Her Savior 14 - Gara-Gara Iler

1723 Kata
“Laras?” Di atas meja kerja yang kursinya sedang diduduki polisi wanita itu terdapat papan bertuliskan. ‘Kanit PPA. AKP Sewindu Hafsa Larasati’ “Silakan duduk!” jawab Polwan tersebut mempersilakan keduanya duduk kembali di sofa ruangan pribadi miliknya itu. “Mas kenal sama Ibu Polisi ini?” bisik Andari lirih dan diangguki Angga dengan segera. “Siapa?” “Bagaimana ceritanya?” tanyanya alih-alih menjawab. Andari merungut tapi tak berani protes meski diabaikan. “Pacarmu ini–“ “Sek!” Angga mengangkat tangan menyela ucapan Polwan yang dipanggilnya dengan nama Laras itu. “Andari ini bukan pacarku.” “Iya. Saya bukan pacarnya, Bu,” timpal Andari. “Kalau bukan pacar berarti calon istri?” Angga mendesah pelan, sementara Andari langsung berseru kencang, menolak perkataan wanita itu dengan jawaban, “Nggak, Bu! Nggak mungkin.” “Kenapa nggak mungkin?” “Kenapa nggak mungkin?” “Eh?” Andari memekik. Angga dan Laras menyahut kompak sambil menatap ke arahnya. Membuat Andari jadi kikuk untuk beberapa jenak. Pria itu lantas berdeham. Sementara Laras yang melihat kekakuan di antara mereka menahan tawa hingga sekitar mulutnya berkedut-kedut kecil. Lanjut Laras, “Ada laporan tentang anak hilang masuk ke Polres satu minggu lalu.” Wanita itu juga meletakkan beberapa foto seorang balita yang sedang digedong sepasang laki-laki dan wanita di atas meja. Angga mengambilnya. Memperhatikan foto-foto itu satu persatu bersama Andari sambil mendengarkan penjelasan lanjut dari Laras. “Setelah ditelusuri, kami menduga anak tersebut dijual dan dijadikan alat untuk modus pengemis wanita yang menggunakan anak-anak guna menarik simpati orang yang ingin memberi.” “Iya. Ini anak yang aku gendong tadi, Mas. Tapi bukan ini orangtuanya.” Angga manggut-manggut paham. “Lalu kenapa Andari bisa ikut terlibat dan sampai dibawa ke sini?” “Satpol PP yang menelepon. Karena kasus anak hilang ini diduga kasus penculikan anak, mereka segera melimpahkannya pada kami begitu mendengar keterangan Andari.” Polwan bernama Laras itu lantas menatap Andari. Menyiratkan agar gadis itu yang menceritakan kejadian awalnya. “Habis dari toilet tadi aku tuh dititipin anak sama ibu-ibu. Katanya mau nyari anaknya yang satu lagi ngambek dan kabur ninggalin dia.” “Kamu percaya begitu saja?” “Ibunya keliatan panik banget. Katanya takut keburu nggak ke kejar dan dia nggak bisa lari kalau bawa anaknya yang bayi dan masih tidur pas dikasih aku. Takut kakaknya nanti malah diambil Satpol PP karena dikira anak pengemis katanya,” terang gadis itu. Angga memang sempat melihat rombongan satpol PP yang berpatroli di sekitar taman saat saat ia mencari Andari. “Terus?” “Habis itu ibunya nggak balik lagi. Eh malah aku ketemu satpol PP. ditanya-tanya terus dibawa,” pungkasnya seperti anak kecil yang sedang menjawab jujur pertanyaan kedua orangtuanya. Pria itu reflek tersenyum gemas, hampir saja kelepasan mengusak kepala gadis itu dan berakhir mengepalkan tangannya di udara. Sesaat terlihat kikuk dan malu sendiri. “Kamu kenapa nggak bawa hp tadi?” tanyanya alih-alih melanjutkan gerakannya. “Eh, hpku? Hpku di mana memangnya?” Rasa gemas Angga makin memuncak. Tapi pria itu hanya bisa membuang udara dari mulutnya sambil menggaruk keningnya yang tidak gatal. “Jadi, kalau saya boleh tahu, kalian ini sedang dalam rangka apa ke Solo?” “Ka–“ “Kami ada urusan.” Laras mengangguk paham. Sahabat kental sejak kecil itu tahu betul sifat Angga yang memang lurus seperti jalan tol. Bicaranya yang sedikit dan pelit juga bukan hal yang aneh lagi bagi Laras mengingat mereka juga bertetangga dan masih memiliki hubungan kerabat. “Kalau begitu apa Andari sudah bisa pulang?” Laras mengangguk. “Tapi kalau nanti kami memerlukan keterangan dan kesaksiannya lagi, saudari Andari harus mau datang ke sini.” “Tapi dia tinggal di Bandung?” “Kenapa nggak tinggal di sini?” Pertanyaan itu Laras tujukan pada Angga secara sarkas. Namun kepolosan Andari membuat pertanyaan tidak jelas itu berubah menjadi obrolan absurd. “Kenapa saya harus tinggal di sini?” “Lho, saya pikir urusan kalian ke sini karena mau urus-urus pernikahan?” “Nggak!” “Belum.” Laras akhirnya bisa tertawa. Ia jelas tahu kalau Andari ber-KTP dan berdomisili di Bandung. Sesuai dengan keterangan yang dibuat anak buahnya. Wanita yang berprofesi sebagai Polwan itu memang sengaja menggoda keduanya yang terlihat seperti sepasang kekasih. “Jadi yang benar yang mana ini?” “Nggak. Kami nggak ada hubungan apa-apa kok, Bu.” “Ya kalau nggak ada hubungan diadakan saja. Kenapa nggak pacaran? Kalian cocok kok!” “Ayo kita pergi!” Angga meraih jemari Andari dan menggandengnya dengan posesif keluar ruangan itu bahkan tanpa berpamitan. “Kami permisi dulu, Bu.” Andari menganggukan kepala sembari sedikit membungkuk pada wanita itu. “Silakan. Hati-hati. Jangan dilepas pegangannya. Biar tidak hilang.” Lalu menggeleng sambil berseru lebih kencang agar, “Pintunya tolong ditutup rapat!” Ceklek …. “Dasar penggaris besi kaku!” desisnya setengah mengumpati lalu meraih ponsel dan membuka aplikasi pesan dan mengirimkan foto yang diam-diam diambilnya tadi. “Lho, kok ketemu Bude to?” Suara Galuh terdengar dalam sambungan telepon yang dilakukan Laras beberapa detik yang lalu. “Jadi itu to yang kemaren kamu upload di i********:?” “Iya. Cantik kan calon Bunda aku?” Laras terkekeh. “Pede men. Bapakmu lak koyok penggaris besi. Susah dipatahkannya.” “Alah … gampang, Bude. Wong rel kereta api aja bisa digergaji asal dibarengin pake air motongnya.” Keduanya sama-sama terkekeh. "Tapi kok mereka bisa ke tempat Bude, sih?” imbuh Galuh. Laras lantas menceritakan semuanya pada gadis itu hingga obrolan mereka berlanjut lebih lama. Sementara itu …. Andari dan Angga yang sudah meninggalkan kantor Polres memilih pulang ke hotel. “Kok nggak jadi pergi? Katanya mau ke suatu tempat.” “Sudah sore. Nanti malah hujan,” kilahnya. Pria itu melepaskan kemeja dan kaos yang dikenakannya begitu saja di depan Andari. “Mas!” Andari balik badan karena terkejut melihat tubuh shirtless Angga yang cukup membuat gadis sepertinya mendadak resah. Angga hanya menoleh begitu selesai memakai kaosnya yang lain dan menghampiri Andari. “Ish! Jangan colek-colek. Pake baju dulu.” Angga makin usil dengan menepuk bahu gadis yang akhirnya berbalik kesal lalu malu karena melihat pria itu sudah berpakaian lagi. “Ada pakaian yang mau dicuci ke loundry?” “Kita kan pulang besok.” “Ya, siapa tahu ada urusan mendadak lagi. Biar cadangan baju bersihnya tidak habis.” “Emang kita mau ke mana lagi?” “Bukannya kamu yang mau mencari ayah kandung kamu? Atau sudah menyerah?” “Ah. Iya.” Andari meringis tipis lalu termenung beberapa saat. Angga menggoyangkan telapak tangannya di depan wajah Andari sebelum akhirnya mencubit hidung gadis itu. “Aduh!” “Ada tidak?” Andari berdecak lalu membuka tas dan mengambil pakaiannya yang kotor saat Angga menelepon pihak hotel. Terdengar pintu kamar diketuk dari luar, tak lama setelah petugas laundry datang. “Mas pesen makanan?” “Iya.” Andari mengerutkan kening melihat Angga duduk santai sambil selonjoran kaki di atas meja dan memangku laptopnya. “Ambil yang kamu mau,” katanya tanpa menoleh. Gadis itu menurut dan mengeluarkan semua makanan dan minuman yang dipesan Angga. Pria itu tenggelam dengan pekerjaannya di atas laptop tanpa memperdulikan Andari. Andari yang bosan memainkan ponselnya, memilih menyalakan televisi dan menikmati camilannya di samping pria itu hingga ketiduran. Rasa bosan dan jenuh ditambah perut yang kenyang, membuat gadis itu mengantuk dan akhirnya tertidur. Lama-lama kepala Andari jatuh di bahu Angga. Membuat pria itu sadar kalau sejak tadi mereka hanya sibuk masing-masing. Angga menoyor kepala Andari agar menjauh dari bahunya. Namun tak lama kemudian kepala gadis itu jatuh lagi di sana. Posisi Andari yang meringkuk pun semakin mendusel padanya. Seolah mencari kehangatan dan kenyamanan meski AC di kamar mereka tidak terasa dingin. “Hah!” Menyerah. Pria itu membiarkan Andari tidur mendusel padanya hingga semua pekerjaannya selesai. Angga menggerakan lehernya ke kanan dan ke kiri lantas mengusap-usap tengkuknya yang terasa pegal. Namun, tiba-tiba Angga merasakan kalau lengannya terasa agak dingin dan basah. Pria itu menunduk dan mendapati kalau gadis yang nyenyak tidur bersandar padanya itu sampai ileran. “Ya ampun. Pake ngiler lagi.” Pria itu hendak bangun. Sudah berusaha perlahan agar tak membangunkan Andari namun gagal karena gadis itu mengamit lengannya dengan erat. “Hmmm! Diem!” gumam Andari dalam tidurnya. Angga berusaha menggapai tisu dengan kakinya, namun lagi-lagi gagal dan kotak tisu itu malah jatuh ke lantai. Nasib. Apa dosanya hari ini sampai-sampai harus kena iler Andari. Secara responsif, pria itu mengambil ponsel dan merekam hal itu sebagai barang bukti. Namun, begitu mengulang rekaman gambar yang diambilnya, Angga tertegun dengan masa lalunya. Bayang-bayang itu hadir lagi di sana. Membuat separuh hatinya terasa dicubit-cubit kecil. Bergegas pria itu membuang jauh-jauh pikiran yang entah kenapa sering kali melintasi kepalanya akhir-akhir ini. Sejak pertemuannya dengan Andari. Angga pun mengirimkan rekaman gambar itu pada Galuh yang ditanggapi kehebohan gadis itu. Terbaca dari reaksinya yang langsung menghubungi sang ayah untuk memastikan apa yang dilihatnya itu benar atau tidak. Karena kaget dengan dering ponselnya sendiri dan takut membangunkan Andari, Angga menolak panggilan dari sang putri dengan sengaja. Cah Ayuku : [Ko dirijek sih?] Angga : [Nanti bangun] Emoticon malu menutup mulut terkirim berderet banyak kemudian. Cah Ayuku : [Cieeeee] Cah Ayuku : [Ayah gercep banget] Pria itu mengirimkan emoticon mendelik sebal sebagai balasan. Angga : [Bagusnya dihukum apa?] Cah Ayuku : [Denda dong!] Angga : [Denda apa?] Cah Ayuku : [Denda seumur hidup] Cah Ayuku : [Jadi Bunda aku] Lagi-lagi Angga hanya membalas dengan emoticon mendelik sebal. Cah Ayuku : [Ayah kapan pulang?] Angga : [Besok] Angga : [Kalau ndak ada halangan] Cah Ayuku : [Kenapa ndak buat halangannya sendiri?] Angga : [Maksudnya?] Cah Ayuku : [Katanya mau bawain oleh-oleh] Angga : [Mau dibawakan apa?] Cah Ayuku : [Bunda sama Adik baru dong] Cah Ayuku : [Jadi kalau belum dapet harusnya ndak boleh pulang ya] Angga : [Kamu suruh Ayah hamilin anak orang?] “Siapa yang suruh kamu hamilin siapa, Mas?” Mampus! Angga tak menyadari kalau Andari bangun karena suara ketukan layar ponselnya yang bernada. Gadis itu tak sengaja membaca percakapan terakhir di layar ponsel yang kini membuat pemiliknya membeku dan kesulitan menelan ludah. *** Dalam sebulan ada jatah libur dua hari utuk penulis. Jadi kalau bolong lebih dari dua hari, kemungkinannya sakit/lagi ada keperluan. Sebetulnya aku mau update dua bab sehari, karena masih revisi Tania nanti kalau sudah selesai insha Allah kuupdate dua bab sehari.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN