12. Aku Bukan Airin

2316 Kata
"Lo beneran gak mau gue tungguin?" "Udah gak usah, nanti Karin nungguin lo kelamaan. Gue bisa naik ojol kok nanti." Alexa sudah siap akan keluar dari mobil dengan tas ransel di punggungnya. "Ya udah deh, tiati lo sama Mas Marsel. Digigit lo ntar." tangan Rafli sudah berada di awang-awang seperti ingin mencakar. "Berisik lo." Alexa langsung keluar begitu saja. Dandanan Alexa tak jauh berbeda seperti hari-hari biasa. Masih sama, kaos oblong, tapi kali ini Alexa memakai kaos berlengan panjang warna navy, celana jeans hitam, converse hitam dan tas ransel di punggung. Rambut panjangnya selalu dia kuncir bagai ekor kuda. Alexa berjalan ke arah lobi rumah sakit. Kepalanya celingak-celinguk mencari keberadaan lift umum yang akan membantunya untuk sampai ke lantai atas. Brukk! "Aw... Sakit." ringis Alexa saat tak sengaja ada seorang lelaki menabraknya dari arah lain. "Em maaf, maaf. Saya tidak sengaja, ini salah saya karena jalan terlalu terburu-buru." ujar lelaki itu sambil mengulurkan tangan ingin membantu Alexa. "Oh iya gak papa, ini juga gak terlalu sakit kok." Alexa berdiri dan membersihkan celana jeansnya yang mungkin kotor. Alexa membalasnya dengan senyum, dari semalam mood-nya memang sangat bagus karena bisa ngobrol via inbox dengan lelaki pujaan hatinya. "Kamu beneran gak papa? Takut ada yang patah atau apa gitu? Mumpung ini lagi di rumah sakit, saya bisa ajak kamu periksa." lelaki itu masih saja panik. "Gak papa kok beneran. Saya terima kasih karena sudah membantu, tapi saya ada urusan dan gak bisa lama-lama. Permisi." pamit Alexa menuju lift umum. Lelaki itu hanya mengangguk, kakinya pun berjalan menuju lift juga. Alexa tak sengaja melihat lelaki tadi masuk ke lift khusus anggota dokter yang masuk dalam organisasi atau memiliki jabatan tinggi di rumah sakit ini. Alexa juga pernah naik menggunakan lift itu, tentunya saat bersama Marsel. Alexa cepat-cepat masuk ke dalam lift saat pintu lift terbuka. Banyak sekali yang mau naik ke lantai atas, berbeda dengan lift khusus yang ada di ujung. Jemari wanita cantik itu menari di atas layar ponselnya. Alexa meminta Marsel menunggunya di ruangan Fana, karena Alexa tak tahu di mana ruangan Marsel dan terlalu malas untuk mencarinya. Sesampainya di lantai tiga, saat Alexa baru keluar lift ternyata dari kejauhan sudah ada Marsel yang menunggunya. Alexa berpapasan dengan suster cantik yang tersenyum manis ke arahnya sebelum benar-benar masuk ke dalam lift. *** Marsel langsung bergegas keluar ruangan saat mendapat chat bahwa Alexa sudah sampai di rumah sakit. Dirinya memutuskan menunggu di dekat ruang rontgen. "Hey bro! Ngapain lo di sini?" sapa lelaki yang baru datang dengan tampilan fresh. "Nunggu orang." "Wuih... Siapa? Spesial?" "Bukan urusan lo, mendingan lo langsung ke ruangan dan periksa semua pasien lo." "Eit bentar, gue mau cerita dikit. Di bawah barusan gue gak sengaja nabrak cewek cakep banget. Dia bener-bener tipe gue, cantik sempurna." Marsel melihat satu temannya ini mengekspresikan rasa kagumnya kepada gadis yang baru saja dia lihat. "Lo masih waras kan, Rick?" Marsel takut temannya itu kesurupan jin jomblo karatan. "Ya waraslah, emang lo kira gue gangguan jiwa apa." "Em maaf dok, ini flashdisk dokter ketinggalan di meja saya tadi pas habis copy file." tiba-tiba Brenda datang dan mengulurkan flashdisk kepada Marsel. "Makasih Bren, kamu pulang naik apa?" Marsel memang sedikit perhatian kepada Brenda. Bukan apa-apa, tapi Brenda ini suster asistennya dari lama. Ricky melihat saja Brenda yang terus menatap Marsel tanpa meliriknya sama sekali. Padahal kata Marsel, gadis itu menyukainya. Tapi kenapa Brenda tidak pernah menyapanya. "Sudah ada ojek online menunggu di bawah, dok." "Padahal tadi kalau kamu belum pesan ojol, dokter Ricky siap nganterin kamu pulang sampai rumah. Sampai depan pintu kamar malah kalau perlu." canda Marsel membuat Ricky menggeram kesal. Mata lelaki itu sudah mendelik-delik ke sana sini karena ulah Marsel. "Em sebelumnya makasih dok, tapi gak perlu repot-repot. Saya bisa pulang sendiri." "Iya, pulang sendiri lebih baik. Saya juga banyak kerjaan, gak ada waktu buat anter kamu pulang." sahut Ricky membuat Brenda tersenyum kecut. "Kalau begitu saya pamit dulu dok, permisi." Brenda tersenyum kepada Marsel dan Ricky sebelum benar-benar pergi. "Huh... Sok cantik banget jadi cewek." dengus Ricky yang membuat Marsel menahan tawa. "Apaan ekspresi lo kayak gitu? Gak asik lo." Ricky sudah pergi meninggalkan Marsel yang hanya geleng-geleng kepala. Tak lama setelah kepergian Ricky, Alexa datang dari arah lift. Istrinya itu benar-benar seperti gadis belum bersuami. Dilihat dari dandanannya siapa sangka bahwa Alexa adalah pengantin baru dan ke rumah sakit untuk melakukan suntik KB yang kedua. "Mas, ayo buruan. Sejam lagi aku ada janji sama dospem." Alexa langsung menghampiri Marsel. "Gak akan lama." Marsel langsung meraih jemari Alexa dan menggandengnya menuju ruangan Fana. Mereka berjalan beriringan sampai membuat para suster melirik iri ke arah mereka. Banyak desas-desus yang mengatakan bahwa Alexa gadis urakan dan nakal. Mungkin mereka hanya melihat dari segi penampilan Alexa yang sangat santai. Berbeda dengan istri pertama Marsel yang setiap datang selalu memakai dress dan pakaian mahal juga branded. Berpenampilan modis dan terlihat sebagai istri dari suami berkelas. Berbanding 180° dari Alexa yang sama sekali tak memerhatikan penampilan. "Kamu mau berangkat kuliah, Al?" tanya Fana berbasa-basi supaya suasana menjadi cair. "Iya dok, makanya bawa buku sama laptop segala." cengir Alexa yang baru duduk di kursi depan meja Fana. "Gimana selama sebulan? Menyenangkan?" tanya Fana menggoda. Alexa hanya diam mendengar pertanyaan ambigu dari Fana. Sungguh, Alexa tak mengerti apa yang dimaksud oleh dokter manis pemilik lesuk pipit di depannya. "Maksud saya, selama sebulan ini tidak terjadi hal-hal aneh? Seperti mual, pusing, gatal atau merasakan hal lainnya?" Marsel mencerna baik-baik apa yang dikatakan Fana. Dirinya pun tidak tahu menahu kenapa tiba-tiba Fana bertanya demikian? "Enggak dok, saya baik-baik saja. Memangnya kenapa, dok?" "Syukurlah, berarti kamu cocok pakai KB suntik yang sebulan. Soalnya kalau gak cocok, kamu akan mengalami gejala-gejala seperti tadi yang saya sebutkan. Kalau mengalami hal seperti berikut maka harus diganti cara pencegahannya." "Tapi kalau tidak berarti masih bisa lanjut pakai KB suntik kan, dok?" sambar Marsel. "Bisa dok, untung saja istri dokter ini tawar. Kalau begitu, ayo bisa langsung penyuntikan." Fana berdiri menuju ruang praktiknya. Alexa hanya mengikuti dari belakang, semoga suntikan kali ini tidak membuat pantatnya terasa ngilu seperti bulan kemarin. "Dan aku berada di ruangan ini lagi untuk mengulangi hal yang sama. Yaitu menuruti kemauan suamiku untuk suntik cairan pencegah kehamilan. Sampai kapan aku harus bertemu dokter Fana setiap bulannya?"  ujar Alexa dalam hati sambil memandangi ruang praktik Fana. Hampir tidak ada yang berubah, kecuali tumbuhan air yang sengaja dijadikan bunga hias di atas meja khusus meletakkan tensi dan beberapa alat lainnya. "Sudah siap, Al?" "Siap dok." Alexa menahan rasa ngilu yang akan melanda pantatnya lagi seperti bulan lalu. *** "Kamu udah sarapan, Mas?" mereka kini berada di lantai bawah. Urusan mereka dengan Fana pun sudah selesai. Seperti biasa ketika di umum, Marsel akan bersikap manis kepada Alexa supaya orang luar tidak tahu akan kondisi rumah tangga mereka. "Belum, kamu sendiri udah sarapan?" Marsel terus merangkul bahu Alexa sepanjang jalan. "Udah tadi di rumah. Aku berangkat ke kampus naik ojol aja ya." "Biar saya antar kamu ke kampus." "Gak usah Mas, kamu langsung pulang aja istirahat. Kamu pasti capek kan habis dinas malam." jika Marsel memberikan perhatian palsu, berbeda dengan Alexa yang memberi perhatian tulus. "Ada yang aneh dari kamu." Marsel memang merasakan Alexa sedikit berbeda pagi ini. Alexa tak mau bilang kalau memang dirinya sedang bahagia akut. Siapa lagi yang membuatnya tersenyum tak henti-henti jika bukan lelaki yang Alexa cintai. "Aku lagi seneng aja pagi ini." jawab Alexa jujur. "Kenapa?" "Ya pokoknya seneng aja, Mas." mereka terus berjalan pelan tanpa memehartikan lingkungan sekitar mereka yang terus bergosip ria. "Sel! Marsel!" suara itu membuat langkah kaki Marsel dan Alexa terhenti. Marsel kenal itu suara siapa. Marsel memutar badannya, diikuti oleh Alexa. Ricky mendekati Marsel dengan wajah kaget sekaget kagetnya. Bukan karena di dekat Marsel ada hantu, badut, orang gila atau binatang buas. Tapi yang membuat Ricky kaget adalah gadis yang tak sengaja dia tabrak tadi berada dalam rangkulan Marsel. Ricky sudah bisa menebak kalau gadis itu memiliki hubungan spesial dengan Marsel. Karena setelah kematian Airin empat tahun lalu, Ricky belum pernah melihat Marsel dekat dengan wanita lain. Dan sangat tidak mungkin kalau itu adiknya Marsel, selama dirinya berteman dekat dengan Marsel belum pernah lelaki itu bilang dia memiliki adik perempuan. Yang Ricky ketahui Marsel itu memiliki adik laki-laki yang masih kuliah. "Apaan lo manggil gue? Malah bengong." Marsel heran sendiri kenapa Ricky malah bengong saat sudah berada di depannya. "Oh jadi kamu dokter juga di sini?" sapa Alexa sok akrab. "Kamu kenal sama dia, sayang?" Marsel menoleh ke arah Alexa yang menganggukkan kepalanya berulang kali. "Enggak sih, cuma tadi gak sengaja dokter ini nabrak aku pas aku jalan mau ke lift." Alexa maklum kalau Marsel bersikap mesra kepadanya. Karena Marsel tak mau memiliki image buruk di depan semua warga rumah sakit. Marsel teringat akan cerita Ricky tadi saat mereka berpapasan di dekat ruang rontgen kalau dia bercerita ketemu gadis cantik yang tak sengaja dia tabrak. Pasti yang Ricky maksud itu Alexa. "Oh... Jadi yang lo tabrak tadi tuh istri gue, Rick." tawa Marsel puas bisa melihat wajah kecewa dari Ricky. "Jadi ini istri lo?" Ricky nampak kaget mendengar berita menggemparkan hatinya. Gagal lagi dia punya calon bini cantik. "Iya, kenalin Al, dia ini temen deket saya namanya Ricky." "Dan istri gue ini namanya Alexa, Rick." Marsel mengenalkan satu sama lain di antara Alexa dan Ricky. "Oh gitu, salam kenal deh." mereka saling berjabat tangan. "Buset, tangannya aja mulus banget gini. Apalagi dalemnya, kinclong plus licin kali ya." Bayangan Ricky sudah melayang ke mana-mana sambil terus membatin. "Ehem..." Marsel sengaja berdehem saat melihat Alexa yang merasa tak nyaman karena Ricky tak kunjung melepaskan tangannya dari tangan Alexa. "Eh... Hehehe sorry, kelamaan." cengir Ricky, tangannya kini menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Oh iya, lo ada perlu apa barusan manggil gue?" "Oh itu, gue tadi mau ke kantin buat sarapan. Karena gue lihat lo masih di sini, ya tadinya gue niat mau ngajakin lo sarapan bareng. Eh taunya lo malah sama bini lo." "Sorry, gue gak bisa. Gue harus anterin istri tersayang gue ini ke kampus. Lo sarapan sendiri aja." bukan mengarang alasan, tapi Marsel memang mau mengantar Alexa ke kampusnya. "Ya udah deh, mungkin next time. Gue ke kantin dulu ya." Ricky langsung pamit tanpa menunggu persetujuan dari Marsel dan Alexa. "Ayo saya antar kamu ke kampus." Marsel kembali merangkul Alexa, tapi kali ini di pinggang bukan di bahu. *** Marsel benar-benar mengantar Alexa ke kampus, padahal arah kampus dan rumah itu berbeda. Marsel harus putar balik kalau nanti pulang. "Mas, kamu gak mau mempertimbangkan usul aku yang kemarin?" Alexa menatap Marsel yang fokus menyetir. Marsel diam, tidak menyahut. Entah malas atau apa tapi itu membuat Alexa bingung harus memulainya lagi dari mana. "Kamu gak inget, Mas? Ituloh saran aku yang kemarin pas kita udah selesai ngelakuin hubungan badan." Alexa menggigit bibir bawahnya, takut emosi Marsel meledak. Tapi dirinya juga tak bisa seperti ini terus. "Saya sudah merasa cukup punya dua anak dari Airin. Saya gak perlu keturunan dari kamu." jawab Marsel dingin tanpa memandang ke arah Alexa. "Tapi Mas, setidaknya aku gak harus KB. Aku takut kalau nanti rahim aku kering, Mas. Kamu kan bisa pakai kondom." "Dulu Airin gak pernah membantah apa yang saya katakan. Dia istri yang penurut, jadilah seperti Airin yang selalu membuat saya senang. Pakai kondom itu tidak terasa seenak polos, dan itu tidak membuat saya senang." rahang Marsel sudah mengeras. "Maaf, tapi aku bukan Airin, Mas. Aku beda sama Airin. Jangan samakan kami." tatapan mata Alexa tajam melihat Marsel yang kini sengaja menepikan mobilnya di sisi jalan. "Jangan memancing emosi saya lebih dari ini, Alexa." gertak Marsel, kedua mata elangnya menatap Alexa tajam. Seolah menusuk dan menghujam relung hati Alexa. "Aku hanya ingin menuntut hak-ku sebagai seorang istri, Mas. Apa aku salah?" "Hak apa lagi yang kamu tuntut dari saya? Harusnya kamu bersyukur karena saya masih mau memberimu nafkah batin, bukan hanya lahir." "Nafkah batin? Nafkah batin seperti apa yang kamu maksud, Mas? Kehangatan di atas ranjang? Apa kamu pernah mikir kalau kamu melakukan itu semata-mata hanya karena nafsu kamu yang sudah lama tidak mendapatkan kehangatan dari seorang istri? Apa kamu pernah sadar? Enggak kan?" kekeh Alexa merasa puas bisa memojokkan Marsel. "Tutup mulut kamu! Masih mending saya mau membuat kamu menjadi istri yang seutuhnya. Meski saya gak pernah menganggap kamu istri saya!" "Terus kamu anggap aku apa, Mas? P-e-l-a-c-u-r yang memuaskan hasrat kamu? Hah?" air mata Alexa meluncur tanpa permisi. Gadis itu menangis di depan suaminya. "Kurang lebih seperti itu, bayarannya kamu mendapat fasilitas dan uang bulanan dari saya. Apa pun yang kamu mau juga bisa saya penuhi. Bukankah enak menjadi p-e-l-a-c-u-r untuk satu orang pria? Kamu tidak perlu bergonta-ganti pasangan yang akan membuatmu terkena penyakit mematikan." tawa sinis Marsel tersungging di bibir sensualnya. Alexa menepuk dadanya berulang kali. Di dalam sana rasanya sangat sesak. Bahkan untuk bernafas pun rasanya begitu sulit. Marsel kembali melajukan mobilnya, tujuan utamanya tetap kampus tempat Alexa kuliah. "Aku bukan p-e-l-a-c-u-r, Mas." ujar Alexa sekali lagi penuh penekanan. "Kalau bukan p-e-l-a-c-u-r, apa artinya saat kamu mengangkang untuk saya sampai berkali-kali?" Marsel meremas paha atas Alexa berulang kali sampai Alexa meringis kesakitan dan akhirnya memberanikan diri menyingkirkan tangan Marsel. "Ya ampun Mas, aku ini istri kamu. Sudah kewajiban aku buat menuhin segala kebutuhan kamu. Termasuk kebutuhan biologis kamu itu juga jadi tanggung jawab aku." berulang kali Alexa mengatakan bahwa dirinya adalah seorang istri. "Tapi saya tidak pernah menganggap kamu sebagai istri saya. Istri saya hanya satu, Airin. Dan selama ini saya hanya menganggap kamu sebagai perempuan pemuas nafsu saya dan baby sitter gratis buat kedua buah cinta saya bersama Airin." Tangan Alexa terkepal kuat-kuat. Hatinya sakit mendengar semua ini. Meski dirinya belum mencintai Marsel, tapi ada rasa nyelekit di dalam dadanya mendengar bahwa Marsel hanya menganggapnya sebagai wanita pemuas nafsunya saja. Terdengar seperti wanita malam. "Awas kamu Mas, aku janji bakal bikin kamu jatuh cinta sama aku dan bakalan bikin kamu mohon-mohon cintaku." Janji Alexa dalam hati. Perasaannya sudah terlanjur sakit atas penghinaan dari Marsel. *** Next...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN