Fadli mencoba mengetuk kamar Wafa dan juga Wafi. Meminta agar anak-anaknya itu bisa berbagi tempat tidur dengan Tama. Sayangnya, kedua pintu kamar sang anak terkunci rapat dari dalam. Sepertinya memang keduanya telah tidur.
Fadli pun menghentikan gerak tangannya untuk mengetuk pintu. Dia melangkah kembali menuju ruang tamu, Fadli menatap Tama dengan wajah yang sudah sangat lelah. Fadli kemudian mengambil karpet yang sudah usang.
“Tama, lebih baik kamu mandi dulu, ya. Terus tidur.”
Tak ada jawaban dari Tama. Dia hanya diam dan mengikuti langkah Fadli menuju ke kamar mandi. Sembari menunggu Tama mandi, Fadli membeberkan karpet di ruang tengah, dengan berhias satu bantal dan satu guling.
Setelah Tama keluar dari kamar mandi, Fadli segera mengajak Tama untuk beristirahat melepas penat. Tama pun mengikuti apa yang dikatakan Fadli. Dia segera mengatur dirinya untuk berbaring di atas karpet itu.
Sedangkan Fadli tak kunjung tidur. Dia membersihkan badannya terlebih dahulu. Waktu menunjukkan pukul sepuluh. Fadli kembali berkutat di dapur untuk membuat es lilin. Dia besok harus kembali menitipkan es lilin itu di ibu kantin dan juga di salah satu toko di seberang.
Fadli gigih berjuang demi mencukupi kebutuhan keluarganya. Dan tiba-tiba saja pikirannya teringat pada Wafi, dia bahkan melupakan permasalahan yang sedang melanda anaknya.sama sekali Fadli tak mengingat hal itu.
Kepanikan tentang kondisi Tma, membuatnya harus menomor duakan terlebih dahulu apa yang sedang hinggap dalam pikirannya. Fadli menarik napas panjang, sembari tangannya mulai membungkus bahan yang akan dijadikan es di dalam plastik yang sudah dipersiapkannya.
Tepat pukul dua belas, Fadli baru menyelesaikan tugasnya. Dia kemudian melewati kamarnya. Ingin sekali dirinya masuk ke dalam kamar, membersamai sang istri yang pastinya sedang menikmati pelukan sang malam.
Fadli sangat merindukan kerukunan di antara keduanya. Semenjak hamil, Yanti memang lebih sensitif, tak ada hari tanpa kemarahan. Dan malam ini, Fadli harus menerima getah dari amarah sang istri. Dia tak diperbolehkan untuk tidur di kamar.
Fadli pun berusaha untuk bisa menenangkan dirinya sendiri. Kesabaran akan terus dipupuknya. Demi bisa menjadikan keutuhan dalam berumah tangga. Dan juga kehamilan sang istri yang paling utama.
***
Pagi betul, sebelum matahari menampakkan sinarnya. Fadli telah bergegas memakai sandal jepitnya dan bergerak dengan cepat menuju ladangnya. Dia akan kembali mengurus tanaman yang sedang diperjuangkannya itu.
Fadli menyiram dan memupuk tanamannya. Sembari senyum, dia memperhatikan satu persatu setiap tanaman yang tumbuh hijau. Dia akan berusaha terus untuk bisa mendapatkan hasil yang memuaskan.
Jika matahari sudah menampakkan sinar kemuningnya. Fadli segera bergegas pulang. Dia harus bersiap dengan segala tanggung jawab yang ada di sekolah.
***
“Bapak kemarin ke sekolah.”
“Ngapain?”
“Aku tidak tahu, yang jelas dari ruang guru.”
Wafa yang sedang duduk untuk menyantap sarapan. Dia yang hanya duduk sambil menatap penuh ke arah saudaranya itu. Tak lama, sang ibu datang dan mengambil satu piring beserta sendok. Setelah itu, mengisi piringnya dengan nasi dan juga lauk serta sayur.
Yanti sama sekali tak mengatakan apa pun kepada dua putranya. Dia hanya sibuk dengan perutnya yang tak bisa menahan lapar. Apalagi kehamilannya yang selalu memaksanya untuk makan banyak. Tak peduli apa pun itu, yang terpenting baginya hanyalah rasa kenyang.
Tak lama berselang. Tama melangkah menuju ke meja makan. Dia sudah mandi dan lengkap dengan pakaian seragamnya. Wafa dan Wafi pun merasa sangat terkejut dengan kehadiran anak itu.
“Kamu siapa?” tanya Wafi.
Tama hanya diam dan menunduk. Dia sama sekali tak memandang wajah laki-laki yang diketahuinya adalah anak dari Fadli. Sedangkan Yanti yang masih mengunyah makanan, kedua matanya sudah menyalak galak pada Tama.
Cepat-cepat Yanti menelan makanannya, lalau mengambil segelas air dan meminumnya. Seketika dia memandang Tama yang masih berdiri dekat dengan kedua putranya.
“Untuk apa kamu ke sini, di sini tidak ada makan gratis untuk kamu, pergi!”
Bak tersayat sembilu. Hati Tama seakan tak terbentuk lagi. miris dengan ucapan yang begitu menyakitkan baginya. Kala itu juga, bayangan wajah sang ayah berkelibat pada pandang matanya. Tama sangat merindukan kehadiran sang ayah.
Tanpa pikir panjang, Tama pun berlari ke luar rumah. Tangis sedu kembali hadir, mengiringi langkahnya dalam menyusuri jalanan.
***
“Bu, bagi uang dong, masak setiap hari aku harus menelan ludah jika haus, sekali-kali gitu bisa beli jus buah yang enak.”
“Kalau mau minta uang itu sama bapakmu, ibu saja tidak pernah dikasih uang, enak saja minta ibu!”
Wafi merasa geram dengan jawaban yang keluar dari mulut ibunya. Dia pun segera melangkah pergi tanpa pamit. Dia kesal, tak ada uang saku, bahkan hanya omelan yang didapatnya. Sedangkan Wafa masih belum menghabiskan makannya.
Tak lama, Fadli datang dengan keringat yang membasahi dahinya. Dia tersenyum melihat anggota keluarganya sedang menyantap sarapan pagi. Dia yang selalu bangun pagi untuk menyiapkan sarapan, lalu pergi ke ladang.
“Wafi dan Tama gak ikut sarapan?”
Wafa menatap Yanti dengan diam. Dia tak berani menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Fadli. Sedangkan Yanti yang mulutnya masih penuh dengan makanan, seolah tak menggubris pertanyaan dari sang suami.
“Kenapa diam, bu, Wafa?”
“Wafi sudah berangkat, Pak.”
“Kalau Tama?”
Wafa yang belum menjawab pertanyaan itu. Dia seolah ingin menghindari pertengkaran kedua orang tuanya. Oleh sebab itu, Wafa memutuskan beranjak dari meja makan. Dia mengecup punggung tangan ibu dan bapaknya, dia akan menuju ke sekolahnya.
Di tempat itu tinggal Fadli dan juga Yanti. Keduanya kemudian saling menatap satu sama lain, dengan sebuah pertanyaan yang masih belum terjawabkan.
“Yan, apa Tama sudah berangkat ke sekolah?”
“Mana kutahu?”
“Yan, aku harap kamu bisa bersikap baik dengannya, separti aku juga bersikap baik dengan Wafa dan Wafi.”
“Maksudmu apa mas ngomong seperti itu, coba jelaskan!”
“Tama itu yatim piatu, bagaimana jika itu terjadi pada anak kita? Coba kamu pikir itu, Yan.”
“Kamu mendoakan aku mati?”
“Bukan begitu, Yan.”
“Hilang nafsu makanku jika mendengar nama anak yang menyusahkan itu.”
Yanti membanting sendok di atas piringnya. Kemudian dia masuk ke kamar dan mengunci pintu rapat-rapat. Fadli menggelengkan kepalanya melihat sikap yang Yanti perlihatkan. Kemudian pikirannya kembali tertuju pada Tama.
Fadli tak punya banyak waktu untuk berlama-lama di rumah. Dia segera membersihkan diri, bersiap-siap untuk bisa segera berangkat ke sekolah. Dua termos menghisia sepedanya. Selain itu, Fadli pun membungkuskan sedikit nasi dengan sisa setengah telur dadar. Dia yakin jika Tama belum sarapan.
Sdangkan tanpa diketahui siapa pun. Wafa ternyata masih berada di teras rumah. Dia belum berangkat ke sekolah. Sehingga Tama pun mendengarkan pertengkaran yang membuatnya semakin tak nyaman berada di rumah.
***
Sesampainya di sekolah, Fadli sama sekali tak melihat Tama. Di kelasnya pun tak didapati sosok anak yang sedang dalam kepiluan itu. Fadli menanyakan pada teman-teman sekelasnya, namun semuanya mengatakan jika tidak melihat Tama.
Hal itu membuat Fadli semakin panik. Dia kemudian segera memberitahu bu Dinar atas kejadian yang sedang terjadi. Dengan bantuan bu Dinar, akhirnya Fadli diberikan ijin dari kepala sekolah untuk mencari Tama.
Kedekatan Fadli dan bu Dinar, terekam dalam pandangan Rois. Hal itu semakin membuat hati Rois terbakar, dia yang diam-diam menaruh hati pada bu Dinar, harus menyaksikan pemandangan yang begitu menggetirkan.
Bu Dinar kembali dengan tugasnya, dia mengajar dengan penuh keceriaan. Sedangkan Fadli, dia keluar seorang diri dari sekolah. Hari ini seluruh jadwal mengajarnya digantikan oleh guru piket. Fadli terdiam sejenak, dia akan mulai mencari Tama di rumah ayah Tama.
Setelah sampai di depan rumah yang tampak sudah sedikit rapuh. Fadli pun segera masuk ke rumah itu. namun, dia sama sekali tak mendapati seorang pun. Tak ada Tama di rumah itu. Fadli kembali terdiam dalam pikirannya.
Kemudian, hati kecilnya seolah berbisik, jika Tama ada di tempat yang pasti bisa menentramkan hatinya. Seperti saat kemarin Fadli menemukan Tama di pinggir sungai dengan gemericik air yang terus mengalir.
Fadli pun melangkahkan kakinya dengan cepat. Kebetulan sungai itu letaknya tak jauh dari rumah Tama. Fadli pun segera mengambil langkah cepat. Dia tak mau lebih lama lagi, berdiri di depan pintu rumah Tama.
Sayangnya, usaha Fadli masih juga belum berhasil. Di sekitar sungai, dia sama sekali tak mendapati sosok anak didiknya itu. Fadli sudah memasang kedua matanya dari ujung ke ujung, semua tak luput dari pandangan Fadli.
Dengan terpaksa, dia harus segera meninggalkan sungai. Lalu kini Fadli dalam kegelisahan. Dia merasa bingung akan ke mana kakinya melangkah lagi. Fadli mengernyitkan dahinya, sungguh perasaan bersalah akan semakin menggunung jika dia tidak menemukan Tama.
Fadli seolah tak ingin menyerah. Dia kembali menambah semangatnya untuk kembali mencari Tama. Dia adalah orang yang diberikan amanah dari sang ayah Tama yang sudah meninggal untuk menjaganya.
Dengan semangat membara, Fadli kembali menyusuri jalanan. Dan akhirnya pandangan matanya tertancap pada seorang anak kecil yang sedang memeluk pusara di pemakaman. Fadli segera menemui Tama tanpa berpikir lama lagi.
“Tama, ternyata kamu di sini, kenapa tidka beri tahu bapak sebelumnya?”
“Tama tidak mau lagi tinggal bersama bapak, Tama mau pulang di rumah ayah.”
Isak tangis Tama menghiasi pembicaraan yang sedang berlangsung. Fadli duduk di dekat Tama. Dia menatap anak itu penuh kasih. Meskipun Tama sama sekali tak mau melihat kehadirannya. Dia hanya sibuk dengan tatapan pada nisan sang ayah.
“Kenapa? Apa keluarga bapak jahat padamu?”
“Pokoknya Tama mau pulang, Tama tidak mau ikut bapak.”
“Tama, dengarkan bapak. Tama sayang kan sama ayah?”
“Aku akan terus menyayangi ayah sampai kapan pun.”
“Tama ingat dengan kata-kata ayah kepada Tama sebelum tiada?”
Suasana nampak hening. Tama menyeka air matanya, sembari pikirannya berkelana untuk mencari jawaban atas apa yang ditanyakan kepadanya.
Tama pun kembali mengingat kata-kata itu, jika ayahnya menginginkan Tama tinggal bersama Fadli, dan bukan orang lain.
“Tama ingat?” tanya Fadli lagi.
“Ya.”
“Apa Tama mau membantah apa yang dikatakan ayah?”
“Tidak.”
“Tama anak laki-laki, Tama harus kuat, Tama harus buktikan pada semuanya, Tama akan jadi orang sukses suatu saat nanti, dan Tama harus buat ayah dan ibu Tama bangga di sana, melihat Tama yang pintar, rajin dan tidak mudah menangis.”
Tama semakin mempererat pelukannya pada nisan sang ayah. Dia merasa atergugah dengan apa yang dikatakan Fadli kepadanya. Seperti tercambuk dengan keras. Tama pun seolah berjanji dalam hatinya, di depan pusara sang ayah. Dia akan menjadi anak yang pintar dan tak akan pernah mengecewakan ayah dan ibunya.
“Pak, Tama ingin ke sekolah.”
Fadli tersenyum dengan apa yang didengarnya itu. Tama segera menyeka air matanya. Dia melempar senyum pada makam ayahnya. Dia tak ingin merintih lagi, dia harus belajar yang rajin agar ayah dan ibunya selalu bangga melihatnya.
***
“Wafa, kenapa jam sekolah ada di jalan?”
“Ini pak, tadi disuruh bu guru untuk mengambil buku di toko buku, Wafa gak sendiri kok, teman Wafa masih di toilet.”
“Kamu tidak bolos kan, nak?”
“Bapak bisa ikuti Wafa ke sekolah, dan nanti bapak bisa tanyakan ke guru Wafa, Pak.”
“Bapak percaya sama kamu, nak.”
“Dia siapa sih, pak? Akan tinggal selamanya di rumah kita atau hanya menginap?”
“Tama namanya, yatim piatu dan akan tinggal bersama kita.”
Tama kemudian melempar senyum pada Wafa. Meskipun Tama sudah sering melihat anak Fadli dari kejauhan. Tapi dia belum pernah menyebutkan namanya.
“Kalau begtiu, bapak duluan ya, Fa. Kamu hati-hati di jalan, apalagi kamu pakai motor.”
“Iya, pak. Ini juga motor bu guru.”
“Ya sudah, belajar yang rajin.”
Fadli kembali mengayuh sepedanya. Dan dibelakangnya masih ada Tama yang akan menuju ke sekolah bersamanya. Baru saja Fadli mengayuh beberapa meter. Tiba-tiba saja terdengar suara benturan yang sangat keras dari arah belakang.
Fadli pun menghentikan kayuhan sepedanya. Dia menatap seseorang telah mengalami kecelakaan. Fadli terdiam dengan pandangan yang terus menatap tanpa lepas.
“Pak, itu mas Wafa.”
Ucapan itu membuat Fadli membungkam mulutnya. Rasa panik menyelubungi setiap peredaran darahnya. Fadli segera turun dari sepeda. Membiarkan Tama seorang diri, Fadli segera berlari untuk melihat kondisi sang anak.