumah sakit dan butuh biaya yang lebih besar lagi, dan kemungkinan terburuk dia akan mati. Sebagai orang tua, apa anda sekalian akan tetap berdiam tanpa melakukan apa pun untuk anak anda yang kelaparan.
“Pastinya kita akan berjuang mati-matian untuk anak kita agar bisa makan, meskipun kadang cara cepat yang tidak baik kita lakukan, mencuri misalanya. Nah, dari situ mari kita pahami, adakah dari bapak ibu sekalian mengetahui apa alasan pak Fadli melakukan penggelapan yang dikatakan oleh pak Rois?
“Harusnya kita telusuri dulu penyebabnya, tidak langsung menyerahkan kasus ini ke polisi. Selain nama baik teman kita taruhannya namun pernahkan kita berpikir jika sekolah kita pastinya akan menuai dampaknya.”
Bu Dinar mengambil napas lagi, sembari menatap peserta rapat tanpa keraguan. Entah mengapa dalam hati kecil bu Dinar berbisik jika pak Fadli tak melakukan perbuatan yang dikatakan oleh pak Rois.
Namun bu Dinar tak memiliki dasar atas itu. Dia hanya mencoba masuk lewat pikiran teman-teman sejawatnya, begitu pun dengan kepala sekolah. Bu Dinar hanya ingin yang terbaik untuk pak Fadli. Apalagi jika dia melihat istrinya yang kini sedang mengandung. Pastinya semua akan terasa begitu menyedihkan.
“Maaf bu Dinar, seharusnya kita sebagai panutan memberikan contoh yang baik terhadap setiap perilaku yang kita perlihatkan, di mana pun dan kepada siapa pun, menurut saya apa yang dilakukan pak Fadli sudah di luar batas, dan harusnya kita memberikan efek jera agar tak ada lagi guru-guru yang meniru tingkah lakunya, bukan itu saja. Pastinya semua perilaku buruk dari seorang guru akan membekas di ingatan murid dan memberikan efek negatif terhadap perilakunya.”
Pak Rois berusaha tetap berpendirian teguh dengan apa yang dikatakannya. Dia yang merasa tak menyukai keberadaan Fadli. Dia pun sangat berharap jika Fadli mendapatkan sebuah hukuman yang setimpal. Meskipun dia sendiri yang menyembunyikan kebenaran itu.
Suasana rapat semakin tegang. Semua yang sudah memberikan sumbangsih pemikiran atas apa yang kini menimpa teman satu profesi. Membuat kepala sekolah harus memutuskan tentang kelanjutan proses hukum Fadli.
Meskipun pemikiran itu tak hanya diambil dari peserta rapat. Namun, kepala sekolah seolah memiliki penilaian tersendiri terhadap pribadi Fadli. Dia yang selama sepuluh tahun lamanya menjabat sebagai kepala sekolah, tentunya dia mengerti bagaimana kondisi Fadli dalam kacamata penilaiannya.
Meski begitu, dia juga menyayangkan. Saat dirinya yang berada di luar kota. Tiba-tiba kasus ini sudah mencuat ke pihak yang berwajib. Padahal jika waktu boleh diulang, kepala sekolah pasti akan mengatasi permasalahan ini dengan caranya sendiri.
Semua pasang mata tertuju pada kepala sekolah. Semua seolah sudah sangat penasaran dengan apa yang akan disampaikan oleh orang nomor satu di tempat itu. Tak ada kegaduhan yang mengiringi, hanya sebatas kesunyian yang berharap untuk bisa mengetahui keputusan yang terbaik untuk bersama.
“Terima kasih untuk bapak ibu sekalian, sepertinya saya harus memutuskan secepatnya atas permasalahan ini, pak Fadli memang guru yang penuh dengan potensi, dia teladan yang baik sebelum ada kejadian ini. Hanya saja pendidikan yang baik harus kita berikan untuk anak didik kita, oleh karena itu sepertinya kami harus mengakhiri masa mengajar pak Fadli di sekolah ini.”
Kepala sekolah menjeda pembicaraannya. Semua menatap dengan haru biru. Apa yang dikatakan itu sudah jelas menjadi sebuah keputusan final. Itu artinya Fadli tak akan kembali mengajar di sekolah itu lagi.
“Lalu bagaimana dengan proses hukumnya, pak?” tanya bu Dinar.
Alih-alih pertanyaan yang membuat pak Rois mulai geram. Dia sebenarnya tak ingin mendengar pertanyaan itu ada di forum rapat. Hanya saja, bu Dinar sudah terlanjur menanyakan, dan kepala sekolah masih mengambil napas untuk segera menjawab apa yang ditanyakan bu Dinar.
Semua mata memandang tanpa lepas. Seolah ingin cepat mengetahui apa yang akan diputuskan oleh kepala sekolah. Fadli harus tetap menjalani proses hukum atau mungkin laporan itu akan dicabut. Semua menunggu dengan rasa penasaran.