"Akan gue pertimbangkan."
Itu yang menjadi jawaban Maira. Memang masih ambigu tapi setidaknya gadis itu tidak menolak mentah-mentah seperti awal pembicaraan mereka. Melihat bagaimana pertanyaan yang tajam itu keluar dari mulut Maira juga caranya menegaskan kata-kata pada Agha, Agha menjadi tertarik dengan pola pikirnya. Ini tidak ada hubungannya dengan hati. Agha juga membatasi hal itu. Toh ia juga sudah memiliki perempuan lain dihatinya.
"Eh-oh, Agha."
Seseorang tergagap. Agha yang sibuk berpikir bahkan hanya menatap lurus jalanan, tiba-tiba menghentikan langkah. Ia hampir menabrak perempuan gugup yang bahkan tangannya masih gemetar memegang buku.
"Eh, Shiren," tuturnya lantas tersenyum lebar. Mungkin lebih lebar dibandingkan dengan gambar matahari yang sering digambar Adel dalam buku gambarnya. "Pagi," sapanya.
Gadis itu berdeham dan tampak melirik ke arah belakang. Kemudian berjalan melewati Agha sambil menunduk dan menghindari tatapan lelaki itu. Kening Agha berkerut. Lelaki itu menatapnya heran kemudian mengendikkan bahu. Agha melanjutkan langkahnya tanpa tahu kalau Shiren melihat ke arahnya sebelum lanjut melangkah. Gadis itu menghela nafas. Ada hal yang sebetulnya ingin ia bicarakan dengan Agha. Tapi ia bingung bagaimana memulainya. Sementara itu, Agha berjalan menuju ruang BEM fakultas dan menyendiri di sana selama.beberapa jam. Ia membuat banyak program kerja untuk nanti didiskusikan bersama teman-teman yang akan menjadi perangkat BEM bersamanya.
Menjelang jam sebelas siang, ia baru keluar dan langsung berjalan menuju mushola. Ada mushola di ujung fakultas yang selalu sepi karena jarang ada anak-anak yang datang ke sini. Letaknya begitu jauh dari keramaian apalagi dijam-jam siang seperti ini. Agha mengeluarkan ponselnya kemudian memasang headset. Ia mencoba menelepon seseorang dengan sambungan internet. Butuh dua kali hingga akhirnya batu diangkat. Seorang laki-laki muncul dengan wajah basah di sana. Siapa? Hamas.
"Jam berapa di sana, Bang?" tanyanya usai tertawa kecil.
Hamas mengusap wajahnya. Ia memang menyempatkan waktu untuk mengobrol dengan Agha sebelum sibuk dengan urusan kuliah.
"Masih jam tiga pagi. Gimana urusan perangkat BEM?"
Agha terkekeh. "Bener kata lo, Bang. Emang perlu lebih banyak partner dari yang di sana. Gue juga udah hubungi beberapa tim kampanye ketua BEM yang akan lengser."
Hamas menjentikkan jari. Koneksivitas itu memang hal terpenting dalam dunia politik. Tapi yang perlu diingat adalah tidak perlu ada pertukaran keharaman di dalamnya. Politik itu sejatinya bersih. Yang membuatnya kotor justru orang-orang yang terlibat di dalamnya.
"Alhamdulillah. Kalau koneksi bagus, kerjaan lo selain menyusun program ya intai proker lawan dan timnya."
Agha terkekeh.
"Cuma untuk sekedar tahu perkembangannya. Syukur-syukur kalau bisa melibas kekurangannya. Ini hal yang lazim dilakukan. Dalam pemilihan pejabat pemerintahan, biasanya lebih kotor."
Agha tertawa. Ia juga tahu itu. "Selain itu, ada saran?"
"Proker sudah sampai mana?"
"Ada beberapa yang gue jadiin prioritas, Bang. Tapi sejauh ini masih belum menentukan mana yang bener-bener bisa diunggulkan dalam kampanye."
"Kalo saran gue, seleksi ketat proker BEM tahun sekarang. Cari kekurangan dan kelemahan. Kalau ada yang bagus, bisa dimasukkan ke dalam proker untuk kampanye. Istilahnya, kita evaluasi pekerjaan orang lain. Menurut gue itu cukup."
Agha mengangguk-angguk. Ia mencatat cepat di layar ponselnya.
"Sorry, Gha. Gue tinggal tidur lagi nih. Belum sempat tidur soalnya."
Agha tertawa. "Oke. Mendingan lo istirahat, Bang. Thanks bantuannya," ucapnya tulus lantas membiarkan Hamas mematikan sambungan telepon.
@@@
Sebagai seseorang yang menjabat sebagai ketua BEM fakultas, Agha paham betul kalau pengalaman dalam mencalonkan ini tidak akan berbeda jauh. Namun ia juga tidak mau terlalu percaya diri. Pasalnya, anak-anak kedokteran jarang unjuk diri di hadapan anak-anak fakultas lain di kampus yang sama. Alasannya?
Pertama, lokasi kuliah untuk jurusan mereka berpusat di kawasan Salemba bukan Depok. Sementara itu, populasi mahasiswa UI kebanyakan di Depok. Dari sini, ia sudah kalah jumlah populasi pemilih kan?
Kedua, kebanyakan anak kedokteran sibuk mengejar mata kuliah. Yah, tahu sendiri lah, untuk bisa masuk ke dalam jurusan ini susah yaa keluarnya juga susah. Selama proses perkuliahan juga susah. Jadi memang tidak terlalu banyak anak kedokteran yang tertarik dalam dunia perpolitikan. Maksudnya, punya ambisme untuk mencalonkan diri seperti Agha. Bahkan Agha bisa dihitung sebagai calon ketua BEM Universitas dari Fakultas Kedokteran setelah sekian dekade kampus ini berdiri. Kebanyakan calon ketua BEM sebelumnya tentu saja didominasi anak-anak politik dari FISIP (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik), Hukum, MIPA (Matematikan dan Ilmu Pengetahuan Alam), FEB (Fakultas Ekonomi dan Bisnis) dan juga FIB (Fakultas Ilmu Budaya). Jadi, pencalonan Agha sebagai calon ketua BEM dari Fakultas Kedokteran adalah hal yang langka.
Ketiga, sekalipun Agha berstatus sebagai ketua BEM Fakultas Kedokteran, wajahnya memang kurang familiar diantara mahasiswa lain yang berkuliah di Depok. Meski tampangnya bisa menjadi daya tarik tersendiri. Wajah teduh, ramah, gaya yang keren dan stylist mungkin bisa menjual dan menarik beberapa pemilih yang tidak terlalu perduli dengan siapa yang menjadi ketua BEM selanjutnya. Namun sebagai besar pemilih pasti tidak menilai dari ketampanan yang Agha miliki.
"Agha!" panggil seseorang. Agha yang sedang duduk di kantin pun menoleh kemudian mengangkat tangan. Tak lama, seorang gadis duduk di dekatnya sambil terkikik-kikik. "Gue dapat calon wakil buat elo!" serunya dengan senang.
Lalu gadis itu mengeluarkan ponselnya. Tak kama, muncul profil calon wakil yang dimaksud. "Namanya Amri, dia mahasiswa top FEB. You know? Pengikutnya di berbagai media sosial melibas semua mahasiswa ganteng se-UI termasuk lo. Tampang? Emang gak seganteng lo tapi meneduhkan. Aura kesolehan yang membuat semua wanita terpana. Dan lagi, dia anak kesayangan prof ekonomi yang sangat lo kenal sering wara-wiri di televisi," ia bercerita heboh.
"Terus?"
Agha belum melihat sisi menariknya. Sejujurnya ia juga sudah memiliki calon wakil. Namun hal ini masih harus dipikirkan secara matang. Profil orang yang akan menjadi wakilnya juga akan mempengaruhi saat kampanye nanti.
"Liat nih video. Dia menang debat di acara The Hottest Student University di Seoul. Videonya bahkan ditonton Lima puluh juta kali. Komentar-komentar sebagian besar didominasi orang Indonesia juga anak-anak kampus kita."
"Terus?"
Masayu menjentikkan jari dengan wajah riangnya. "Dia gak cuma populer dengan imejnya tapi juga cadas otaknya."
Agha mengangguk-angguk. "Terus?"
"Heish!"
Dengan seenaknya ia menoyor kepala Agha. Agha terkekeh. Gadis yang terkenal sengklek dan rada-rada ini sebetulnya ukhti yang solehah. Tapi tangannya suka khilaf.
"Terakhir, dia gak pernah punya pengalaman menjabat apapun dalam organisasi. Si anak kutu buku yang gak menyadari kepopulerannya. Otaknya cadas kalau dipakek untuk mengembangkan acara atau untuk orasi kampanye. Namun yang paling penting adalah dia punya attitude dan super sopan ke semua orang dan itu membuat siapapun senang dan respek sama dia. Kalau lo pasangan sama dia untuk pencalonan ini, semua orang akan melihat ke arah elo, Gha. Mereka juga akan berspekulasi kalau lo--"
"Gue memanfaatkan kepopulerannya untuk naik jabatan. Gitu maksud lo?"
Masayu terbahak. Analisa Agha tak pernah salah kalau digunakan untuk mencurigai motifnya.
"Gue gak lagi ngembangin acara gosip kampus, Yu. Ini urusan dunia pendidikan sekaligus kehidupan banyak mahasiswa."
"I know," ia masih terkekeh tapi kemudian berdeham-deham. "Di luar kampus, ternyata dia ngembangin rumah belajar untuk anak-anak pemulung di kawasan Bantargebang, Gha. Bahkan nih liat videonya. Ini pernah diliput karena di dalam rumah belajar ini, dia ngembangin alat sederhana untuk mengubah sampah menjadi gas yang digunakan untuk masak bersama anak-anak muridnya. Kecenya lagi, ternyata dia kuliah juga di jurusan teknik lingkungan di kampus swasta dengan beasiswa. What a man banget kan?!"
Masayu masih belum selesai. Meski ia bercerita dengan setengah bercanda, sesungguhnya ia sangat serius dengan apa yang dibicarakan ini. Agha bersyukur karena ia memiliki tim juga teman-teman yang keren. "Uniknya, orang ini gak punya ambisi untuk menjadi sesuatu padahal dia bisa melakukan sesuatu yang lebih untuk orang banyak. Nah, maksud gue adalah justru orang-orang yang gak gila jabatan gini yang cocok dampingin elo. Sehingga dia sama kayak lo, sama-sama punya visi-misi untuk dunia-akhirat. Kalian bisa sama-sama fokus untuk bekerja keras melalui jabatan yang dipegang dibanding mengingat-ingat banyaknya dana hibah untuk proker BEM."
Masayu ada benarnya. Agha menghela nafas. Ini sungguh pemilihan kandidat yang berat. Ia tidak menyangka kalau ini akan lebih rumit. Untuk memenangkan pencalonan memang butuh banyak strategi jitu. Namun Agha tetap berpegang prinsip politik lurus yang akan ia gunakan.
"Lo tahu kan, Gha, kenapa gue selalu ada di belakang lo? Itu karena lo selalu dahuluin semua urusan dengan Tuhan ketimbang urusan yang lain. Kalau pemimpin gue di masa depan seperti elo, gimana gak makmur dan damai bumi ini?"
@@@