"Gimana?" tanya Retno. Ia penasaran akan hasilnya. Gadis itu menghela nafas. Wajahnya tampak kusut. "Dia gak mau? Atau gimana?"
Shiren makin sulit mengatakannya. Gadis itu diam. Suasana kelas belum begitu ramai siang ini. Shiren masih diam. Masih memikirkan apa yang terjadi tadi. Ia benar-benar tak bersemangat. Lantas apa kata Agha?
"Bagiku kalau ngomongin perasaan itu sama aja kayak ngomongin komitmen, Ren."
Agha lama terdiam usai mendengar pertanyaan dari Shiren. Ia tahu kalau Shiren mungkin menanyakan kabar serius mendekati kelulusan. Gadis itu akan mulai magang sekaligus penelitian beberapa bulan lagi. Kalau Agha? Agha masih ada beberapa mata kuliah yang memang sengaja belum ia ambil. Tahu kenapa? Karena ia sibuk berorganisasi. Jadi tak begitu memburu cepat lulus. Ia sengaja agak menunda apalagi ketika berpikir akan mengejar jabatan sebagai ketua BEM universitas. Kalau lolos, ia akan menjabat satu tahun ke depan. Sembari menjabat itu, ia juga akan menyelesaikan perkuliahannya di semester genap nanti. Setelah itu baru menyusun proposal. Urusan magang? Agha sudah menjalaninya sejak semester lalu. Ia bisa langsung lompat untuk penelitian nanti. Bahkan semester depan, ia sudah disuruh untuk mengerjakan proposal penelitian. Agha mungkin akan menyelesaikannya dengan santai.
"Kamu tahu sendiri, kesibukan di kampus bagaimana. Aku masih mengejar banyak target yang aku gapai. Salah satunya yaa kalau lolos dan terpilih menjadi ketua BEM universitas maka fokusku akan ke sana. Aku harus menyelesaikan tanggung jawabku setahun ke depan di sana. Kalau kamu menanyakan soal komitmen....."
Agha menarik nafas dalam. Ucapannya sungguh berat. Karena jujur saja, dulu mungkin ia sering membicarakan nikah muda. Tapi setelah ia pikir lagi, ia tak perlu menikah semuda Ando. Menikah pada usia 23 atau 24 tahun bukan kah juga termasuk menikah muda? Meskipun ini baru sekedar rencananya saja. Kan tak ada yang tahu bagaimana nasib seseorang ke depannya. Hanya Allah yang tahu.
"Itu sesuatu yang tidak bisa aku berikan saat ini."
Shiren kecewa saat mendengar itu. Retno mengamati muka sedihnya. Tahu kalau terjadi sesuatu yang di luar dugaan. Retno pikir, Agha akan serius menilik cowok itu memang sangat visioner dalam hidupnya.
"Emangnya lo gak ngomong ke Agha gimana situasinya?"
Shiren menggeleng.
"Harusnya lo ngomong, Ren!"
Retno gemas sendiri.
"Nyokap lo, bokap lo dan keluarga lo sudah mendorong-dorong lo. Padahal mereka tahu kalau lo tuh masih kuliah. Tapi--"
"Tapi mereka tahu kalau gue hanya tinggal nyusun semester depan. Makanya gak begitu menjadi masalah."
Shiren pusing sendiri. Sebetulnya pendidikan bagi perempuan di keluarganya memang tak begitu diharuskan. Karena bagi kedua orangtuanya atau pun keluarga yang lain, tempat perempuan ya di rumah. Dan lagi, sebagian besar keluarganya kan pengusaha. Banyak memang perempuan di keluarganya yang berkarir sebagai pengusaha bukan sepertinya yang hendak menjadi dokter. Niat Shiren menjadi dokter itu yaa karena ia suka dengan anak-anak. Saat Agha ikut masuk ke sini, ia tentu senang sekali. Selain karena ia juga tahu kalau Agha juga ingin menjadi dokter. Bukan karenanya tentu saja. Agha punya alasan sendiri kenapa ia ingin menjadi dokter. Barangkali meneruskan mimpi Umminya. Umminya kan berhenti bekerja setelah memiliki beberapa anak. Kelimpungan mengurusnya. Kalau laki-laki kan tidak mengurus anak di rumah. Itu urusan perempuan. Kalau sudah pulang bekerja baru laki-laki ikut mengurus anak-anak.
"Terus lo gak nanya kapan Agha niat memikirkan komitmen itu."
Shiren menghela nafas. "Masih belum tahu katanya."
"Iih kok Agha gitu sih?"
Shiren hanya menutup wajahnya. Ia juga tak paham. Ia tak pernah mengerti bagaimana alur pikiran Agha.
"Ngomong lagi aja gih. Yang lebih jujur. Lo bilang aja alasan kenapa lo tiba-tiba nanyain perasaan dia ke elo. Biar dia tahu. Gue yakin, Agha pasti akan memeprtimbangkan itu."
"Kalau enggak?"
Retno meneguk ludahnya. Ia tak punya bayangan akan ditolak. Tapi ia pikir kalau Agha pasti mau berkomitmen dengan Shiren lalu memperjuangkan cinta mereka. Bagaimana pun keduanya memiliki perasaan yang sama kan? Jadi kenapa tidak diperjuangkan?
"Lo harus coba dulu," Retno menyemangatinya. "Jangan menyerah dulu."
Shiren hanya menatap lurus ke depan.
"Lo tahu, Agha pasti mampu ngehidupin lo. Dia anak konglomerat, setidaknya itu bisa jadi jaminan di depan keluarga lo."
"Nyokap gue gak perduli itu, No. Nasabnya yang lebih penting bagi mereka. Seperti yang lo denger dari gue. Kemuliaan yang diagungkan. Gue juga gak paham. Bagi gue juga semua manusia sama."
Retno menepuk-nepuk bahunya. Ia bersimpati kepadanya.
"Padahal kalo dipikir-pikir, bukan kah perempuan yang mengandung? Dalam ilmu biologi juga bilang kalau menurun secara genetis juga dari perempuan. Bukan hanya laki-laki. Dan lagi, mana bisa laki-laki hamil?"
Shiren tak begitu menanggapinya. Baginya, kalau urusan dengan tradisi itu adalah hal yang sangat mustahil didobrak dengan ilmu apapun. Karena di dalam agama Islam juga jelas, kalau mau mencari pasangan hidup ya patokannya adalah agama. Itu yang dijadikan patokan utamanya. Bukan nasab. Karena keimanan itu tak bisa diturunkan. Mau bukti?
Abu Lahab. Bukan kah beliau itu adalah paman Nabi Muhammad? Tapi sifatnya sangat jahat bahkan memusuhi keponakannya sendiri. Akibat sifat jahatnya itu, Abu Lahab dihinakan oleh Allah saat meninggal dunia. Bahkan dikatakan bahwa Abu Lahab menjadi salah satu orang yang kekal berada di neraka. Iya kan?
@@@
"Agha!"
Retno memanggil. Ia baru keluar dari kelas dan Agha juga keluar dari kelas di sebelah mereka. Cowok itu menoleh dan menghentikan langkah. Retno menarik-narik lengan Shiren agar gadis itu mau berbicara dengan Agha. Agha hanya mengerutkan kening. Bingung dengan keduanya.
"Tuh ada yang mau ngomong!" tuturnya. "Sekalian anterin pulang ya, Ghaaa! Byeee!"
Retno kabur usai berhasil menarik Shiren hingga berdiri ke depan Agha. Agha berdeham. Suasana masih agak ramai karena banyak yang baru bubar dari kelas dan satu per satu mulai berjalan menuju aprkiran atau gerbang kampus.
"Mau ngomong apa?" tanya Agha begitu agak lengang. Shiren menggigit bibir. Obrolan tadi masih terasa belum cukup.
Ia melirik ke arah Agha kemudian mengalihkan tatapannya. "Mau ngobrol di tempat lain?"
"Di mana?"
"Lobi aja."
Agha mengangguk. Cowok itu memimpin jalan lebih dulu. Alasan kenapa ia yang berjalan lebih dulu? Karena Agha selalu mengingat nasehat dari Opanya.
"Perempuan itu tidak berjalan didepan laki-laki. Tujuannya? Ya untuk menjaga kehormatan perempuan itu sendiri. Maka jika seandainya terjadi perjalanan antara laki-laki dan perempuan, adab yang benar ialah ia berjalan di belakang laki-laki. Sebab, saat laki-laki berjalan dibelakang wanita, maka tidak bisa dipungkiri, ia akan melihat lekuk tubuh wanita, dan akan memperhatikan bagaimana cara jalannya. Jika sudah seperti itu, maka kemungkinan untuk terjadi kemaksiatan selanjutnya. Wal'iyadzu billah."
Dan itu memang benar. Godaannya sungguh dahsyat. Agha paham itu maka ia mencoba menerapkannya. Meski ia merasa kalau ilmunya masih cetek.
"Mau ngomong apa?"
Shiren duduk di ujung kursi dan Agha juga duduk di ujung kursi yang sama. Di bangku panjang yang ada di lobi. Agha mengalihkan tatapannya ke depan sementara Shiren menunduk.
"Aku nanyain soal tadi itu ada alasannya."
Agha hanya berdeham sebagai pertanda kalau ia menyimak ucapan Shiren. Tapi karena Shiren masih diam akhirnya ia angkat bicara. "Lalu?"
"Kamu mau tanya alasannya?"
Agha berdeham mengiyakan. "Coba jelasin aja."
Shiren mengangguk. Ia mengaitkan jemari-jemari di kedua tangannya. Gugup.
"Kamu pernah denger tradisi keturunan Arab yang seringkali menikah dengan sesama keturunan Arab?"
"Lalu?"
Agha tak ada firasat apapun. Ia malah merasakan ponselnya yang berada disaku celana bergetar. Berhubung tak enak menginterupsi ucapan Shiren, ia biarkan saja.
"Keluargaku menganut sistem itu. Jadi....."
"Jadi?"
Agha masih tak punya bayangan. Ia tak begitu tahu dunia Arab. Meski teman-teman bisnis Opa banyak yang turunan Arab. Namun urusan tradisi dan bisnis kan berbeda jauh. Dan lagi, ia jelas tak punya turunan Arab. Keluarganya turunan Melayu dari Opa Adhi. Sementara ia sendiri lebih banyak berdarah Jawa dari Abinya.
"Orangtuaku ingin aku menikah dengan sesama turunan Arab."
Aaah. Agha mengangguk-angguk. Ia sempat membeku sesaat. Tapi Shiren menangis reaksinya hanya berupa anggukan kepala. "Lalu?"
Shiren menghela nafas. Ia menatap ke depan. "Aku sudah didesak untuk menikah karena kuliahku hampir selesai."
Ooooh. Agha benar-benar baru ngeh dengan ujung pembicaraan ini. Apalagi ketika ia memutar obrolan dengan Shiren tadi.
"Gimana menurutmu?"
"Kamu sendiri bagaimana?"
Shiren mendesah gelisah. Ia jelas sulit menerima hal ini. Gimana ya? Rasanya sedih dan pilu saja.
"Maka itu, aku nanya kamu. Perasaan kamu ke aku."
Shiren hampir menangis mengatakannya. Agha menoleh. Ia kehilangan kata-katanya melihat Shiren segelisah itu. Bagi Shiren, persoalan ini sangat rumit. Ia tak bisa menentukannya dengan cepat. Apalagi urusan menikah.
"Dengan kata lain, kamu bertanya kesediaanku?"
Shiren mengangguk tanpa berani menatap Agha yang tampak masih terpaku. Lelaki itu mengalihkan tatapannya lurus ke depan. Kacau seketika.
"Kalau kamu masih ada perasaan sama aku--"
"Kamu mau menentang mereka?"
Shiren diam. Ia tak punya rencana selain membicarakan baik-baik dengan ibunya. Meski tak yakin juga. Berkaca dari apa yang dialami kakaknya, itu memang terasa mustahil.
"Itu butuh pemikiran panjang, Ren. Aku gak bisa ngasih jawaban begitu saja."
Agha jujur. Ia tak mungkin terburu-buru hanya karena cinta kan?
Shiren sedih mendengarnya. Ia tahu ini memang tidak bisa diputuskan secara cepat. Tapi Shiren berpikir kalau lelaki ini memang masih mencintainya, masih memiliki perasaan yang sama dengannya, masa tak mau mengiyakan keinginannya? Shiren mengajak untuk memperjuangkan cinta mereka. Tapi ternyata pikiran ini tak sejalan dengan pikiran Agha. Cowok itu larut dalam pikiran panjang yang jelas ini sangat menyulitkan.
"Iih, Ghaaa! Dari tadi gue telponin, gue cariin! Ternyata elo--"
Ia tak meneruskan kata-katanya saat tersadar kalau Agha tidak sendirian duduk di bangku panjang itu. Agha beranjak lantas berjalan menuju arah datangnya Masayu. Ia meminta maaf karena sempat mengabaikan. Agha berjalan menjauh. Shiren menatapnya dengan sedih.
"Kenapa lo nyari gue?"
"Nah!" Masayu hampir lupa dengan tujuannya. Ia membuka layar ponselnya lalu menunjukan pesan dari Amri. "Dia ngajakin ketemu. Semakin cepat semakin baik."
"Mau ketemu sekarang?"
Masayu terbatuk-batuk mendengarnya. "Gak sek--"
"Kan katanya harus cepet," Agha melirik jam tangannya. Sejujurnya pikirannya sedang kacau gara-gara pembicaraan dengan Shiren tadi. Tapi ia fokus pada prioritasnya sekarang. "Masih jam empat."
Masayu berkacak pinggang. "Lo mau sampe Bekasi jam berapa heh?"
Agha terkekeh. "Dicoba aja. Urusan lo nanti gampang. Kita cari cewek lagi aja. Bentar, gue hubungi yang lain."
Masayu mendengus mendengarnya. Agha memang begini kalau sudah fokus pada pekerjaannya kadang tak perduli waktu. Meski Masayu juga bertanya-tanya. Ada apa dengannya dan Shiren? Gadis itu tampak duduk di bangku sendirian sambil melirik ke arah lain. Cemburu? Sudah biasa. Rasanya juga sama, pahit. Tapi mau bagaimana lagi? Sudah nasibnya cinta dalam diam.
"Gue telpon dulu si Amri deh."
Lebih baik ia mengambil keputusan itu. Dari pad a mereka gegabah ke sana lalu ternyata Amri tidak ada? Bekasi itu bukannya dekat. Masayu hanya malas dengan perjalanan panjangnya. Pasti macet pula di jam segini. Masayu mengucap salam begitu teleponnya diangkat.
"Kira-kira lo hari ini ada di rumah gak?" tanyanya. Ia bertanya langsung.
"Sorry, gue lagi gak di Bekasi. Besok aja kalo emang mau ke rumah."
"Oke. Besok lo ada di rumah jam berapa?"
"Dari pagi juga bisa."
Masayu mengiyakan. Ia menutup telepon dan hampir menjitak kepala Agha dengan ponselnya. Tangannya baru terayun dan Agha reflek menghindar sambil tertawa.
"Iiissh! Untung kan gak berangkat. Apa gue bilang? Jangan terlalu terburu-buru. Orangnya aja belum tentu ada," omelnya.
Agha terkekeh. "Ya udah. Ntar malam kita rembukan dulu sama yang lain."
Masayu mengangguk. Ia setuju akan hal itu.
"Lo ada hubungi temennya si Bani gak?"
"Humaira?"
Agha mengangguk. "Cerita mungkin sama lo?"
"Enggak sih. Gak kenal juga. Nanti mungkin kalo gue ketemu sama dia. Kenapa? Dia jadi gabung?"
"Justru gue mau nanya itu."
Masayu menghembus nafas dari hidungnya. Tingkah lucunya membuat Agha tertawa.
"Ya udah deh. Gitu aja kan? Gue mau balik nih."
"Balik? Sendiri?"
Masayu mengangguk. Ia sudah bersiap-siap untuk berjalan.
"Bareng gue aja deh," tuturnya. Hal yang membuat Masayu membalik badan seketika. "Sekalian gue anterin Shiren."
Aaaaah. Masayu menghela nafas. Kecewa mendengarnya. Ia kira akan diantar sendirian. Hahaha. Meski ia tahu, itu hampir mustahil juga. Kecuali jika ada hal yang mendesak.
@@@
"Titip Maira ya, Naf. Nanti pulangnya biar Mas aja yang jemput Maira."
Hanafi mengangguk. Ia berpamitan pada Rangga sembari mengucapkan salam lalu berjalan menuju mobilnya. Maira sudah masuk ke dalam mobil lebih dulu. Ia maklum dengan sikap Rangga yang seperti ini. Lelaki itu tentu saja menjaga adiknya. Tak ada jaminan sekalipun lelaki itu baik. Karena yang namanya setan itu selalu ada di mana-mana.
"Udah?" tanya Hanafi usai melihat Humaira memasang seatbelt. Humaira mengangguk. Ia siap menyalakan mesin mobilnya. Mereka akan segera berangkat.
"Nyokap lo, balik dari Jepang atau dari mana?" tanyanya begitu mobil telah berjalan. Ia melirik sedikit ke arah Hanafi. Hanafi selalu keren. Mungkin karena tampilannya selalu rapi. Kalau berada di luar kampus, cowok itu sama rapinya. Seperti tak ada bedanya. Meski hari ini dengan kemeja biru laut dan celana putih. Yaya, selalu ganteng kan? Hihihi.
Maira menahan senyumannya. Ia mengalihkan tatapannya ke depan. Kalau membicarakan wajah Hanafi yang enak dipandang itu, semua cewek-cewek di fakultasnya juga akan setuju. Ya kan?
"Nyokap dari Perancis."
Aaaah. Humaira mengangguk-angguk. Setahunya, ibu Hanafi ini suka pindah-pindah kantor. Kadang ditempati di Tiongkok lalu tahu-tahu sudah pindah ke beberapa negara lain. Hanafi juga kerap ke luar negeri. Yeah, menyusul ibunya dan adiknya. Adiknya kan bersekolah di luar negeri. Mereka satu keluarga tapi hidup terpisah. Bisa kuat begitu ya? Nah itulah yang membuat Maira salut. Ia dulu menangis meninggalkan ayahnya di Jogja sana. Tapi setidaknya ada masnya di Jakarta. Kebetulan rumah mereka juga tak begitu jauh kan dari kampusnya di UI, Depok.
"Rencananya Mama akan pindah ke Barca."
Aaaah. Pindah lagi. Pantas saja, pikirnya. Tapi ibunya Hanafi memang memiliki pekerjaan yang keren. Ia kurang tahu apa posisinya. Yang jelas, jabatannya sudah cukup tinggi di perusahaan besar yang afiliasinya ada di mana-mana.
"Hanan juga akan ikut pindah."
"Ke Barca? Bukannya dia lagi sekolah di Jepang ya?"
Hanafi berdeham. Justru ini ada yang ingin ia sampaikan pada Maira. Namun ia masih merangkai kata-katanya. Bagaimana lah ia harus membicarakan ini?
"Ya tapi hampir selesai. Mungkin nanti akan kuliah di Barca atau negara-negara di sekitarnya."
Oooh. Humaira baru tahu. "Ninggalin lo sendirian lagi di Indonesia?"
Hanafi berdeham mendengarnya. Ia melirik Humaira. Mungkin Humaira masih belum paham arah pembicaraannya. Ia memang seolah memberi kode. Bukan kah mereka sudah hampir selesai? Ahh maksudnya Hanafi. Kalau Maira jelas masih berkutat dengan perkuliahan.
"Bulan depan gue udah dijadwalkan untuk sidang skripsi."
Maira menoleh. Cepat sekali, pikirnya. Ya tapi Hanafi pelru mengejar tanggal yudisium agar tak ketinggalan wisuda terdekat pada Febuari tahun depan. "Tanggal berapa?"
"Tujuh."
"Gak lama lagi ya."
Hanafi mengangguk. Ia melirik Maira disela-sela fokusnya melihat jalanan. "Dateng ya?"
"Insya Allah, Hanaf."
Hanafi tersenyum tipis. "Rencana liburan nanti mau ke mana?"
"Gak bisa ke mana-mana kan mau magang."
"Ah ya, lupa." Ia melirik lagi ke arah Humaira. "Abis magang langsung penelitian?"
"Ya. Tapi kayaknya sekalian penelitian. Jadi semester depan cuma fokus nyelesain skripsi aja."
Hanafi mengangguk-angguk. Senang mendengarnya. Ia menggetuk jemarinya ke setiran mobil. Tampak menimbang-nimbang untuk memberitahu sesuatu.
"Abis wisuda......," ia menahannya. Rasanya sulit sekali untuk mengatakannya. Humaira menoleh. Tentu saja menunggu kata-katanya. "Gue akan ikut Mama sama Hanan ke Barca."
Aaaah. Maira mencoba tersenyum. Ia memperbaiki ekspresi wajahnya dalam waktu singkat. "Bagus dong. Biar gak kepisah lagi."
Ia berpikir seperti itu. Karena selama ini ia melihat Hanafi sendirian di Jakarta. Pasti terasa sepi sekali.
"Kita bakal jual rumah yang di sini."
"Hah?"
Humaira terkaget. Hanafi mengangguk dengan senyuman tipis yang agak dipaksakan. Ya ini yang hendak ia sampaikan bahwa ada kemungkinan ia tidak akan tinggal lebih lama lagi di Indonesia. Akan lebih menetap di luar sana karena menemani ibunya.
"Gue akan nyari kerja di negara-negara sekitar Spanyol kalo gak dapet di Spanyol dan mungkin lanjut kuliah lagi di sana."
Aaaah. Humaira tak tahu harus bereaksi apa karena tiba-tiba merasa sedih. Ia menarik nafas dalam, mencoba menguatkan diri. Hanafi juga masih mengatur hatinya. Ia ragu untuk mengatakan ini pada Humaira. Tapi Saras bilang untuk jujur saja biar Humaira tahu kalau beberapa bulan terakhir ini, waktu kebersamaan mereka akan sangat berharga. Saras ada benarnya. Namun di satu sisi ya dilematis. Meski Maira tampak menunjukkan wajah yang baik-baik saja, sesungguhnya ini masih menahan diri. Belum tentu pada menit-menit selanjutnya ia dapat bertahan.
"Gak akan balik ke Indonesia?"
"Kurang lebih begitu."
Humaira mengangguk-angguk lantas memalingkan wajahnya. Ia menarik nafas dalam. Menahan mata yang terasa ingin berair.
@@@