5. Tawaran Bekerja

1270 Kata
Aku tidak punya pilihan, selain menerima tawaran Kang Dadang. Biar saja yang obat mama dihitung utang olehnya, jika nanti ada sisa uang belanja akan aku simpan dan aku ganti uangnya. Pagi ini kami sarapan nasi goreng karena ia benar-benar membuktikan ucapannya untuk tidak memberikanku uang belanja. Tidak apalah, karena stok beras masih ada. Nasi goreng tanpa cabai dan telur, hanya diiris bawang merah dan bawang putih serta kecap. "Bikin nasi goreng begini banget. Ck, gak selera saya!" gerutu Kang Dadang sembari meletakkan sendok dengan kasar. "Memangnya kenapa, Kang? Tidak enak?" tanyaku keheranan. "Tidak enak, masa tidak ada cabai dan telur," jawabnya masih dengan nada kesal yang sama. "Memang bumbu dapur sudah habis. Kalau mau pakai telur dan cabai, harus ke warung." "Mikir dong, Nura, kamu bisa'kan minta cabai dua biji sama tetangga. Biar gak anyep ini nasi goreng. Sudahlah, aku berangkat saja!" Ia memberikan punggung tangannya padaku, lalu dengan malas aku menciumnya. Kaki ini ikut berjalan ke teras untuk melepasnya pergi bekerja. Setelah motor itu menghilang dari depan rumah, aku pun kembali masuk ke dalam rumah untuk meneruskan makanku. Nasi di dalam piring harus segera aku habiskan. Tida mungkin aku membuang nasi ini karena memang rasanya kurang enak di lidah, tetapi daripada perutku lapar? Aku pun duduk kembali dan mulai menyiapkan nasi goreng hambar itu ke dalam mulut. "Assalamu'alaikum," suara lelaki di depan pintu rumah membuatku terlonjak kaget. Tidak mungkin Kang Dadang yang balik lagi. "Assalamu'alaikum," sapanya lagi. "Wa'alaykumussalam, tunggu ya." Aku pun bergegas membuka pintu dan sangat terkejut dengan sosok yang ada di depan pintu. "Willy, ada apa?" tanyaku keheranan. Anak kuliahan itu masih dengan helem, juga jaket motor besarnya, tak lupa ransel yang selalu ia pakai ke kampus. "Ini dari mama, katanya anterin ke sini. Bukan hanya Mbak Nura sih, tetangga lain juga sudah lebih dahulu dibagi sama mama. Ya sudah, saya pamit." Pemuda itu meletakkan bungkusan ke tanganku, lalu berbalik badan dan langsung naik ke atas motor besarnya. "Eh, ini, ya ampun, Willy, sampaikan terima kasih sama Bu Widya ya." Aku tersenyum sambil melambaikan tangan padanya. Bungkusan hitam ini cukup berat, sehingga aku buru-buru menaruhnya di lantai sebelum mengunci pintu rumah. "Ya ampun, ada cabai, terong, bawang putih, tomat, beras, dan juga kentang. Apa ini hasil kebun milik Bu Widya?" aku bergumam takjub. Wanita setengah baya itu pernah mengatakan padaku bahwa ia punya kebun sayuran di Puncak. Ia juga memiliki satu hektar kebun teh di daerah sana. Sungguh sebuah rejeki yang tidak disangka-sangka. Mata ini sampai berkaca-kaca karena terharu. Aku putuskan untuk memasak terong dicabein sebelum berangkat ke bank untuk transfer ke Teh Yuri. Pukul sebelas siang, aku sudah mengantre di bank. Kustomer Bank Mandini memang selalu penuh, sehingga butuh lebih dari satu jam jika aku sudah berada di sana. "Mbak Nura." Aku menoleh kaget saat namaku disebut diikuti tepukan pelan pada pundakku. "Bu, Widya, ya ampun, ketemu di sini." Aku tersenyum sangat ramah. Beliau pun ikut tersenyum sambil merangkul pundakku. "Mau transfer?" tanyanya. "Iya, Bu, mama di kampung sedang kurang sehat. Ini saya mau transfer uang untuk nambahin beli obat yang tidak di kover BPJS," kataku jujur sambil menunjukkan lipatan uang seratus tiga puluh ribu pada Bu Widya. "Oh, begitu, sakit apa mamanya, Mbak?" "Jantung, Bu, udah mendingan sebenarnya, tetapi belakangan ini lagi sering kambuh." Bu Widya manggut-manggut mendengar penuturan singkat tentang kondisi mama. "Oh, iya, Bu, terima kasih oleh-oleh kebunnya. Banyak sekali, saya jadi masak terong dicabein, enak banget kalau langsung dari kebun ya, Bu," mataku dengan senyuman lebar. "Apa? Oleh-oleh kebun? Ah, iya, itu ... Sama-sama, Mbak, maaf cuma sedikit." Bu Widya tersenyum. "Banyak sekali untuk saya, Bu. Terima kasih pokoknya." "Mbak Nura mau bekerja tidak? Maaf nih, tapi dari yang saya dengar dari para tetangga, Mbak Nura sedang sulit ekonominya, jadi saya menawarkan pekerjaan, itu juga kalau Mbak Nura mau dan diijinka suami." Mendengar ada tawaran pekerjaan tentu saja hati ini langsung membuncah senang. Sebenarnya bukan sedang kesulitan ekonomi, tetapi suamiku yang terlalu hemat pada istri sendiri. "Apa yang bisa dikerjakan wanita tamatan SMA seperti saya ini, Bu?" "Mbak biasa pegang laptop?" tanyanya dan aku menggeleng. "Bisa sekedar mengetik di laptop saja, Bu, gak lebih," jawabku jujur. "Oh, begitu ya. Begini, saya punya usaha laundry di Pasar Minggu, cukup besar sih dan saya butuh admin keuangan. Saya menawarkan Mbak Nura kalau bisa. Willy bersedia mengajarkan Mbak Nura kalau berkenan." "Wah, Ibu juga punya usaha londry?" aku semakin takjub dengan rejeki yang Allah berikan untuk Bu Widya dan keluarganya. Mungkin karena ia orang yang rajin sedejah, sehingga Allah selalu meluaskan rejekinya. "Bukan punya saya, tapi milik Willy. Adminnya yang lama melahirkan dan berhenti, jadi Willy butuh admin baru. Saya menawarkan kamu karena tahu kondisi kamu. Namun tetap harus ijin dulu sama Dadang ya." "Baik, Bu, pasti dapat ijin dari Kang Dadang. Nanti saya ke rumah Ibu setelah saya dapat jawaban dari suami saya ya, Bu." Betapa leganya hati ini karena bertetangga dengan orang-orang baik. Semoga dengan aku bekerja nanti, masalah perut ini sedikit teratasi dan aku bisa makan layaknya orang lain, tanpa memusingkan uang belanja. Aku pun sangat yakin seratus persen Kang Dadang memberikan ijin. Bu Widya menumpangiku sampai ke rumah dengan mobilnya. Terlihat sangat keren wanita seusianya masih begitu gagah mengendarai mobil besar di jalan raya. "Terima kasih banyak atas tumpangannya, Bu," ucapku sebelum turun dari mobilnya. "Ya, sama-sama, kabari saya secepatnya ya." Aku pun mengangguk paham. Kaki ini melangkah begitu ringan untuk sampai ke rumah. Tak sabar rasanya menunggu malam dan mengatakan kabar gembira ini pada suamiku. Pukul tujuh malam, tepatnya sehabis azan isya, suara motor Kang Dadang berhenti di depan rumah. Bergegas kubukakan pintu dan menyambutnya dengan senyuman. "Assalamu'alaikum," ucapnya saat kedua kakinya masuk ke dalam rumah. "Wa'alaykumussalam," jawabku sambil tersenyum. "Tumben kamu nyengir menyambut suami pulang? Biasanya asem, pasti ada maunya nih? Mau ngutang lagi ya?" tebaknya sambil meremas bokongku. "Dih, suudzon aja! Kebanyakan utang nanti saya gak bisa bayarnya. Kakang udah makan belum?" "Udah dong, makan di restoran seafood. Enak banget makan gratis ya. Kenyang sampai lambungku serasa mau pecah," ceritanya dengan begitu antusias. Gratis? Pantas saja girang. Batinku. "Aku mandi dulu deh, habis itu kamu pijat aku ya, Nura." Aku pun mengangguk. Sudah bukan hal aneh lagi jika ia selalu minta dipijat sepulang bekerja, walau hanya setengah jam saja, tetap saja ia maunya dipijat. Kusiapkan secangkir teh manis banget di atas meja untuknya. Kang Dadang keluar dari kamar mandi dengan tubuh segar dan juga wangi. Tanpa menoleh padaku yang duduk di ruang TV, suamiku itu langsung masuk ke dalam kamar untuk memakai pakaian tidurnya. "Kang, saya mau bicara," kataku saat mulai memijat kakinya. "Daritadi bukannya kamu udah ngoceh aja. Ada apa emangnya?" tanyanya dengan santai. "Saya dapat tawaran jadi admin keuangan di usaha londry Bu Widya," kataku diikuti senyuman senang. Ia yang berbaring, langsung bangun duduk dan menarik kakinya dengan cepat. "Beneran? Admin keuangan? Wah, rejeki kita itu, Nura." Kang Dadang begitu antusias. "Boleh gak, Kang?" tanyaku lagi. "Boleh, kalau jadi admin keuangan, tapi kalau jadi tukang setrika dan cuci, saya tidak ijinkan. Lahan basah kalau jadi orang keuangan, Nura. Jangan sampai tidak diambil, saya pasti ijinkan dan saya dukung, asalkan nanti gaji kamu saya yang pegang. Kamu boros kalau pegang uang. Biar saya saja yang atur, kamu cukup kerja di lahan basah itu dengan cantik." Aku tersenyum sumbang mendengar respon Kang Dadang, bekerja dengan cantik maksudnya apa? Lalu gajiku ia yang pegang? "Kang, kalau urusan gaji, ya pegang masing-masing dong! Saya juga gak pernah ributin gaji Kang Dadang. Kenapa gaji saya Kakang yang pegang?" protesku tidak terima dengan aturan yang ia berikan. "Ya gak bisa gitu, kalau kamu tidak setuju, tidak usah bekerja di luar. Diam di rumah saja terima uang dua puluh ribu sehari dari saya."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN