"Minah, hei. Bangun!" Raditya yang sudah menyandang tasnya berdiri di dekat Minah berbaring.
"Ah, sudah selesai?" gadis itu mengerjapkan matanya dan menguceknya perlahan. Agar penglihatannya tak kabur lagi. Gadis itu segera duduk.
"Ayo pulang!" Raditya melangkahkan kaki meninggalkan Minah. Minah terdiam di tempat. Raditya tidak mengajaknya atau pun mengatakan apa yang harus ia lakukan. Membuat Minah bingung jadinya.
"Hei! Kamu mau menginap di sini?" Raditya membalikkan badan dan mengatakan sebuah kalimat yang menyiratkan bahwa ia mengajak Minah pulang. Akan tetapi, tidak setiap orang akan memahami pesan tersirat dalam setiap kata-katanya. Dan Minah adalah salah satunya. Ia tak paham kemauan Raditya.
"Ayo!" Akhirnya sebuah kata yang Minah tunggu terucap juga dari bibir lelaki tampan itu. Mata Minah berbinar mendengar ajakan Raditya. Bibirnya tersenyum tipis. Akhirnya ia tak perlu berjalan kaki untuk sampai ke rumah, hal yang ia risaukan sejak ia menyuruh Rachel meninggalkannya tadi siang.
Minah segera menyandang tasnya dan menyusul Raditya. Ia berjalan cepat agar dapat mengejar lelaki itu.
Suasana sekolah sudah cukup sepi. Karena hari sudah sore, waktu sudah menunjukkan pukul 16.30. Mentari mulai turun di ufuk barat. Pertanda malam akan segera menjelang. Hanya tinggal beberapa murid yang baru selesai ikut les, yang masih berada di lingkungan sekolah.
"Nah, pakai." Raditya menyerahkan helm kepada Minah. Yang langsung gadis itu terima dan pakai.
"Hai Minah, mau aku antar pulang?" Andra yang juga sedang mengambil motornya menegur Minah yang baru saja akan naik ke motor Raditya. Raditya melotot ke arah Minah dan memberi isyarat agar gadis itu menolak.
"Minah bareng Raditya saja Kak."
"Beneran nggak mau bareng aku? Aku tahu kok alamat rumah Radit." Laki-laki itu tersenyum penuh keteduhan. Membuat hati Minah meleleh dibuatnya.
"Lain kali saja ya Kak. Sepertinya Radit masih ingin Minah menjadi pesuruhnya." Minah berusaha memberi alasan yang tepat. Andai Raditya tidak melarangnya, ia dengan senang hati diantar pulang oleh Andra.
Andra menghela napas panjang, ia tahu betul posisi Minah. Ia tak ingin membuat gadis itu lebih kesulitan. "Ya sudah, hati-hati ya Minah."
"Iya Kak. Kakak juga hati-hati ya."
"Kalian ini sebenarnya ada hubungan apa sih? Kalian pacaran? Sampai saling perhatian begitu?"
"Eng-gak kok Dit," jawab Minah gugup. Detak jantungnya menggila karena Andra ada di depannya.
"Belum. Tapi mungkin akan," jawab Andra ketus. Wajah Minah memerah seperti kepiting rebus. Rasanya ia ingin bersorak kegirangan atas apa yang Andra ucapkan.
"Hah ... sana kalau mau pergi dengan Andra."
"Tidak Dit. Aku tepati janjiku. Aku akan menjadi pesuruhmu hingga hari ini berakhir." Minah tak enak hati pada Raditya. Raditya tersenyum dalam hati.
"Hanya pulang dengannya, dan kenapa aku harus sebahagia ini? Jangan gila Dit!" Dalam hati Raditya merutuki dirinya yang bahagia karena Minah memilihnya.
"Ya sudah. Cepat pulang, hati-hati di jalan ya Minah," ucap Andra dengan nada kecewa karena Minah menolaknya. Minah jadi merasa bersalah pada Andra. Namun ia tak dapat berbuat apa-apa.
"Iya Kak. Sampai jumpa besok." Minah tak mengalihkan pandangannya meski Raditya melajukan motornya keluar area sekolah. Menatap Andra dengan pandangan sayu dan menyesal. Raditya sampai geleng-geleng kepala karena kesal. Menurutnya Minah terlalu berlebihan. Minah baru memperbaiki posisi duduknya setelah di jalan raya.
"Sudah deh. Nggak usah sedih begitu. Andra memang baik kepada semua orang. Apalagi kaum tertindas. Jadi tidak usah besar kepala. Jangan berpikir dia benar-benar menyukaimu. Andra pasti hanya kasihan terhadapmu." Perkataan Raditya semakin membuat Minah down.
"Iya, aku tahu kok Dit. Aku tak pernah pantas untuk Kak Andra," jawab Minah murung.
"Eh, eh bukan begitu maksudku. Andra kan cowok terpopuler di sekolah jadi jangan sampai kamu jatuh cinta padanya. Akan banyak rintangannya. Bisa-bisa kamu dimusuhi oleh gadis satu sekolah kita." Raditya membetulkan kata-katanya ketika melihat Minah sedih.
Minah yang terlanjur kesal hanya diam saja tak menjawab perkataan Raditya lagi. Lagipula ia malas berdebat dengan perut yang lapar dan badan yang penat.
Lima belas menit kemudian Raditya membelokkan motornya ke sebuah belokan menuju jalan raya. Minah yang merasa aneh melayangkan protesnya kepada Raditya. Meskipun ia masih baru di kawasan itu. Ia sudah mulai menghafal jalan dari sekolah ke rumah atau sebaliknya.
"Dit, kita mau ke mana?" Raditya diam tak menjawab.
"Dit, kita mau ke mana? Jangan buat aku takut Dit!" ucap Minah sedikit berteriak ketakutan.
"Sudah diam saja Kamu!"
"Jawab dulu kita mau ke mana?" desak Minah karena gelisah.
"Mau membuangmu," jawab Raditya sekenanya.
"Radit!" panggil Minah ketakutan.
"Kalau kamu masih bawel, aku buang kamu beneran. Aku tinggalkan di jalan. Eh tidak aku cari ketua preman di kawasan ini dan menyerahkanmu kepada mereka. Biar dijadikan pengamen sekalian."
"I-iya Dit. Aku akan diam dan menurut." Nyali Minah menciut dengan ancaman Raditya yang sebenarnya hanya sebuah candaan. Hanya saja Minah yang polos tak mengerti jika Raditya mengerjainya. Minah memeluk perut lelaki tampan itu dan menyandarkan kepalanya karena lelah. Raditya merasa tak nyaman karena perlakuan Minah. Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang dan wajah Raditya memerah sempurna. Raditya ingin melepaskan pelukan Minah. Namun di saat dia mengintip ekspresi Minah dari kaca spion Raditya jadi tak tega ingin menyuruh Minah melepaskannya.
Setelah lima menit motor Raditya melaju, Raditya memperlambat laju motor miliknya. Dan di sebuah rumah makan siap saji Raditya berbelok dan memarkirkan motornya. "Turun! Kita sudah sampai."
"Ini di mana Dit?"
"Di hutan! Jelas ini di restoran lah ...."
"Ayo! Kenapa masih berdiri di situ?" Raditya heran karena Minah berdiri mematung di dekat motornya.
"Dit, kamu saja yang masuk. Aku tunggu di sini," tolak Minah.
"Kenapa? Ayo ikut aku masuk. Aku lapar. Aku akan cukup lama di dalam."
"A-aku tidak punya uang Dit," gumam gadis itu seperti seekor semut.
"Hahh, kelamaan." Raditya menarik paksa Minah menuju ke restoran. Tak mengindahkan puluhan mata yang memandang mereka yang masih memakai seragam sekolah.
"Duduk!" perintah Raditya.Minah langsung menurut dan duduk di hadapan Raditya.
"Maaf Mbak, Mas. Mau pesan apa?" tanya pelayan restoran.
"Em, saya mau jus melon satu sama paket ayam goreng yang ini." Tunjuk Raditya pada sebuah gambar paket ayam goreng di buku menu.
"Okay. Kalau Anda Mbak?"
"Saya pesan air putih saja Mbak."
"Samain aja Mbak." Raditya menyela dan menyerahkan buku menu pada pelayan.
"Okay. Ada lagi Mbak? Mas?"
"Tidak, itu sudah cukup."
"Baiklah mohon ditunggu sebentar." Pelayan itu segera pergi dan mengambil orderan dari meja yang lain.
"Tapi Dit, aku tidak punya uang," bisik Minah gelisah.
"Apa masalahnya? Kamu kan bisa menukar makanan dengan tenagamu itu. Nanti kamu bisa membayar dengan mencuci piring."