Kembalikan Dia Padaku

848 Kata
Belum habis rasa gundahku, tidak kuduga Laksamana tiba-tiba muncul di ruang keluarga tempat aku dan Anindira berdiri dengan wajah yang kusut. Wajah adikku yang tampan dan mampu memabukkan banyak wanita itu terlihat tegang dan menyimpan murka. "Eh, ada kalian. Maaf." Laksa yang tidak menduga ada aku dan Anindira tampak terkejut. Apalagi saat melihat Anindira, pria itu bahkan sampai terdiam beberapa saat. "Ada apa, Laksa?" tanyaku to the point. Aku pikir tidak perlu berbasa-basi lagi, kenyataannya suara pertengkaran mereka cukup keras, beruntung tidak sampai ke kamar Ibu dan Bapak yang kebetulan letaknya agak jauh dari kamar aku dan Laksamana menginap. Laksa menghela napas yang terlihat berat. "Duduklah, Mas! sebentar aku bawakan teh hangat dulu," tawar Anindira, dia tampak prihatin melihat raut wajah pria yang tiga tahun lalu pernah meninggalkannya di pelaminan dan hampir menjadikan dirinya bahan hinaan keluarga besar. "Tidak usah merepotkan, Ra." Gusti Allah, bahkan Laksamana masih memanggil Anindira dengan sebutan itu. Sebutan yang beda sendiri dan terkesan begitu manis dan romantis. "Tidak apa-apa, Mas. Sebentar, aku buat dua sekalian buat Mas Arga." Mungkin Anindira tidak mau aku cemburu sehingga kembali membuat minuman hangat buatku, padahal di kamar Anindira baru saja membuatkan teh panas. Tanpa menunggu persetujuan, Anindira berkelebat ke dapur. Selain teh dan jahe yang diseduh dengan air mendidih, Anindira juga biasa menambahkan serei dan kayu manis ditambah madu murni yang memang selalu tersedia di dalam lemari pendingin di dapur Ibu. Rasanya? Segar, hangat dan sangat cocok di udara Pangalengan, Bandung Selatan, yang sangat dingin ini. Meski letaknya hanya 29 KM dari pusat kota Bandung, tapi perbedaan suhunya terasa begitu ekstrem menurutku. Canggung. Kata yang pas untuk menggambarkan suasana di mana aku dan Laksamana duduk berhadapan. Rasa ini sudah lama hadir sesaat dia pergi di pelaminan kala itu dan melemparkan begitu saja tanggung jawabnya sebagai mempelai pria di pundakku. Dulu aku bangga padanya, aku dekat dan sering melakukan kegiatan bersama saat liburan. Mulai dari mengutak-atik motor dan mobil tua milik Bapak, sampai muncak ke gunung dan menikmati suasana city light dan sun set di banyak gunung sekita Jawa Barat yang eksotis, sampai nge-track dengan motor di jalan raya, di tahun baru yang membuat Bapak murka dan memotong uang bulanan kami saat kuliah selama setahun! Sekeras itu Bapak mendidik aku dan Laksamana, makanya aku tidak menduga kalau dia bisa jadi pecundang dengan lari di hari pernikahannya dengan Anindira, wanita pilihan Ibu yang begitu lembut dan santun. Sangat mengecewakan! Selain pandai dan tampan, dia juga manis dan penyayang. Laksamana tangguh dan dipuja banyak wanita, sekali lagi aku tidak menduga kalau dia bisa bersikap pengecut dan menghancurkan perasaan Ibu dan Anindira dua wanita yang aku tahu berharga buat dirinya. "Maafkan aku." Kata itu keluar begitu saja dari bibir Laksamana. "Maafkan untuk tiga tahun pernikahanmu yang tanpa cinta bersama Anindira." "Apa maksudmu?" tanyaku, mataku tidak berkedip ke arahnya. Melihat Laksamana, seolah melihat bayanganku sendiri, wajah dan postur tubuh kami sangat mirip. Tak banyak perbedaan diantara aku dan dia, selain kulit wajahnya yang sedikit gelap dan terkesan macho, dan juga sifatnya lebih hangat dan romantis, sementara aku tertutup dan pendiam. Sebagai anak paling tua, aku sudah bertekad untuk bersikap dewasa dan mampu menjaga Ibu dan Bapak semampuku termasuk menghapus aib yang dibuat Laksamana di pelaminan tiga tahun lalu. "Maafkan kebodohanku tiga tahun lalu." Laksamana melanjutkan, menyugar kasar rambutnya. "Lupakan! Aku sudah melupakannya," jawabku pelan. "Aku sudah menerima takdirku. Mungkin, akulah yang dituliskan Allah untuk menjadi suami Anindira." "Dengan terus menyakiti dan menyiksanya?" "Apa maksudmu?" "Aku tahu semua yang kau lakukan untuk Anindira. Cukup tiga tahun kau menyakitinya." Wajahku mendadak panas. Apa maksud mahluk satu ini? Mengajakku duel? "Aku tahu, dari tahun pertama pernikahanmu dengan Anindira. Tak sesaat pun kau menyayanginya, tapi apa yang bisa aku lakukan?" Suara Laksamana lirih. "Selama ini aku berdoa agar kau bisa menyayangi Anindira agar rasa bersalahku padanya sedikit terobati. Sampai malam di mana kau mengatakan kebenaran tentang Anindira, aku frustrasi. Bagaimana bisa tiga tahun kau tidak menyentuhnya? Suami macam apa kamu?" Aku tercekat. Dia yang lari dari tanggung jawab, dia juga yang menyalahkan aku. Sakit jiwa! "Dan kau, mengapa baru mengatakan hal ini malam ini? Apa karena intan tidak suci dan berselingkuh?" tanyaku sinis. "Aku menerima kenyataan tentang Intan, tapi jika kamu terus menyakiti dan menyia-nyiakan Anindira, aku akan melakukan apapun agar kalian bercerai." Bicara apa dia? Aku melotot yang dibalas hanya dengan senyuman hambar di bibir Laksamana. "Katakan, siapa yang memfitnah Anindira? Intan?" Laksamana menggeleng. "Intan tidak terlibat dalam fitnah ini." Jawaban Laksa diluar dugaan. "Lalu siapa? Sekuat itulah pengaruhnya sehingga kau bisa percaya begitu saja, bahkan begitu yakin sampai aku mendapati kenyataan semalam tentang Anidira yang masih suci?" Laksamana menggeleng pelan. "Aku akan mengatakannya jika waktunya tepat. Aku dan Intan mungkin tak lama lagi akan bercerai. Jadi...." "Jadi apa?" "Kalau kau tidak kunjung mencintai Anindira, kembalikan padaku. Aku akan menebus tiga tahun luka yang kudu berikan dalam hidupnya." Buk. Laksamana mengaduh kecil, sebuah bogem mentah mendarat mulus di rahangnya yang kokoh. Ucapannya terdengar kurang ajar di telingaku membuat aku emosi dibuatnya. Dia tidak membalas dan hanya mendengus. "Kamu pikir aku akan melepaskan Anindira begitu saja setelah dengan seenak perutmu kau permalukan di pelaminan?" tanyaku murka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN