Bab 34

1097 Kata
"Huhuhu ... huhuhu." Tangis Rachel pecah seketika dalam Pelukan Minah. Gadis itu tanpa sadar memeluk tubuh yang ia benci dan meluapkan semua perasaannya. Rachel begitu terluka. Tangan mungil Minah menepuk punggung Rachel pelan. Berharap perasaan Rachel segera membaik. Ia tak tega melihat kondisi Rachel tadi. Lama mereka berada di posisi itu. Berdiri di dekat air mancur dengan saling berpelukan. Rachel sibuk melayan perasaannya sendiri. "Chel, kita lebih baik pergi dulu dari tempat ini," ajak Minah dengan lemah lembut. Rachel menggelengkan kepalanya dengan air mata yang masih berderai. "Kenapa tidak mau Chel? Sudahlah, air matamu yang berharga ini tidak pantas kamu sia-siakan untuk lelaki seperti itu." "A-aku tidak mau Kak Radit tahu masalah ini. Huhuhu." Gadis itu menangis lagi. "Baiklah, yang terpenting kita pergi dulu dari sini. Kita bisa meminta Pak Tono berhenti di tempat yang kamu mau." Rachel menurut, Minah merangkulnya dan berjalan bersama menuju mobil. Tak ada penolakan dari Rachel karena saat ini gadis itu terlalu sakit hati. "Pak, kita ke taman yang tenang ya. Yang tidak terlalu ramai," ucap Minah tanpa meminta pendapat dari Rachel. "Baik Non." Mobil melaju membelah jalanan kota yang tidak terlalu ramai. Akhirnya mobil berhenti di sebuah taman yang asri dan tenang. Minah mengajak Rachel keluar dan duduk di sebuah bangku yang menghadap ke telaga. "Chel, luapkan semua perasaanmu." "Ka-kamu tidak perlu pura-pura peduli padaku. Pasti saat ini kamu sedang menertawakan aku kan? Pasti kamu bahagia melihat aku begini?" tuduh Rachel dengan air mata yang berlinang. "Ti-tidak Chel. Aku ikut bersedih. Tapi aku lega juga." Rachel menatap nanar ke arah Minah. "Bukan begitu maksudku. Begini, aku lega karena bukan kamu yang dinodai oleh Kak Dafa. Kamu terlalu berharga untuk cowok sebrengsek dia." "Ah, terserah kamu mau ngomong apa. Tolong jangan ajak aku bicara." Rachel menelangkupkan kedua tangannya di pangkuan dan menangis lagi sejadi-jadinya. Minah terdiam tak berani mengusik. Ia sedikit lega, setidaknya Rachel bisa menangis. Sesekali tangan Minah menepuk punggung Rachel seraya menikmati pemandangan air telaga yang bening. Lama gadis itu menangis sesenggukan. Minah berdiri meregangkan tubuhnya yang penat dan tanpa sengaja ia melihat ada penjual permen kapas yang berjualan di dekat taman. Senyum Minah terbit dan perlahan menghampiri penjual permen kapas itu. Ia memesan dua buah permen kapas berwarna pink segar. Setelah membayar, ia menuju ke kursi tempat Rachel duduk. Tuk tuk. Minah mengetuk punggung Rachel perlahan. Gadis itu mendongak dengan air mata yang bercucuran. Minah mengulurkan sapu tangan miliknya, Rachel menyambut dan mengusap mata dan wajahnya perlahan. "Ini aku beli permen kapas." Minah menyodorkan satu bungkusan pada Rachel. "Nggak mau. Itu pasti tidak steril," tolak Rachel mengabaikan Minah. "Bersih Chel. Ini kan dikemas dalam plastik. Aku pastikan kebersihannya." Rachel menerima dengan ragu. "Kamu tidak meracuninya, kan?" tanya Rachel curiga. "Ya Allah enggak Chel. Aku bahkan belum membuka plastiknya." "Baiklah. Terima kasih." Rachel mengucapkan kata yang bahkan dalam setahun ini tidak pernah ia ucapkan. "Iya Chel sama-sama. Setelah ini kita pulang ya? Tak terasa sudah mau magrib." Rachel mengangguk dengan mata sembabnya. Ia lebih sibuk menikmati permen kapas yang ada di tangannya daripada menanggapi Minah. Rachel menyerahkan plastik bungkus permen kapas kepada Minah. Setelah melahap semua isinya. Dan tanpa kata gadis itu bangkit dari duduknya. "Mau ke mana, Chel?" tanya Minah. "Pulang," jawab Rachel tanpa menoleh. Minah tersenyum kecil, semoga hati Rachel cepat membaik. *** "Chel, dari mana kamu?" tanya Raditya berkacak pinggang di depan pintu rumah. Wajah Raditya terlihat memerah karena marah. Terlebih lagi bukannya menjawab Rachel berlalu begitu saja ke kamarnya. Namun Raditya sempat melihat wajah sembab adiknya. Minah yang berada di belakang Rachel berjalan dengan tertunduk, takut mendapatkan pertanyaan yang macam-macam dari Raditya. "Eits, mau ke mana?" Raditya mencengkeram tas ransel Minah dan menahannya. Membuat tubuh gadis itu sedikit terangkat. "Mau ke kamar ganti baju," jawab Minah polos. Ia ketakutan melihat wajah Raditya yang terlihat murka. "Tidak semudah itu. Jawab dulu pertanyaanku. Rachel kenapa?" "E-enggak tahu Dit." "Dia pulang sama kamu, bagaimana bisa kamu tidak tahu. Kamu lupa dengan janjimu pada Mama untuk menjaga Rachel?" tanya Raditya. "I-ingat Dit. Tapi ...." Minah mengingat kembali janjinya pada Rachel untuk tidak mengatakan apa pun pada Raditya. "Aku tak bisa mengatakannya." "Ini semua gara-gara kamu kan?" tuduh Raditya. "Enggak Dit. Bukan aku." "Halah, pakai ngeles." Raditya melepaskan tangannya dari tas Minah. "Sebelum masuk, belikan dulu soda untukku di minimarket ujung jalan sana." "Baiklah, aku ganti baju sebentar." "Kelamaan. Tidak perlu! Ini uangnya. Ganti bajunya nanti saja." "Kalau begitu aku ambil payung dulu Dit. Sepertinya akan hujan." "Alah, kalau kamu cepat tidak akan sampai kehujanan. Kemarikan tasmu." Minah menyerahkan tasnya pada Raditya. "Ini uangnya. Cepat belikan, aku haus." Minah yang masih berseragam lengkap segera menuruti perkataan Raditya. Ia tahu ia tak akan bisa membantah kata-kata Raditya. Namun malang di tengah jalan air dari langit terjatuh dengan begitu derasnya sebelum ia sempat berteduh. "Aduh, betul kehujanan kan. Raditya nyebelin," gumam gadis itu mempercepat langkah kakinya. Tubuhnya sudah terlanjur basah kuyup. Dengan tubuh yang lusuh ia memasuki minimarket itu. Beberapa pegawai memandang tak suka ke arahnya. Karena tetes air dari tubuhnya jatuh menggenang ke lantai. Membuat lantai minimarket kotor. "Mbak, lain kali jangan kemari dengan baju yang basah seperti itu. Lihatlah seluruh lantai kami kotor," ucap pegawai minimarket seraya memberikan uang kembalian dengan kesal. "I-iya maaf." Minah segera pulang, tahu tatapan kesal para pegawai. Terlebih pegawai yang membawa kain pel menatap tajam ke arahnya. Dengan tubuh yang basah ia menembus derasnya hujan. Mengabaikan tubuhnya yang kedinginan. Ia harus cepat mandi, atau dirinya akan demam. Lima menit kemudian, ia sudah sampai di rumah. Dan di depan pintu Raditya berdiri sambil melipat tangannya. Di samping Raditya tergeletak sebuah tas tenteng berukuran sedang. "Stop! Berdiri di situ. Jangan mengotori lantai rumah kami." "Tapi Minah kedinginan Dit." "Itu bukan urusanku. Dengar baik-baik. Aku minta kamu meninggalkan rumah ini sekarang juga. Ini barang-barangmu." Raditya menendang tas tenteng itu dengan kasar. "Bisakah aku menumpang untuk malam ini saja? Aku janji besok pagi aku akan pergi dari rumah kamu." "Tidak ada tawar-menawar. Memangnya kamu siapa? Hah?" "Dit, kenapa kamu melakukan ini? Apa salahku padamu?" tanya gadis itu dengan tubuh basah kuyup. Bibirnya yang membiru karena kedinginan, bergetar menahan tangis . "Kamu ini memang bodoh atau pura-pura bodoh? Kamu memang tidak punya salah padaku hanya saja aku tidak menyukaimu. Dan tak akan pernah bisa menyukaimu. Kamu ini seperti benalu. Menyusahkan orang saja. Tidakkah kamu sadar diri? Kamu tidak pernah diharapkan di keluarga ini. Aku dan Rachel membencimu, sangat membencimu." Ucapan pemuda tampan itu tajam dan menusuk hati. Hai Readers, jangan lupa mampir ke n****+ keduaku di dreame yang berjudul "Aku Bukan DARA" ya... Minta lope2nya juga.. Terima kasih
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN