Erina segera menyusul Vita dan Rachel yang sudah menunggunya di depan sebuah toko yang sudah mereka tentukan sebelumnya. Mereka bertos ria dan tertawa bahagia.
"Bagaimana? Berhasil?" tanya Rachel langsung setelah Erina datang.
"Iya dong."
"Bagus kan girls? Rencana kita berhasil. Ayo kita pergi."
"Yeah, akhirnya hama dapat disingkirkan."
"Minah nggak curiga kan Rin?"
"Tadi sih enggak. Tapi peduli setan setelah kita pergi."
"Tapi beneran nggak apa-apa kita tinggalkan nih?" tanya Vita gamang.
"Ya beneran lah. Oh kalau kamu nggak tega, kembali ke sana. Temani si udik itu," ucap Rachel kesal.
"Dih, ogah banget."
"Vit, malam ini aku menginap di rumahmu ya? Semalam saja. Besok pagi baru aku pulang. Karena aku yakin mama akan mengamuk nanti."
"Sip, mau menginap seminggu juga boleh. Hehe."
"Kalau begitu aku juga mau menginap juga di rumahmu. Kita having fun malam ini. Hahaha."
"Okay no problem. Kebetulan mama dan papa ada di luar kota."
"Wah cocok tuh."
"Yuk cabut."
"Dah Minah ...," ucap mereka bertiga tertawa.
Mereka segera pergi meninggalkan tempat itu sebelum Minah mengejar mereka bertiga. Meninggalkan Minah seorang diri di dalam restoran menunggu mereka.
Sementara itu di dalam restoran Minah menunggu ketiga temannya dengan gelisah. Sudah lima belas menit berlalu sejak Erina menyusul Vita dan Rachel, namun mereka belum juga kembali. Minah khawatir terjadi apa-apa pada mereka. Ingin ia menyusul ketiganya. Tapi ia ingat pesan Erina agar menunggu di meja itu. Akhirnya Minah memutuskan untuk menunggu sedikit lebih lama.
Tiga puluh menit kemudian, Minah tak dapat lagi menunggu. Ia yakin ada sesuatu yang terjadi. Ia harus memastikannya sendiri ke toilet. Perasaan Minah sungguh tidak enak.
Minah membuka pintu toilet yang kosong satu per satu. Tak ada satu orang pun di sana. Minah bingung, dan panik. Ke mana teman-temannya? Apa mereka meninggalkannya?"
"Maaf Kak. Anda sedang apa di sini?" tegur pelayan restoran.
"Mbak, saya mau tanya. Mbak lihat nggak teman-teman saya yang makan satu meja dengan saya tadi?" Pelayan itu mengingat-ingat sesuatu.
"Ohh ... tiga gadis cantik tadi ya? Yang satu pakai bando pink? Benar?"
"Ah iya Mbak benar. Mbak tahu di mana teman saya berada?" tanya Minah lega karena sepertinya pelayan itu tahu di mana Rachel dan kawan-kawan.
"Sepertinya mereka sudah pergi dari sini sejak tiga puluh menit yang lalu Kak."
"Tidak! Tidak mungkin. Mbak mungkin salah orang." Minah ingin menyangkal kebenaran yang ada.
"Kalau yang Mbak maksud tiga gadis berpakaian modis yang satu pakai hotpants warna blue light. Yang satu pakai bando. Yang satunya lagi bawa kipas kecil. Mereka bertiga benar-benar sudah pergi dari sini."
"Ah, iya benar itu teman saya," ucap Minah lemas. Ternyata dari tadi Rachel baik kepadanya karena ingin meninggalkan dirinya. "Mbak, tapi makanan tadi sudah dibayar kan?"
"Ah, iya mereka bilang Kakak hari ini ulang tahun. Dan Kakak yang akan membayar bill mereka sekalian." Minah sangat terpukul karena Rachel tega kepadanya. Rachel mengerjainya lagi dan lagi. Dan kali ini sangat kelewatan untuk disebut bercanda.
"Baiklah. Kalau begitu saya akan ke kasir." Minah berjalan ke kasir dengan menahan tangisnya. Ternyata Rachel tak berubah, Rachel masih membencinya dan jahat padanya.
"Mbak, tagihan untuk meja nomor sembilan berapa jadinya?"
"Sebentar ya Kak." Pelayan itu menghitung bill makanan Minah di komputer.
"Jadinya satu juta dua ratus delapan puluh enam ribu rupiah. Dikurangi diskon sebanyak 10% menjadi satu juta seratus lima puluh tujuh ribu empat ratus rupiah."
"Hah? Berapa mbak?"
"Satu juta seratus lima puluh tujuh ribu rupiah Kak."
"Ya Allah bagaimana Minah harus membayarnya? Minah tak punya uang sebanyak itu. Bahkan uang yang Tante Rasti berikan juga tidak cukup," batin Minah sedih. Rasanya ia ingin menangis dengan ketidakberdayaannya.
"Kak, tapi saya tidak punya uang sebanyak itu. Bagaimana ini?"
"Anda ini bagaimana? Kalau tidak punya uang jangan makan di sini!" gertak pelayan yang bertugas di bagian kasir.
"Maaf, tapi yang mengajak makan di sini teman saya. Saya tidak tahu kalau saya juga yang harus membayar."
"Maaf kami tidak mau tahu. Yang kami inginkan anda harus membayar makanan yang sudah anda makan."
"Saya hanya punya ini Mbak. Bisakah saya pulang untuk mengambil uang dulu. Saya akan kemari lagi membayar sisanya," ucap Minah menyerahkan uang lima ratus ribu.
"Anda mau main-main? Saya akan panggilkan manajer saya."
"Jangan Mbak. Percayalah! Saya benar-benar akan kembali."
"Siapa yang dapat menjamin? Siapa tahu kalau kamu berbohong?" ucap pelayan dengan nada meninggi. Kini Minah jadi pusat perhatian di restoran itu.
Sementara itu di sisi lain mall.
"Sayang, makasih ya. Sudah belikan aku tas ini." Shena menggelayut manja di lengan Radit.
"Iya sama-sama sayang. Shen, boleh aku tanya
sesuatu?"
"Hmm, apa?" Perhatian Shena terpusat pada tas tangan yang Raditya belikan. Tas harga belasan juta yang sedang trending saat ini. Gadis itu tak menyangka jika Raditya akan benar-benar membelikan untuknya.
"Kenapa kamu nggak pernah mau makan di kantin sekolah sama aku? Dan kenapa aku harus merahasiakan hubungan kita dari Alex dan Andra?"
Wajah Shena berubah menjadi kesal. Ia sedang tak ingin membahas masalah itu dengan Raditya. "Kamu kan sudah tahu sendiri jawabannya Dit."
"Apa?"
"Aku sibuk Dit. Harus bicarakan gerakan cheers untuk pertandingan kamu nanti. Please sedikit saja mengerti aku."
"Hanya makan siang Shen. Apa aku berlebihan?"
"Ah, sudahlah aku capek. Kalau kamu kayak gini terus mending kita putus." Shena meninggalkan Raditya dan berlari.
"Shen, sayang!"
"Hei hei. Maafkan aku Shen." Akhirnya Raditya berhasil menggapai lengan Shena dan menarik gadis itu ke dalam pelukannya.
"Aku mohon maafkan aku Shen. Aku akan mencoba untuk lebih mengerti kamu. Maafkan aku ya sayang."
"Bukan begitu Dit. Tapi kesannya kamu itu tidak percaya dan tidak mau mengerti aku."
"Iya Shen ... aku kan sudah minta maaf sayang."
"Okay. Aku akan memaafkanmu kali ini."
"Kita makan dulu yuk sebelum pulang."
"Ayo, makan di resto biasa ya Dit. Aku mau makan sushi."
"Iya sayang. Apa sih yang enggak buat kamu." Keduanya berjalan bergandengan menuju restoran di mana Minah berada.
"Silakan duduk my princess." Raditya menarikkan kursi untuk Shena. Dan Shena tersenyum diperlakukan semanis itu.
"Makasih Dit."
"Mbak." Raditya melambaikan tangan memanggil waitres.
"Kamu pesan apa sayang?" tanya Raditya membuka-buka buku menu.
"Seperti biasa saja Dit."
"Mbak, tapi saya tidak punya uang sebanyak itu. Bagaimana ini?" Suara tak asing menyapa telinga Raditya. Membuat Raditya bertanya pada pelayan yang masih berdiri di dekatnya.
"Mbak, itu kok ribut- ribut ada apa ya?"
"Oh, mbaknya itu kasihan sekali. Tadi datang bersama ketiga temannya. Mereka memesan makanan banyak sekali. Giliran bayar semua temannya kabur. Dan dia tak punya cukup uang untuk membayar."
"Oh begitu." Raditya tersenyum kecil.