Rasa Yang Aneh

912 Kata
Aku menggeleng. "Jangan bicara seperti itu, Anin," jawabku lirih. "Maaf Mas, faktanya memang seperti itu bukan? Mungkin setelah aku bisa membayar semua utang budiku pada keluarga Mas, aku akan pergi." Kali ini ada yang berkaca di sudut matanya. Aku ingat, sebelum Ibu meminta Anindira untuk menjadi istri Laksamana, kerap memberikan bantuan karena ayahnya sakit keras kala itu. Ibu adalah sahabat baik almarhumah Ibunya Anindira. Mungkin itu alasan dia menjodohkan salah satu putranya pada Anindira, termasuk tak segan membantu kesulitan keluarga Anindira. Hutang budi yang dibayar tunai oleh Anindira! Selama tiga tahun menikah denganku tidak sekalipun dia mengeluh dan menuntut apapun dariku. Tidak nafkah lahir, tidak juga nafkah batin, bahkan Anindira tidak meminta walau hanya dalam bentuk penerimaan dan perlakuan baik sek. Tiga tahun aku terkungkung dalam rasa sesal dan benci karena terpaksa menjadi pengantin pengganti membuatku enggan berbuat baik, aku juga tidak perduli dengan alasan Laksamana menolak menikahi Anindira dan memilih pergi tepat di hari pernikahan mereka. Aku tidak mencari tahu fakta dibalik tuduhan yang dikatakan Laksamana pada Anindira. Sebegitu tidak pentingnya sosok wanita itu bagiku, bahkan untuk mencari tahu apapun tentang Anindira, aku malas. Kubiarkan pernikahanku mengalir seperti air, tanpa rasa dan warna. Bagiku asal Ibu bahagia apapun aku lakukan, termasuk bertahan dalam mahligai pernikahan yang tanpa cinta bersama Anindira. Berangkat pagi, pulang setelah magrib. Tak jarang pulang malam dan bahkan tidak pulang sekalipun sering aku lakukan. Aku tidak tahu apa perasaan Anindira selama ini, entah sedih, kesepian atau mungkin bosan karena di rumah seharian tanpa sedetikpun aku menemaninya. Aku benar-benar tidak perduli. Prinsipku, tidak kutalak sesaat setelah pernikahan saja sudah cukup. Aku sudah menyelamatkan wajahnya saat ditinggal calon suaminya kala di pelaminan, aku juga sudah membantunya keluar dari aib dan hinaan kerabat, teman dan sanak saudara itu sudah jauh dari cukup. Pengorbananku sudah lebih dari sempurna. Mau apa lagi? Mau aku perlakukan layaknya wanita yang dinikahi seorang pria pada umumnya? Mendapat cinta dan kasih sayang pun penerimaan? Jangan mimpi! Aku bahkan hanya menunggu waktu yang tepat untuk melemparkannya dari kehidupanku. Aku hanya ingin, jika saatnya tepat, tak ada lagi sosok Anindira dalam hidupku. Persis seperti yang dia katakan. Aku akan mentalaknya jika hati Ibu sudah siap, sementara Anindira akan pergi saat semua hutang budinya sudah lunas. Klop kan? Lalu mengapa sekarang kenyataan itu menjadi terasa berat? "Maaf, Mas bisa geser?" Suara Anindira yang akan menyiram bunga di belakangku membuyarkan lamunan. "O, iya, silahkan!' Aku langsung menggeser tubuh yang menghalangi bunga di belakangku, membiarkan Anindira menyiram semua bunga yang ada di teras Ibu. Wajahnya menunduk dan berusaha menghindari untuk beradu tatap denganku. Sikap Anindira makin diam dan tertutup membuat aku semakin merasa bersalah. "Biar, Mas bantu." Aku berusaha mengangkat ember dan membawanya ke sudut lain di mana ada bunga yang belum disiram. Anindira tengadah. "Jangan terlalu baik, jangan membuatku susah pergi." "Kamu tidak akan pergi. Kamu akan terus bersamaku," ujarku pelan, berharap ada pelangi di mata Anindira. Sayang mata itu tetap kelabu, tiga tahun dan kebodo han yang aku lakukan semalam rupanya sukses melukis sudut hati Anindira dengan warna yang begitu kelam. *** Makan malam selalu menjadi suasana yang menyenangkan bagi keluargaku, dari dulu. Aku tidak lupa, Ibu dan Bapak tidak pernah melewati momen indah di meja makan. Bahkan meski hanya dengan lauk sangat sederhana karena Bapak sedang tidak bekerja kala itu, Ibu tetap mengatur menu makan di meja makan dengan senyum yang tetap penuh. Nasi putih, kerupuk dan satu buah ceplok telor yang akan dibagi dua antara aku dan Laksamana. Meski sangat sederhana tapi indah sekali. Suasana makan malam kali ini jelas berbeda. Selain ada Ibu, Bapak, aku dan Laksamana serta dua mantu yang penampilannya bak bumi dan langit, menu lauk makan pun begitu istimewa. Sore tadi Ibu dibantu Anindira menyiapkan makan malam ini. Anin seolah senang sekali menempel dengan Ibu dan terus menghindariku. Anin bahkan ikut Ibu belanja ke pasar dan mampir di rumah kerabat yang terlewati, dia tampak sangat menikmati dan begitu dekat dengan Ibu. Atau jangan- jangan sengaja agar tidak berada dekat denganku. Aduh, setakut itukah dia kepadaku saat ini? Ibu dan Bapak tampak bahagia sekali. Jarang kami bisa ngumpul seperti ini. Aku dan Laksamana bekerja di perusahaan besar yang sedang melaju pesat, kami jarang punya momen cuti bersama. Sementara Intan cukup hangat dan percaya diri menimpali obrolan Ibu dan Bapak di meja makan, Anindira lebih banyak diam. Dia menyuapkan makanannya tanpa suara. "Jangan khawatir, kami sedang dalam program memiliki momongan," jawab Intan mantap saat Ibu menggodanya tentang buah hati. "Insyaallah cinta kami begitu kuat dan besar. Kami sudah tidak sabar untuk memiliki keluarga kecil yang bahagia. Betul, Mas?" Intan melirik mesra ke arah suaminya, wanita cantik dan modern ini begitu supel dan percaya diri, dengan pandainya membuat suasana makan malam ini hangat dan cair. Laksamana hanya tersenyum dan melirik sekilas ke arah istrinya. Sikapnya hari ini beda dengan hari sebelumnya yang hangat dan mesra. "Syukurlah, Ibu dan Bapak senang mendengarnya. Semoga kalian akan memiliki rumah tangga yang sakinah dan segera menyemarakkan hari tua ibu dengan cucu yang lucu." Selalu kata cucu hadir di setiap obrolan Ibu. Bahkan hatinya rerlihat perlahan mencair saat Intan hadir, rasa murka dan benci pada Laksamana yang pengecut dan meninggalkan Anindira di hari pernikahannya perlahan pergi. Ibu sepertinya mulai mau memaafkan Laksamana. "Tentu saja Ibu, aku dan Mas Laksa bahkan berencana memiliki banyak anak. Betulkan Mas?" Lagi-lagi intan melirik manja pada suaminya. "O, eh, i-ya, Sayang." Laksamana terlihat begitu gugup. Jika Intan begitu penuh semangat dan sumringah, raut wajah Laksa terlihat mendung dan tak cerah. Ada apakah dengannya, adakah dia menyembunyikan sesuatu?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN