Malam Pertama Yang Menyakitkan

1036 Kata
"Kapan kamu memberi Ibu cucu, Arga?" tanya Ibu hangat dan ringan menimpali suasana ceria pertemuan setelah cukup lama aku tidak pulang ke kampung halaman. Pertanyaan sederhana, tapi terasa tidak sederhana di hatiku. Pertanyaan yang membuat aku malas pulang kampung dan berpura-pura bahagia di atas hatiku yang terluka dan terhina. "Berilah Ibu cucu, agar saat kau pulang ke rumah ini akan ada yang memanggilku nenek." Ibu melanjutkan dengan senyum khasnya yang selalu teduh dan hangat di jiwaku, tapi makin membuat hatiku berat dan tidak baik-baik saja. Ingin rasanya berteriak, belum cukupkah aku mengorbankan diri dengan menikahi gadis pilihan hati Ibu yang ditinggal, adikku sendiri di pelaminan tiga tahun lalu? Belum cukupkah aku menderita dengan meninggalkan karir dan gadis pujaan hatiku demi bersanding dengan perempuan yang dicampakkan adikku di hari pernikahan mereka, demi menyelematkan nama baik keluarga dan aib setelahnya? Dengan terpaksa dan menahan sakit, aku menggantikan adiku menjadi mempelai pria untuk gadis yang bahkan tidak begitu aku kenal sebelumnya. Aku mendesah, tatapan Ibu yang memohon membuat dadaku terasa ditindih batu begitu berat. "Tiga tahun kamu sudah menikah dengan Anindira, sudah saatnya kalian memiliki keturunan." Seperti tidak memahami gejolak hatiku ibu kembali berbicara. "Kamu mungkin terlalu capek dengan urusan rumah sehingga belum diberi momongan. Begitu kan, Nak?" Kali ini ibu melirik ke arah Anindira yang terlihat menunduk sejak tadi. Suasana berubah begitu canggung. Anindira tersenyum dan menggeleng. "Mungkin belum saatnya, Bu. Kami belum dipercaya memiliki buah hati." Pandainya Anindira bersandiwara. Suaranya terdengar begitu lembut dan tenang. Dia pandai menyembunyikan apapun dengan sikapnya yang santun, lembut dan dewasa. Dasar penipu! Ibu dan Bapak mungkin bisa dia tipu, tapi aku dan Laksamana, adikku, tidak bisa ditipunya, kabar burung dan bukti-bukti lain yang dikirim seseorang pada Laksamana sesaat sehari menjelang pernikahan, membuktikan kalau Anindira bukan gadis suci. Dia perempuan ja lang yang bahkan sudah terbiasa berpetualang cinta dan berpindah dari satu pelukan pria pada pelukan pria lainnya. Laksamana tidak Sudi menikahi gadis munafik ini, sementara aku? Aku tidak berdaya melihat Ibu yang histeris dan shock. Tanpa cinta, tanpa rasa dan tanpa keikhlasan aku akhirnya berdiri di pelaminan, menjadi pengantin pria dan suami Anindira sampai saat ini. Demi ibu, aku mampu melakukan apapun termasuk menjalankan rumah tangga yang penuh rasa kecewa dan dusta. *** "Beri aku keturunan, Arga. Ibu ingin punya cucu," ucap Ibu senja tadi membuat kepalaku rasanya mau pecah. Setelah tiga tahun menikahi gadis sok suci itu dan berpura-pura kalau rumah tanggaku baik-baik saja, apa aku harus juga menyentuhnya dan menanam benih di rahimnya? Menyerahkan keperjakaanku pada wanita yang aku benci? O, takdir, adakah kau belum lelah menyakitiku? Aku menghela napas berat. Menatap nanar ke arah langit kamar yang terasa buram. "Mas, minumlah! di sini dingin. Wedang jahe ini akan membuat tubuhmu hangat." Suara lembut Anindita yang tidak kusadari sudah memasuki kamar membuyarkan lamunan. Seperti biasa, sedingin dan secuek apapun sikapku padanya, dia selalu baik dan berbakti padaku. Aku melengos. sikapku acuh, angkuh dan tidak perduli. Kubiarkan Anindira meletakkan nya di atas meja kecil dekat lembaringanku, dia sekilas melirik wajahku yang dingin, samar aku melihat dia menghela nafas sedetik kemudian dia menjauh dan bersiap tidur di atas sofa di pojok kamar. Adakah dia lelah dengan sikapku yang selalu beku dan menyakitkan? Masa bo doh! Faktanya tiga tahun dia dan aku masih satu atap dan masih sepasang suami istri meski tak ada cinta. Meski alasan hanya demi kebahagiaan orang tua dan nama baik keluarga, satu kenyataan yang bukan hanya terdengar pahit, tapi juga menyakitkan. "Jangan tidur di sana, tidur bersamaku!" Wajahku ketus saat menunjuk pembaringan yang kosong di sampingku. Teringat raut wajah ibu yang begitu penuh harap, aku tidak berdaya. "Aku...aku tidur di kursi saja." Anindira tampak terkejut. Seaneh ini memang rumah tanggaku dengan wanita itu, bahkan di tiga tahun pernikahan, aku belum pernah sekalipun berbagi tempat tidur dengannya. Di rumahku, aku dan Andira bahkan biasa tidur di kamar terpisah. "Kataku, tidur di sini. Bersamaku!" Suaraku meninggi. "Ba-baik, Mas." Anindira berjalan menunduk, hati-hati dia menghentakkan bobot tubuhnya di sampingku. Terlihat dia begitu ragu dan gelisah. "Buka hijabmu?" perintahku dingin. "Buka hijab?" "Kamu tuli?" Anindira menggigit bibir, tapi, tidak urung tangannya membuka penutup kepala yang selama ini, atas perintahku tak pernah dilepasnya. Aku melengos. Untuk pertama kalinya aku melihat rambut Anindira. Begitu legam hitam dan indah. Sudah kuduga, tanpa hijab Anindira begitu cantik. Bukankah wanita ja lang memang terlahir cantik sehingga banyak pria yang tergoda? Aku tersenyum kecut, rasanya aku muak harus menyentuhnya malam ini. "Buka bajumu!" Aku menuding ke arah pakaian panjang yang dikenakan Anindira. "Bu-buka baju?" Suara Anindira makin gemetar. Wajahnya pucat pasi. Pandainya dia bersandiwara dan berpura-pura lugu. Cih! "Buka bajumu atau kurobek?" Suaraku makin ketus tapi sepelan mungkin. Malam sudah larut, kegaduhan sedikitpun bisa sampai ke luar, bahkan sampai ke kamar Laksamana dan Intan, sepasang pengantin baru yang berbahagia. Ingat kalau Laksamana tengah memeluk wanita seperti Intan yang suci dan cantik, amarahku makin menggelegak. Kudorong tubuh Anindira dengan kasar, kapaksa membuka pakaiannya, tak kuhiraukan raut ketakutan dan tidak berdaya dari Anindira. Tak kuhiraukan tangis dan suara putus asanya yang terdengar pilu. Teruslah bersandiwara, aku muak....! Tanpa cinta, tanpa kelembutan dan Tanpa rasa hormat, aku menyentuh Anindira, wanita yang tiga tahun sudah menjadi istriku. Diiringi dengan kata kebencian dan caci maki, aku melakukan tugas pertamaku sebagai suami. Tak ada lagi suara tangis Anindira, tubuh dan wajah itu terdiam dan bisu. Aku merenggangkan tubuh dengan kening berkerut. Apa yang aku dapati dari Anindira sungguh berbeda dan tidak seperti yang aku duga. Aku pria matang, aku faham dan bisa membedakan gadis berpengalaman dan tak tersentuh. Mataku terpaku, saat di atas seperai aku melihat bercak darah. Anindira masih perawan! Gusti Allah, betulkah apa yang kulihat dan kualami, kalau istri yang sekian lama kurendahkan dan kuanggap kotor, ternyata masih suci dan perawan? "Anin, bangunlah," bisikku pelan. Hati- hati aku menyentuh matanya yang terpejam. Sepi. Jangankan menjawab, mata Anindira tetap terpejam. "Anin, Anin...bangunlah!" aku mulai panik, mataku terus berpindah pada memar di tubuh Anindira karena aku menyentuhnya dengan perasaan muak dan bercak darah di seprai tanda akulah yang pertama dalam hidupnya. Sepi. Anindira tidak menjawabku. Mulutnya kelu, matanya tertutup dan bibirnya membisu. Gusti Allah, apa yang terjadi pada Anindira? Aku gemetar, untuk pertama kalinya aku menatap wajah istriku yang begitu cantik dan tak bernoda dengan d**a berdegup kencang dan sudut mata yang terasa panas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN