"A'aaaaaak Aghaaaaaaaa!"
"Iiiih! A'aaaaak Aghaaaaa! Udah Subuh tauuuk! Gak ke masjid?"
Adel dan Adeeva bergantian membangunkannya. Kedua gadis kecil itu berkacak pinggang. Hal yang membuat Airin terkekeh. Tak lama, memang terdengar suara bak-buk dari dalam kamar Agha. Agha terkaget. Begitu bangun justru langsung terguling lantai. Ia lelah sekali. Baru tiba di rumah jam dua pagi tadi. Yeah, setelah memastikan semua temannya selamat. Tidak ada yang hilang atau masih ditahan. Perjuangan yang sungguh panjang hingga jam dua belas malam tadi. Wajahnya bahkan sangat kusut saat tiba semalam. Kalau tidak pulang, ia tidak punya baju ganti untuk kuliah hari ini. Jadi terpaksa pulang. Toh jadwal kuliahnya agak siang hari ini. Jadi tidak perlu berangkat terburu-buru. Anak-anak BEM fakultas juga masih beristirahat. Semua lelah dengan urusan kemarin.
"Iih! Dari tadi juga dibangunin," omel Adel sambil berjalan masuk ke kamar. Agha baru saja berteriak terima kasih kalau sudah dibangunkan. Ia terkekeh mendengar omelan khas Adel. Ya namanya juga Adel. Keduanya sengaja dikerahkan Akib untuk membangun Agha dikala genting. Ia tahu anaknya pasti masih ingin istirahat. Tapi solat itu apapun kondisinya tetap harus menjadi prioritas utama. Ia berangkat untuk solat Subuh di masjid. Hari ini yang menjadi imam solat adalah Om-nya, Fadlan. Agha solat dengan khusyuk meski agak terganggu dengan Ardan yang solat di sampingnya. Anehnya, usai sujud, cowok itu tak bangkit-bangkit. Agha berusaha untuk fokus pada ibadahnya sendiri daripada mengurusi Ardan yang memang suka 'nyeleneh'.
Usai mengusap wajahnya, ia terkekeh. Ia baru saja selesai berdoa dan akhirnya meneruskan zikir dulu. Farrel yang juga melirik ke arah Ardan mulai terganggu. Cowok itu tidak mati seperti banyak berita yang mengabarkan tentang orang-orang yang meninggal dalam sujud terakhir. Karena jelas, Ferril yang solat di belakangnya saja bisa mendengar suara dengkurannya. Sebelum Ferril yang bergerak, Farrel lebih dulu menepuk bahu Ardan. Menyuruhnya bangun. Agha terkekeh tanpa suara. Sudah terlampau sering. Kejadian ini bahkan bukan sekali-dua kali. Wira menjewer telinganya hingga membuatnya langsung mengaduh. Ditepuk lembut oleh Farrel tak bangun-bangun. Jadi Wira yang turun tangan. Kalau Aisha? Bah bisa merah pantatnya! Emaknya kan galak.
"Solat lagi," titah Wira. Papanya geleng-geleng kepala lalu lelaki itu segera pulang. Sementara Ardan menguap. Ia berjalan dengan malas menuju tempat wudhu. Ia benar-benar tak bisa menahan kantuknya hari ini.
Agha mengaji sebentar, mengulang hapalan bergantian dengan Farrel. Menjelang jam enam pagi, ia baru berjalan menuju ke rumah. Lalu melihat adik-adiknya ribut. Seperti biasa, Ali dan Adrian yang selalu bertengkar dengan Shilla.
"Anterin, Li," titah Agha. Kalau Agha sudah berbicara, mereka mana berani membantah. Shilla mengerucutkan bibirnya. Ia sudah meminta agar Agha saja yang mengantar tapi A'aknya itu memang masih sangat lelah.
Agha ikut sarapan tapi setelah itu pamit ke kamar dan kembali tidur. Ia benar-benar lelah dan tak bisa menahan kantuknya lagi. Airin sudah terbiasa melihat pemandangan seperti itu.
Menjelang jam sepuluh pagi, Airin membangunkannya. Tidak baik kalau tidur terlalu lama di pagi hari. Agha segera mandi. Ia harus berangkat sebelum Zuhur. Berhubung ada kuliah jam satu siang nanti.
"Makan dulu, Ak?" tanya Airin. Perempuan itu sudah menyiapkan makan siang lebih cepat karena tau jadwal keberangkatan anak sulungnya.
"Iya, Mi."
Rumah tampak sepi dijam-jam seperti ini. Adik-adiknya kan sekolah. Aidan juga di Jogja. Umminya sendirian. Tapi biasanya dari jam delapan sampai jam sebelas, Umminya mengurus Oma dan Opa.
"Ummi gak ke rumah Opa?"
"Ada Tantemu."
Tante yang dimaksud itu Aisha dan juga Icha. Aisha semakin banyak mengurangi jam kerjanya. Selain karena mau mengurus cucu, ia juga mengurus kedua orangtuanya. Kakak iparnya juga sama kan? Bahkan sudah berhenti bekerja dan akhirnya menikmati pekerjaan sebagai ibu rumah tangga yang cukup terkenal berkat memiliki anak sulungnya yang tampan. Kesibukannya saat ini juga tak jauh-jauh dari mengurus cucu dan mertuanya. Kadang juga mengurus orangtuanya yang beberapa minggu terakhir sering menginap di rumah karena harus berobat di rumah sakit milik menantu sendiri.
"Hari ini akan pulang jam berapa, Ak?"
"Masih belum tahu. Tapi nanti kayaknya Agha nebeng Indra kalo kemaleman, Mi."
Airin mengangguk. Memaklumi. Ia sudah biasa dengan kegiatan Agha. Cowok itu akan sangat sibuk menjelang demo dan usai demo. Karena urusannya panjang pastinya. Meski Airin juga bukan orang yang suka berorganisasi semacam itu. Ia lebih aktif ikut dalam berbagai kegiatan relawan.
Sementara itu, Shiren hanya bisa menatap jengkel layar ponselnya. Sudah hampir jam sebelas siang. Agha sudah melewatkan waktu janji pertemuan yang dibuat Shiren sepihak. Jam sepuluh lagi di mana ia harusnya sudah mengobrol dengan Agha. Tapi kenyataannya? Ia hanya duduk sendirian di lobi dan Agha tak kunjung datang. Agha?
Baru membuka pesan dari Shiren setelah melihat panggilan bertubi-tubi dari ponselnya sejak tadi. Ia tak begitu menggubris panggilan telepon ketika sedang mengobrol dengan Umminya. Lalu baru mengecek semua pesan dari Shiren itu ya ketika ia baru saja masuk ke dalam mobil dan hendak berangkat. Keningnya mengerut heran. Tumben-tumbennya Shiren mengajak ingin bertemu untuk berbicara sesuatu. Ia tak ada bayangan. Jadi akhirnya.....
Sorry, Ren. Gue baru buka. Mau ngomong apa?
Tapi Shiren sudah terlanjur malas menggubrisnya. Cewek itu kesal. Ia abaikan saja pesna dari Agha yang sudah jelas ia baca.
@@@
"Kamu ini bawel sekali. Untung gak ada apa-apa. Kalo sampe--"
"Gak usah berisik ih!"
Ia memeletkan lidah. Alih-alih melanjutkan omelannya, Rangga malah tertawa. Ia menggelengkan kepala lantas mengemudikan mobil meninggalkan rumah sakit. Setelah mengurus segala administrasinya dan adiknya tak apa-apa, mereka memang keluar. Humaira harus segera ke kampus karena ada kuis yang katanya tak bisa ditinggalkan. Padahal surat izin sakit dari dokter itu sudah ada. Ia bisa istirahat lebih lama. Rangga kan hanya ingin memastikan adiknya benar-benar sembuh dan tidak ada gangguan lain. Apalagi kalau mengingat suara tamparan itu. Keras sekali hingga membuat gaduh. Teman-teman Humaira yang mengamuk kemarin juga sempat akan dibawa ke jalur hukum tapi mereka sudah mengancam dengan ancaman yang lebih besar. Yaa kalau kasus Humaira sampai naik dan menyebar luas, yang tamat riwayatnya itu jabatan siapa? Tentu sudah jelas jawabannya kan?
"Temen-temen kamu udah aman semuanya."
"Maira tahu," tuturnya ia justru sedang tersenyum kecil begitu membuka layar ponselnya. Dari kemarin, ia tak bisa memegangnya karena sempat disita polisi lalu Rangga baru mendapatkannya tengah malam tadi melalui Agha.
Assalamualaikum, Mai. Gimana keadaannya?
Itu pesan dari Hanafi. Tentu berbeda dari pesan yang masuk dari Andros. Tahu apa katanya?
Oi, Mai, udah sadar belom? Lama amat. Gue nunggu ampe dua jam, betah banget tidurnya semalem.
Humaira langsung membalas pesan dari Andros dengan tidak manusiawi. Tapi balasan pesan pada Hanafi tampak lembut dan anggun. Hahaha. Jomplang sekali.
"Semalem Andros nungguin?" tanyanya pada Rangga.
"Iya lah. Kamu pikir, siapa lagi yang perduli sama kamu?"
"Saras?"
"Mas suruh pulang. Orang capek begitu."
Humaira mengangguk-angguk. Lalu melirik ke arah Rangga yang terkekeh. Menyadari sikap gaguk Humaira.
"Bilang aja mau nanyain Hanafi!" ledeknya lantas terbahak. Humaira mendengus. Memasang wajah pura-pura tak suka. Tapi mukanya tak pandai berbohong karena sudah memerah secara nyata.
"Hanafi datang. Cuma lihat kamu bentar terus pergi lagi. Katanya banyak yang harus diurus."
Humaira memalingkan wajahnya. Berupaya menahan senyum meski gagal. Tak menampik kalau ia memang senang dengan lelaki itu. Tapi ia juga tahu bagaimana dedikasi Hanafi untuk persoalan organisasi dan kejadian kemarin.
"Orang yang bertanggung jawab itu memang begitu. Harus fokus sama apa yang dikejar."
Humaira mendengus mendengarnya. "Fokus? Yang jagain Maira aja Mbak Kiya! Mas ke mana? Hilang-hilangan. Modus banget biar bisa lihat Mbak Kiya!" dumelnya yang membuat Rangga terbahak kencang. Yaa kan urusan pekerjaan pasti dijalani. Urusan Humaira juga harus diselesaikan. Urusan asmara? Modus harus terus berjalan. "Mau mingkem sampe kapan coba?"
Ia heran. Zakiya sebegitu baiknya di depan mata, masa gak ditembak-tembak begitu? Mendengar itu, Rangga hanya bisa menghela nafas. Permasalahannya adalah ia memang tak berani jujur pada Zakiya. Takut gadis itu tidak nyaman.
"Mbak Kiya itu cantik. Pasti banyak yang suka. Cerdas lagi. Maira aja suka. Yang kayak gitu tuh yang jangan dilewatin."
Ia masih mendumel. Rangga mengelus kepalanya tapi malah ditepis.
"Kerudungku tauuk, Maaas!" sebalnya yang membuat Rangga tertawa.
"Ngomong gitu enak kamu ya."
"Iya dong!" serunya lantas menahan tawa. Ia tahu sih kalau Masnya ini gamang setengah mati. "Mas kan udah 30 tahun. Udah wajar lah kalau mau nikah. Asal gak ninggalin Maira sendiri aja."
Rangga terkekeh. "Mana mungkin lah. Kamu ini."
Humaira menghembuskan nafasnya. Ia tahu lah kalau Masnya ini sangat sayang padanya. Jadi mana mungkin meninggalkannya kan?
"Justru Mas itu khawatir sama kamu. Gimana Mas mau mikirin nikah kalau tiap hari cemas mikirin kamu doang?"
"Duuh! Duuuh! Duuhh! Harus nangis gak nih?" ledeknya yang membuat Rangga tertawa.
"Mas serius!"
Humaira mengerucutkan bibirnya. "Apanya coba yang harus dipikirin? Maira udah hampir selesai kuliah. Tinggal tahun terakhir. Abis itu kerja deh."
"Yakin kerja? Bukan nikah?"
Humaira mendengus. "Gak lah, Mas. Masa depan Maira masih panjang. Harus dinikmati dong! Biar bisa bahagiain Mas, Ayah sama Ibuk."
Rangga tersenyum kecil mendengarnya. "Berarti Mas nikahnya nanti aja, abis kamu lulus aja."
"Iih kelamaan. Makin tuir itu. Mbak Kiyanya udah keburu direbut orang yang ada!"
Rangga terkekeh. "Kalo jodoh, gak akan ke mana perginya."
Humaira mencibir mendengarnya. Rangga mencoba menggetuk kepalanya, gadis itu berteriak. Rangga tertawa. Keributan ini justru momen yang bahagia. Karena di rumah mereka jarang seperti ini. Rangga kan sibuk. Kadang lebih sering menginap di kantor atau di mobil ketimbang pulang. Makanya Humaira lebih sering sendirian di rumah.
Tiba di kampus, Humaira tertawa. Ia melihat teman-temannya berkumpul di lobi. "Pasti ulah Saras deh," dumelnya sembari melepaskan seatbelt. Rangga geleng-geleng kepala saja. Bani muncul dari pintu di sebelahnya. Sementara Hanafi membuka pintu mobil untuk Humaira keluar. Hal yang tentu saja disambut riuhan ciye-ciye dari teman-teman mereka dikejauhan sana yang dikomandoi oleh Saras. Satu fakultas juga tahu kan bingkai cinta dalam organisasi kampus ini?
"Aman, Mas?" tanya Bani. Rangga mengangguk. Ia mengucapkan terima kasih ada Bani dan Hanafi kemudian pamit.
Humaira disambut pelukan teman-temannya. Seperti biasa, ia selalu disambut heboh. Namanya memang terkenal di fakultas karena kegiatannya di kampus. Juga keramahanya. Adik kelas banyak yang dekat dengannya. Mungkin karena ia tipe gadis ramah meski wajahnya agak jutek. Begitu bubar dan Humira perlu ke kelas, Saras menarik telinga Bani hingga membuat cowok itu mengaduh-aduh. Saras hanya ingin memberi ruang bagi Hanafi dan Humaira untuk berjalan bersama. Tanpa diganggu Bani yang memang tidak peka dengan situasinya.
"Keadaan lo aman kan?"
Humaira mengangguk. Rasanya mendadak aneh. Meski similir angin melewati langkah-langkah mereka. Hanafi mengangguk-angguk. Ia juga khawatir tapi ada banyak hal yang harus ia urus dulu sampai selesai. Sempat tertangkap pula kan. Tapi Humaira tak perlu tahu urusan itu. Yang penting kan ia sudah aman dan selamat.
"Mas bilang, semalem lo datang?"
Hanafi mengangguk-angguk. "Tapi cuma bentar. Ada banyak hal yang harus diurus."
Humaira mengangguk. Memang benar. Ia juga terbiasa seperti itu. Sementara Hanafi diam-diam meliriknya kemudian berdeham. "Lain kali kalau ikut demo lagi, jangan terpisah sendiri."
"Hah?"
"Banyak orang yang khawatir sama lo."
Kalimat itu seolah menyebutkan kalau salah satu orang yang khawatir itu adalah dirinya. Humaira terkekeh.
"Iya lah. Mas ngomel-ngomel dari pagi. Pusing dengarnya."
Hanafi terkekeh. Hilang sudah gugupnya mendengar kata yang cukup menghibur itu. Ia tertawa. Ia pikir kalau Humaira akan menyadari maksud dari kata-katanya tadi.
"Ya udah. Masuk gih," tuturnya begitu tiba di pintu kelas Humaira. Gadis itu mengangguk.
"Lo mau ke mana?"
"Gue mau ketemu dosen. Terus kayaknya harus ngecek data penelitian lagi."
Humaira mengangguk-angguk. Ia hendak berjalan tapi Hanafi berbicara lagi.
"Gu-gue ada di perpus," tukasnya cepat. Lalu salah tingkah sendiri saat Humaira menatapnya. "Kalo-kalo ada perlu," tambahnya ragu-ragu.
Humaira tersenyum kecil. Ia mengangguk kemudian berjalan masuk ke dalam kelas. Meninggalkan Hanafi yang menghela nafas lega. Ia masih menatap Humaira yang berjalan duduk di dekat bangku sekeliling teman-temannya yang sudah heboh menyambutnya. Andine menyenggol lengan Humaira begitu Hanafi membalik badan.
"Ciyeee, dia suka beneran tauk sama lo. Kelihatan gitu gelagatnya. Terlalu jelas!"
Humaira hanya terkekeh. Ia tahu meski terkadang sering ragu. Bersikap biasa saja pada Hanafi juga tidak mudah. Tapi yaaa ketika cowok itu tidak berterus terang pada perasaannya, kenapa ia tidak fokus saja pada hidupnya? Toh pada hari demo kemarin, cowok itu seolah memberi kode kalau ia ingin fokus pada hidupnya juga, yaitu membahagiakan orangtua dan menjadi sukses. Iya kan?
@@@
"Mahasiswa aman semua, Pak."
"Tidak ada yang hilang atau masih ditahan?"
"Tidak ada."
Ia mengangguk-angguk. Merasa lega. Seharian kemarin ia terus memantau perkembangan itu bersama beberapa stafnya. Sebagai rektor, ia turut andil dalam masalah ini. Meski agak-agak was-was. Karena salah langkah sedikit, berbuat tak sengaja sehingga menyebabkan presiden atau jajarannya tidak senang, jabatannya bisa dicopot. Suka atau tidak suka kenyataan ini memang harus dihadapi. Kalau mengikut nurani, ia juga ingin turut tahta dari pada menanggung beban berat ini. Niat hati hanya ingin fokus pada universitas, yeah sesuai tugasnya. Tapi pejabat yang haus kekuasaan di sana, ia harus mengurus hal-hal terkait mahasiswa juga. Mereka menganggap remeh pergerakan mahasiswa tapi di sisi yang sama, mereka tak menampik kalau mereka sangat khawatir.
"Naaaf!"
Saras muncul. Cewek itu muncul di pintu perpustakaan. Tepat saat Hanafi sedang memberesi barang-barangnya. Ia sudah selesai mengerjakan data penelitiannya.
"Kenapa?"
"Lo pulang sendirian? Bawa mobil?"
Hanafi mengangguk. "Maira mau pulang?"
"Iyaaa. Anterin giiih. Gue juga ikut yah."
Hanafi mengangguk. Keduanya berjalan menuju lobi. "Dia gak sama Andros kan?"
Saras tertawa. "Tadi gue bilang ke dia kalo lo mau anterin. Andros juga sibuk kali ah."
Aaaah. Hanafi mengangguk. Saras makin main cantik. Hahaha. Cewek ini sangat menyukai Hanafi bersama Humaira. Hanafi kan temannya sejak SMA dan Humaira itu sahabat terbaiknya di kampus ini. Jadi ia ingin keduanya bersama. Dan lagi, ia tahu betul bagaimana Hanafi dan kehidupannya. Rasanya akan cocok dengan Humaira. Sama-sama orang baik dan lurus pula.
"Lo masih gak jujur ya sama dia?"
Hanafi tersenyum tipis. "Gue cuma pengen dia fokus sama masa depannya sendiri. Mas Rangga juga bilang gitu."
Mata Saras membelalak. "Lo udah ngomong sama Mas Rangga?"
Hanafi mengangguk mantap. "Gue kasih tahu kalau gue punya rencana ini-itu untuk ke depannya. Dia mendukung lah."
Saras menghembus nafas. "Soal Maira, lo gak ngomong?"
Hanafi tertawa. "Lo mau gue disepak Masnya? Belum jadi apa-apa, udah main bilang aja. Gue gak mau kayak gitu, Ras. Cewek itu kan kalo kita jujur pastinya mau komitmen. Sementara untuk komitmen bagi gue, itu panjang urusannya. Gue harus lulus dulu, harus ngejar karir dulu, banggain orangtua dulu, nyenengin keluarga dulu. Baru deh abis itu urusan jodoh."
Saras mengangguk-angguk. Emang benar. "Entar keburu ditikung Andros loh."
Hanafi tertawa. "Lo tahu lah gimana mereka berdua."
"Iya deeeh! Yang udah pernah nanyain perasaannya Mai ke Andros."
Hanafi terkekeh. Kemudian ia menangkap Humaira di lobi. Gadis itu tampak mengobrol dengan adik kelas. Saras memanggilnya untuk ikut ke parkiran. Humaira segera menyusul. Gadis itu berjalan bersama Saras sementara Hanafi di depan mereka. Humaira tak pernah tahu kalau urusan pulang bersama Hanafi ini pasti pekerjaan Saras. Padahal ia juga menikmati keuntungan itu. Hahaha. Biar tidak susah naik kereta lagi. Walau pasar minggu itu dekat. Saras malas saja harus menunggu bikun untuk ke stasiun.
"Lo aja di depan geh. Gue nanti turun duluan loh," tutur Saras sembari membuka pintu belakang. Biasanya Saras yang duduk di depan. Lalu gadis itu tak akan pindah. Karena biasanya Hanafi bilang tak perlu. "Buruuu!"
Saras mendorongnya hingga masuk kemudian ia menahan tawa. Hanafi geleng-geleng kepala saja.
"Naaaaf, nyokap lo masih di luar negeri ya?"
Hanafi mengangguk. "Biasa lah. Sibuk sama kerjaan."
Saras mengangguk-angguk. Humaira tahu sih keluarga Hanafi. Pernah bertemu sekali dan mendapat banyak cerita dari Saras. Hanafi ini anak pertama di rumah. Ia punya adik lelaki yang sekolah di Jepang. Hitungannya masih SMA tapi adiknya jenius karena seharusnya baru masuk SMA tapi sudah mau lulus. Hanafi tinggal di rumah besar sendirian. Ayahnya? Ada. Tapi sudah berpisah dengan ibunya. Saktinya, Hanafi bisa akur dengan keluarga kecil ayahnya. Ayah Hanafi hidup sederhana. Ia cuma manajer di sebuah pabrik. Orangtuanya bercerai mungkin karena tak bisa mengimbangi hidup satu sama lain. Ibu Hanafi kan pekerja keras dan kala itu, ayah Hanafi sempat menganggur beberapa tahun. Mungkin karena kesal suaminya tak kunjung bekerja, akhirnya ia ceraikan. Katanya, uangnya bukan untuk dinikmati lelaki pemalas. Meski begitu, ketika Humaira bertemu dengan ibunya Hanafi, tidak sesosialita yang orang kenal. Sangat ramah dan keibuan. Lalu ia baru mendengar cerita dari Saras kalau semenjak bercerai itu, Hanafi dan adiknya merasa terabaikan dan hampir ikut ayah mereka karena kurang diurus juga diperhatikan. Selama ibu mereka bekerja kan Hanafi dan adiknya secar apenuh diurus dan dididik ayahnya. Mungkin belajar dari itu, ia menjadi ibu yang lebih baik meski di luar rumah, ia menjadi seseorang yang sangat ambisius mengejar karir.
"Minggu nanti mau main ke rumah?" tanya Hanafi begitu hampir tiba di kontrakan Humaira dan Masnya. Cewek itu tentu saja kaget. Saras? Sudah turun sejak tadi.
"Hah?"
"Mama mau pulang," ucapnya. Humaira mengedip-edip. Masih kaget dengan ajakan tiba-tiba itu. Hanafi tersenyum tipis. "Main aja. Mau gak?" tawarnya.
@@@