Bagaimana rasanya siuman setelah tiga tahun lamanya seolah tertidur dan hilang ingatan?
Bumi rasanya berputar dengan mata yang terasa berkunang, perlahan memoriku satu persatu memutar kembali kisah demi kisah yang begitu banyak dan panjang yang telah aku lewati bersama Anandira. Kisah yang sebagian besar buram dan nyaris tak ada yang berwarna. Kisah yang nyaris seluruhnya akan terasa pahit bagi Anindira dan juga menyakitkan.
Aku menatap tidak percaya wajah yang tampak memerah menahan malu dan juga perasaan yang aku tidak tahu.
Aku baru saja memeluknya begitu erat, membuat Anindira tampak kaget dan juga...entah! Wajahnya terlihat merah saga dan terlihat unik.
Tiga tahun, Anindira gadis yang terlihat sedih dan putus asa di pelaminan itu tanpa kusadari telah berubah jadi wanita dewasa yang matang. Wanita yang terlihat begitu pandai menguasai diri dan tenang tapi juga pemalu dan pandai menjaga diri. Dia menjelma jadi wanita cantik tanpa aku sadari.
"Masih sakit?" tanyaku mengalihkan perasaanku yang canggung.
Anindira menggeleng.
"Terimakasih sudah perduli." Suara Anindira pendek. Dia seolah tidak mengerti sikapku terlihat yang terlalu khawatir di matanya. Bukankah dua bulan lalu dia pernah tersiram air saat membuatkan kopi untukku, dan apa yang aku lakukan? Aku memarahinya, mengatakan dia ceroboh dan bikin susah. Dengan entengnya aku menyuruh Anindira pergi ke klinik terdekat tanpa kuantar. Tanpa mengeluh dia menuruti permintaanku, pergi ke klinik dan mengobati luka melepuhnya yang cukup besar di wilayah kaki tanpa bantuanku. Entah apa yang dia rasakan sesudahnya, yang jelas tidak sekalipun Anindira mengeluh dan menangis.
Anindira tumbuh jadi perempuan yang kuat dan tak mudah menyerah, hal yang kini terasa menampar jiwaku. Anindira terlalu jauh dan tak tersentuh, wajahnya datar, senyumnya samar dan tatapan matanya begitu dingin dan sepi. Tiga tahun aku memaksanya hidup sendiri dan kini aku mendapati bayarannya dengan tunai, Anindira menjaga jarak denganku. Dia memeluk hati dan hidupnya seorang diri dengan begitu sempurna.
"Mas sudah subuh. Pergilah solat berjamaah di mesjid. Luka ini sudah tidak terasa sakit," kata Anindira sesaat suara adzan subuh yang berkumandang merdu di pengeras suara masjid di kampung ini.
"Beneran tidak sakit?" Aku menelisik kakinya yang terkena serpihan kaca dan sudah ku obati dengan obat merah.
Membuat Anindira tersenyum kecil.
"Mas lupa kalau aku pernah tersiram air panas? Perasaan Mas tidak secemas ini."
"Maafkan." Hanya bisa menjawab pendek, merasa malu karena mungkin sikapku saat ini terasa berlebihan bagi Anindira. Sebetulnya tidak berlebihan, hanya dia yang tidak pernah tahu rasanya sebuah perhatian.
"Baiklah, aku ke mesjid. Tapi aku pesan, jangan ngapa-ngapain pagi ini," pesanku serius.
"Lalu ibu mengerjakan sendiri?"
"Ada Bi Nah."
"Dia datangnya siang."
"Sepulang dari masjid, aku yang bantuin Ibu. Sekarang kamu solat, berbaringlah kembali. Nanti aku pulang dari mesjid kubawakan segelas s**u murni panas. Oke?"
Anindira tidak menjawab. Dia malah sibuk menyeka air matanya.
"Mas jangan terlalu baik padaku," isaknya lirih
Lho?
"Aku takut semua ini mimpi."
"Anindira...."
Aku mende sah lirih. Meraih tangannya dan menciumnya perlahan.
"Ini nyata, Anin. Belajarlah bangun dan siuman."
O, Arga! Pandainya kau memutar balik fakta, bukankah selama ini kau yang amnesia kalau wanita di depanmu adalah istrimu? Wanita yang dihadirkan Allah dalam hidupmu untuk kau cintai namun malah kau beri luka?
***
Suhu 17 derajat Celcius menyambutku sesaat keluar dari mesjid. Membuat gigiku sedikit gemerutuk mengiringi langkah kaki menuju rumah yang letaknya agak jauh dari masjid tempat biasa aku dan Bapak solat berjamaah. Hari masih begitu gelap, aku melihat hamparan teh yang biasanya hijau kini hanya hitam berselimut gelap. Di bawah bayangan lampu penerang dari rumah yang aku lewati, samar aku melihat kabut yang seperti uap air, apalagi saat aku menghembuskan nafas, terlihat uapnya begitu nyata.
Seharusnya aku tidak menggigil, bukankah aku menghabiskan masa kecil sampai remaja di tempat ini. Meski hanya ibu yang asli orang sini, tapi aku lahir di sini. Tumbuh bersama keluarga dari pihak ibu, menghabiskan masa kecil, remaja sampai aku merantau untuk kuliah dan bekerja. Lama pergi dari kampung halaman membuat aku merasakan udara Bandung Selatan ini begitu dingin. Aku menghela napas, entah mengapa saat aku melintas jalan setapak yang menuju rumah Wak Jamil hatiku menjadi gelisah. Bayangan Armala, kembali melintas. Bagaimana, ya Allah?
Apa mungkin Armala akan menagih janji?
"Tunggu, tiga tahun lagi, Mala. Aku pasti pulang, kita lanjutkan kisah kita yang tak selesai karena aku harus menggantikan Laksa di pelaminan."
Armala tidak menjawab. Gadis desa yang masih kerabatku itu hanya mengangguk lemah.
"Aku akan menunggumu dan memegang janjimu. Aku tahu kau tidak berdaya dalam hal ini, aku akan setia padamu."
Dadaku berdenyut sakit. Apa mungkin Armala masih menungguku? Apa mungkin kisah cintaku yang aku tinggalkan bersamanya akan kembali datang setelah perlahan aku mulai mencintai Anindira?
Aku menghembuskan nafasku keras, berusaha mengenyahkan pikiranku tentang Armala. Aku harus akui, hanya Armala yang selama ini mengisi relung hatiku. Gadis lembut, baik dan manis itu yang selalu hadir mengisi mimpiku. Armala cinta pertamaku, Armala sempurna, kisahku kandas bukan karena pengkhianatan tapi karena aku harus menghapus aib keluargaku dengan terpaksa menikahi Anindira. Aku tahu cinta Armala begitu besar, tapi apakah mungkin dia hadir setelah aku mulai jatuh cinta pada Anindira?
Gusti Allah, mengapa kisah cintaku jadi serumit ini? Aku menatap gelapnya hamparan gunung teh di depanku dengan hati yang begitu gundah.
Meski sad dan penuh air mata tapi cerbung ini akan tetap hangat dan lembut seperti mentari pagi. Nikmati alurnya, nikmati air mata dan patah hati dengan tetap tersenyum. Meski penuh luka, tapi endingnya akan terasa begitu manis dan indah. Insyaallah cerbung ini akan ending di part 50 kurang lebih.
Mohon jaga komen, izinkan Author berkarya dengan sepenuh rasa. Love you All....