Mencekam

2769 Kata
"MAI! MAI! MAIRA!" Andros panik. Sejak bubar dari perkumpulan dengan para ketua BEM itu, ia terus mencari Humaira. Namun sialnya, salah arah. Karena ia mendatangi tempat di mana ia melihat Humaira duduk terakhir kali. Ia tak tahu kalau Humaira sudah berpindah tempat. Bahkan cewek itu sempat mengobrol dengan Hanafi di tempat lain. Kemudian pindah lagi untuk solat Zuhur. Rangga juga panik. Cowok itu tahu benar bagaimana pergerakan polisi. Satu-satunya hal yang bisa lakukan hanya mencoba menelepon Humaira. Terkadang operator mengatakan kalau sibuk dan terkadang tak kunjung diangkat. Ia cemas setengah mati. Saat demo terakhir, ia bisa menyelamatkan Humaira karena memang tak begitu jauh dari pantauannya. Kalau sekarang? Ia bahkan tak melihat batang hidungnya. Adiknya benar-benar tak terdeteksi. "DROS!" Ia berteriak memanggilnya. Andros yang juga sedang panik tak bisa berpikir. Cowok itu juga sedang melihat-lihat sekitar dengan wajah paniknya. "Gue udah nyari ke sebelah sana, Mas. Tapi Maira gak kelihatan." Rangga berhenti sebentar untuk mengatur nafas. Andros terengah-engah menghampirinya. "Kalau gitu, gue nyari ke sana." Andros mengangguk. Keduanya berpencar demi mencari keberadaan Humaira. Saras juga panik. Cewek itu bertemu Hanafi dan terus mengintilinya. Keduanya bersama-sama mencari Humaira. Hanafi tak berani berpencar dengan Saras karena khawatir juga dengan keselamatannya. "Teleponnya udah diangkat?" tanya Hanafi disela-sela berlari. Saras hanya mampu menggelengkan kepalanya. Ia bahkan tak bisa berpikir apapun lagi. Hanafi berhenti sebentar. Ia mengamati sekitar. Namun sialnya, tak terlihat. Padahal andai Hanafi menoleh ke arah kiri lagi, ia akan menemukan Humaira yang sedang bersitegang dengan salah satu polisi. Jaraknya memang terlampau sangat jauh sehingga wajar kalau Hanafi terlewat. "Kalau mau bawa, bawa yang bener! Jangan coba-coba lecehkan saya ya, Pak! Saya catat urusan yang tadi!" kecamnya. "Diam kamu!" Kepalanya malah ditempeleng. Mahasiswa lain sudah tak memerhatikan karena beberapa dari mereka juga ditangkap dan sebagian besar sudah berlari. Humaira ditarik menuju mobil kepolisian. Agha mempercepat langkahnya. Cowok itu hendak mengejar. Sialnya tak terkejar. Karena Humaira keburu dibawa bersama anak-anak lain yang juga tertangkap. Bahkan sudah dinaikkan ke atas mobil secara paksa. Bagai hewan ternak yang dipaksa naik ke atas truk. Tak ada perlakuan manusiawi di sana, mau perempuan atau lelaki. Humaira hanya bisa menahan sabar meski tangannya sudah terkepal. Kalau bisa bela diri, ia pasti sudah menghajarnya. Agha mengatur nafasnya. Baru juga hendak berlari menuju mobil yang mengangkut Humaira, tiba-tiba sebuah mobil ambulan melintas. Agha kaget. Apalagi pintu depan di bagian penumpang terbuka, begitu menoleh, Ferril sudah berada di dalam. Ia sempat terperangah kemudian segera masuk dengan melompat ke dalam ambulan yang berjalan pelan ini. "Pegangan!" Ferril memberi komando. Cowok itu langsung membunyikan sirine lalu menebas jalanan di tengah-tengah kerumunan. Banyak mahasiswa pontang-panting berlari karena takut ditabrak. Sementara Agha hanya bisa berpegangan tanpa sempat memasang seatbelt karena Ferril mengemudikan mobil dengan semena-mena. Kadang oleng ke kiri dan kadang oleng ke kanan persis film action. Percaya lah, Agha tahu kalau hanya Allah yang bisa menyelamatkannya dalam berbagai aksi berbahaya bersama Ferril. "Susul mobil itu aja, Bang!" Ferril menoleh. "Gak nyelametin diri?" "Banyak temen-temen gue di sana." Ferril mengangguk. Memang begitu lah seharusnya. Alhasil, ia menaikkan kecepatan demi mengejar mobil polisi itu. Agha melirik ke arah spion. "Polisi mulai ngejar." Agha mengangguk. Ia mempercepat laju mobilnya tanpa perduli apapun lagi. Agha masih lelah mengatur nafasnya. Ia bahkan sudah tak berpikir apapun lagi. "Sinting!" Ferril memaki. Padahal ini adalah siasat mereka agar bisa mengelabui petugas. Nyatanya malah dikejar. Ia segera menyambung panggilan pada Farrel dan melapor kalau ambulan dikejar. Farrel mengiyakan. Cowok itu sudah menduganya. Maka semua ambulan pasti dikejar. Ferril terus mengemudi. Ia terpaksa mematikan sirine. Kemudian menerobos jalan yang sempat ditutup. Agha hanya bisa pasrah sembari berdoa. Entah berapa nyawa yang ada di dalam tubuhnya kalau masih hidup begitu keluar dari mobil. Setelah berkutat dengan banyak jalan, masuk pula ke jalan-jalan sempit, mereka berhasil menghindar dari kejaran kepolisian. "Lo tahu tujuan mobil tadi ke mana, Bang?" Ferril mengangguk. Ia menunjuk denah yang ternyata sudah menunjuk lokasi di mana keberadaan mobil tadi dan tampik di layar depan mata. "Gue udah naruh chip di sana. Mereka pasti gak ngeh. Polisi g****k!" Agha terkekeh. Sudah tak heran dengan beragam makian yang akan keluar dari mulut Ferril. Beberapa menit kemudian, Ferril menghentikan ambulan yang dibawanya. Mereka turun agak jauh dari kantor rutan yang menjadi tujuan dari mobil yang membawa Humaira dan yang lainnya. "Banyak cewek lagi yang dibawa," keluh Ferril. "Mereka bakal diapain?" "Kalo cewek aman selama belum 24 jam. Kalo lewat dari itu, gak ada yang tahu apa yang terjadi." Agha meneguk ludah dalam-dalam. Selama ini, mereka selalu berhasil menyelamatkan aktivis perempuan. Tapi tadi Humaira benar-benar tak terkawal. Agha juga melihat karena cewek itu sendirian. Ia yakin, dua teman lelakinya pasti sudah kebingungan mencarinya. Namun Agha belum sempat menghubungi. Cowok itu masih harus menghubungi Farrel dan menunggui cowok itu sampai datang. "Masuk aja, Bang?" "Bentar. Telepon Om dulu," tukasnya. Agha terpaksa diam sementara Ferril menelepon Fadli. Ia punya kunci yang bisa menerobos tentang apa yang sebetulnya terjadi di dalam sana. Agha menghela nafas. Kakinya menggetuk-getuk aspal. Benar-benar tak tenang. "Saya bisa turun sendiri! Jangan sentuh!" Agha langung menoleh ke sela-sela pagar. Mereka memang berada di samping rutan itu. Ia mengintip dari sana dan melihat Humaira hendak turun. Dalam hati rasanya ingin tertawa melihat sikap cewek itu yang sama sekali tak takut. "Saya pegangi biar gak jatuh!" Si polisi keras kepala. Humaira berkacak pinggang. "Pak, apapun bentuknya ya, kecuali petugas kesehatan, saya gak mau lah disentuh-sentuh. Bukan mahram jugaa! Dasar modus!" sungutnya yang membuat beberapa mahasiswa lain menyemburkan tawa. Terhibur dengan celotehannya. Lalu cewek itu melompat dengan santainya. "Hati-hati kamu kalau bicara!" "Apaaa?" ia balas menantang. Matanya bahkan melotot. "Bukan Tuhan juga. Kalau Bapak itu Tuhan baru saya takut. Lah ini? Sama-sama manusia. Makanya juga nasi. Ngapain takut coba?" Tangannya terayun hendak menampar namun ditahan beberapa polisi lain. Humaira memeletkan lidah ke arahnya. Hal yang membuat Agha spontan tertawa lalu cowok itu menutup mulutnya. Astaga, gadis itu! Bikin geleng-geleng kepala saja. "Jadi yang ituuu," olok Ferril lantas terkekeh melihat Agha gelagapan. Ia tidak suka pada cewek itu kok. Hanya merasa lucu dengan sikapnya. Disaat seperti ini, kelakuannya absurd luar biasa. Kalau Shiren, aaah Shiren lagi. Gadis itu terlintas di kepalanya begitu saja. Tapi yaa kalau Shiren, ia yakin Shiren sudah menangis bahkan mungkin pingsan. "Bukan, Bang. Tapi gue perlu nyelamatin dia." Ferril hanya terkekeh pelan. Ia hendak memberikan petuahya sebagai lelaki buaya darat tapi mendadak ada pemberitahuan dari Fadli. Lelaki itu mengatakan kalau Ferril bisa masuk ke dalam rutan sekarang. "Lo tunggu di sini sampai tim lain jemput. Jangan ke mana-mana kecuali keadaan genting." Agha mengangguk. Ia paham betul resikonya kalau sampai melanggar. Karena semua akan kacau. Tapi baru saja melangkah, Ferril balik lagi. "Siapa nama cewek tadi?" "Humaira, Bang. Humaira Nasywa." Ferril terkekeh. Ia melanjutkan langkahnya. "Hapal juga nama lengkapnya." Haaaaah. Agha malas meladeni ledekannya. Toh fokusnya bukan perempuan. Ia harus menyelamatkan Humaira dan teman-teman lain yang juga tertangkap. Ia yakin mobil-mobil yang mengangkut mereka, membawa mereka secara terpisah. Tidak mungkin hanya di satu tempat. @@@ Di sekitar Senayan sudah gaduh. Tidak hanya satu halte yang terbakar, tapi juga menyerempet beberapa halte yang ada di dekatnya. Tentu saja dalangnya adalah provokator yang sengaja dibayar oleh aparat pemerintahan. Memainkan opini masyarakat di dalam media massa untuk membuat citra pendemo menjadi buruk adalah tujuan utama. Agar tak ada raktmyat yang percaya dengan orasi-orasi mereka. Dan kini pihak kepolisian sibuk mencari Agha yang orasinya mendadak viral tadi. Tapi mereka kehilangan jejak. Beberapa ahli IT mencoba membobol media massanya. Namun tentu saja Farrel sudah memasang pengaman. Semua anggota keluarganya memiliki sistem yang sama. Ketika akan di-hack muncul pemberitahuan kalau akun yang hendak mereka bobol itu adalah salah satu anggota keluarga konglomerat. Awalnya, para ahli IT itu tidak sadar. Mereka mencoba beberapa kali namun mana dikirimi virus. Tim IT di kantor Regan dan Fadli sedang bekerja keras mempertahankan sistem mereka. Akan sangat berbahaya kalau terbobol. Sampai akhirnya, salah satu petugas tim IT pihak kepolisian melaporkan hal itu pada atasan. Lalu apa katanya? "Mati kita." Hanya itu. Feri sudah bergerak menghubungi pejabat tinggi di kepolisian. Lelaki itu mendadak gelisah. Karena ia sudah mendapat kabar yang tersebar begitu cepat dan bahkan sudah memerintahkan bawahannya untuk memarahi staf yang berani-beraninya membobol akun Agha berulang kali tadi. Dengan terbata-bata ia mengangkat telepon dari Feri. Yaah begitu lah mental pejabat yang lebih takut dengan pemilik uang dari pada pemilik semesta ini. Iya kan? Bahkan mereka tak berani berkutik. Tersungkur-sungkur meminta maaf. Kemudian memaki para anak buahnya begitu telepon ditutup. Perlakuan paling mudah itu yaa dengan melimpahkan kesalahan pada orang lain. "HENTIKAN PENCARIAN!" Tapi percuma. Sebagian besar polisi yang masih baku hantam di lapangan, masih membabi buta memburu para mahasiswa yang tak bersalah. Mereka tak mendengar komando yang sudah berkali-kali memberitahu. Sudah buta dengan iming-iming naik jabatan kalau mereka berhasil menangkap target mereka. Termasuk Agha. Yaa bagi mereka, ini hanya kontestasi untuk mencari muka di hadapan pemimpin. Kalau naik jabatan, gaji juga naik. Nama baik juga naik. Meski merosot imannya dihadapan Tuhan. Tapi mereka mana perduli? Penilaian Tuhan tak bisa dilihat dengan mata tapi penilaian manusia bisa mereka rasakan. Mengerikan ya nurani mereka? Yang bahkan sudah mengaburkan baik dan buruknya. Sementara itu, Shiren terkaget ketika dibangunkan oleh Retno. Gadis itu menguap begitu mengangkat kepalanya. Ia tertidur di atas meja di dalam perpustakaan fakultas. Retno geleng-geleng kepala. Niat hati memang ia sedang menunggu kehadiran Agha. Ia sudah mengirimkan pesan kalau ia perlu bicara dengan lelaki itu. Namun belum dibalas. Padahal ia sudah menunggu selama ini. "Emangnya, kalo demo itu ngapain aja sih?" Ia heran. Apa enaknya demo? Kalau Shiren menonton di televisi, semuanya mengerikan. Karena penuh dengan tindakan anarkisme. Ibunya juga sudah mewanti-wanti agar ia tak ikut hal-hal semacam itu. Katanya merepotkan. Nama baik akan menjadi buruk karena masuk daftar dalam kepolisian. Makanya Shiren ogah ikut organisasi berbau aktivis yang sangat kental. Ia sudah cukup masuk ke dalam tim paduan suara kampus. Suaranya kan serak-serak basah. Meski kalau bernyanyi terdengar sengau tapi masih enak didengar. "Lo kayak gak tahu Agha aja. Tuh lihat aja mobilnya ada di parkiran." Retno menunjuk mobil milik Agha yang berwarna hitam itu. Dulu mobilnya berwarna merah. Kemudian ganti merk dan juga warna menjadi hitam. Tapi terkadang, Shiren juga melihat Agha menbawa mobil berwarna putih. Seperti yang digosipkan teman-teman sekolahnya dulu kalau cowok itu memang anak orang kaya. "Gue nunggu di sini aja," tuturnya. Ia duduk di lobi. Dari sini, ia bisa memantau mobil Agha. Sekaligus jadi tahu kapan lelaki itu pulang. "Yakin nih?? Gue mau balik loh, Ren." Shiren mengangguk. "Lo duluan aja." "Ya udah. Tapi jangan malem-malem ya. Nanti nyokap lo khawatir." Shiren mengangguk. Shiren duduk di sana sejak jam empat sore. Tapi masih belum ada tanda-tanda kemunculan Agha. Mungkin sekitar Magrib. Jadi ia menghibur diri dengan membaca n****+ yang ia bawa sejak pagi. Kemudian tenggelam di dalamnya. Hingga tak sadar kalau waktu sudah berjalan hingga hampir satu jam. Ia kembali melirik ke adah gerbang kampus tapi belum ada tanda-tanda kedatangan Agha. Ia menghela nafas. Laku berinisiatif untuk menghubungi Agha lagi. Namun sia-sia, Agha tak mengangkat teleponnya. Ia mengeck lagi pesan hang ia kirim ada Agha. Pesannya sudah terkirim tapi belum dibaca. Ia menghela nafas lantas menyandarkan punggungnya pada kursi panjang yang ia duduki itu. Berharap Agha segera datang dan ia akan dengan ceria menyambutnya. @@@ "Woi-wooooi! Awaaaaas terbakar! Terbakar! Minggir sanaaaaa! Minggiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiir!" Awalnya berjalan damai dan tentram. Orasi-orasi mahasiswa disambut gencatan semangat mahasiswa-mahasiswa lain. Rasa harus mendarah daging dan rasa cinta akan negeri ini membuat mereka lupa bahwa mereka sedang berdiri di tengah-tengah teriknya matahari. Beberapa kampus memiliki perwakilan yang secara bergantian menyampaikan aspirasi juga orasi. Niat mereka hanya agar suara-suara rakyat tidak mati di tengah-tengah bernasnya demokrasi. Namun sialnya, para pejabat saat ini selalu lupa suara rakyat ketika sudah terpilih. Mereka baru ingat lagi dengan suara rakyat menjelang pemilu. Pahit bukan? Suasana memang semakin mencekam. Walau tidak seperti suasana reformasi puluhan tahun lalu. Tapi ini tetap saja menegangkan. Rasanya hampir putus urat syaraf Rangga demi mencari adik semata wayangnya. "Ada kabar?" Hanafi mencoba mencari bocoran keberadaan Humaira dari teman-teman yang lain. Keringat dingin mengucur seketika setelah mendengar kabar dari seberang. Doni, ketua BEM FMIPA sempat melihat keberadaan Humaira yang dinaikkan petugas ke dalam mobi kepolisian. Hanafi seharusnya sudah menduga. Ia menghela nafas berat. Bingung kalau sudah begini. "Naaf?" Saras menepuk bahunya. Ia bisa melihat raut wajah gugup milik Hanafi. Ini buruk, ia sudah bisa menduganya. Baru juga mau menelepon Rangga, lelaki itu tiba-tiba saja muncul di depan Hanafi. Wajah Hanafi kian gugup. Gagal menjaga adiknya lelaki ini. Meski tidak akan dimarahi. Tapi tetap saja, Hanafi merasa bersalah. Ia tadi lengah. "Dia di mana?" "Ikut salah satu mobil. Bentar, Mas. Saya lagi nungguin gambar mobilnya." Katanya Doni dan teman-teman lain sudah memotret plat mobil jadi mereka akan bisa mencari tahunya. "Berapa platnya?" Begitu dapat, Hanafi langsung meneruskan gambar itu pada Rangga. Rangga segera mengirim foto itu kepada tim IT. Mereka segera berlari lagi, kali ini bersama-sama mencari perlindungan. Tapi Hanafi terpaksa berpisah dulu dengan Rangga. Lelaki itu pamit. Ia harus memprioritaskan teman-temannya. Kalau Humaira sudah ada Rangga. Jadi ia bisa tenang melakukan tugasnya. Setelah itu, Hanafi berlari, ia mengejar Doni yang ia lihat dari kejauhan. Sementara Agha, dari sebuah telepon ia menginstruksikan semua teman-temannya untuk menaiki ambulan. Cowok itu juga menitahkan mereka untuk berlari ke beberapa gedung yang sudah ia kirim gambarnya sebagai tempat evakuasi. Membiarkan tim provokasi yang dikirim oleh pemerintah tetap bertahan di sana. Agha tentu harap-harap cemas. Ia masih menunggu kapan bisa masuk ke dalam rutan untuk menolong teman-temannya. Entah apa yang dilakukan Ferril di dalam sana, ia juga tak tahu. Ia hanya bisa berdoa sampai mobil menjemputnya. Ia dibawa ke sebuah gedung di mana Farrel berada. Kurang dari sepuluh menit sudah sampai. Selama di perjalanan menuju gedung itu, ia juga membuka pintu beberapa kali untuk menumpangi beberapa teman-teman yang ikut berdemo untuk naik. Tak perduli pula kalau sudah emelbihi kapasitas. Agha turun dari mobil. Mereka diturunkan di parkiran basemen. "Kita ke mana?" "Naik ke atas!" serunya. Ia langsung diberikan kartu oleh salah satu petugas kemudian masuk ke dalam lift. "Apa gak masalah kalau kita berlindung di sini." "Gak apa-apa. Paling nanti pihak kepolisian akan berusaha menerobos ke sini." Mereka gugup mendengarnya. Mereka tahu wajah Agha yang sempat viral di media sosial dan tak menyangka kalau akan ditolong. Agha tak membawa satu pun teman-teman yang satu almamater dengannya karena tak bertemu satu pun di antara mereka. Ia justru membawa mahasiswa dari kampus lain. Tapi apapun namanya, terserah. Yang penting ia bisa menolong siapapun. "Gue di 017," ia memberitahu Masayu dan juga Bani yang bergantian meneelponnya. Kedua orang itu menghela nafas lega. Mereka juga sudah mengarahkan teman-teman mereka untuk memasuki gedung-gedung yang ada di sekitar. Mencari tempat berlindung. Meski beberapa tetap tertangkap. Bahkan salah satu petugas mencoba bernegosiasi dengan satpamnya. Sang satpam tidak mau karena berpikir akan membuat kericuhan di dalam. Ia membiarkan mahasiswa masuk tapi tidak dengan pihak kepolisian. Meski sempat adu perdebatan. "Pak! Kalau Bapak berani masuk, saya lapor atasan saya!" Begitu ancamnya. Si polisi juga berkata hal yang sama. Lucu ya? Tapi polisi masih kalah dengan pemilik gedung ini. Mana berani? Akhirnya mereka dipukul mundur. Mahasiswa mulai berani bersorak. Mengejek dari dalam gedung. "Makan gaji buta," nyinyir sang satpam yang tentu saja disambut tepukan bangga dari para mahasiswa yang sudah ia lindungi. "Bang!" Akhirnya Agha bertemu Farrel. Agha menceritakan bagaimana situasinya. Ia masih menunggu kabar dari teman-temannya yang entah berlari ke mana. Mereka pontang-panting semua. Ya begini lah ketika orang-orang yang harusnya mengayomi dan melindungi masyarakat dijadikan samsak untuk menghajar orang-orang yanh semestinya dilindungi. Padahal sejatinya, mereka itu dibayar oleh orang-orang yang mereka kejar hari ini. Agha melihat laptop salah satu tim IT Farrel. Data penangkapan mahasiswa yang terus bertambah. Tentu saja Farrel dan yang lain tak bisa menyelamatkan semuanya. Akan terlalu dicurigai. Mereka sudah bergerak melindungi satu orang, yaitu Agha. Maka hanya bisa menyelamatkan satu orang lain. Ferril menjatuhkan pilihan pada perempuan yang disebutkan namanya oleh Agha tadi. Menurut Ferril, Agha mungkin tertarik pada cewek itu. Meski itu hanya penilaian sepihaknya saja. Jadi cowok itu menitahkan salah satu anak buahnya untuk menghubungi salah stau keluarga Humaira. Kebetulan sekali, panggilan masuk yang terus beruntung menjadi depan bagi tim IT untuk mengecek isi ponsel Humaira dari jauh. Walau ponselnya sudah disita pihak kepolisian, mereka masih bisa bergerak. Sampai akhirnya pilihan jatuh pada Rangga setelah mengecek semua berkas yang muncul di layar dalam waktu sepersekian detik saja. Ferril meneguk ludah ketika melihat semua data itu di dalam mobil. Meski hanya sekilas. Namun ia melupakan hal itu. Kemudian beralih untuk menghubungi Rangga. Memintanya bertemu di salah satu pos dekat rutan. Tapi ternyata, Rangga sudah bergerak lebih dulu. Cowok itu sudah mendapat hasil dari tim IT mereka di mana keberadaan Humaira. Teknologi semakin canggih hingga dapat digunakan dalam saat-saat seperti ini. Meski negatifnya, bisa saja di-hack oleh pihak lawan. @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN