Bab 2

1156 Kata
Setelah setahun kepergian ibunya, kehidupan Minah masih sama saja dengan sebelumnya. Ia dan ayahnya masih hidup dalam kemiskinan dan serba kekurangan. Namun Minah sebisa mungkin untuk tetap bersabar. Kini ia sudah lulus sekolah SMP. Sudah waktunya ia melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas. Namun apa mau dikata, bapaknya tak sanggup untuk membiayai sekolahnya. Sehingga mau tidak mau Minah harus putus sekolah dan memendam semua cita-citanya. Menguburnya dalam-dalam agar ia tak terlalu kecewa. "Nduk, maafkan Bapak ya? Bapak ndak bisa membiayai sekolah Kamu. Maafkan bapak ya, Nduk. Gara-gara Bapak, Kamu ndak bisa melanjutkan sekolah," ucap Prapto dengan sedih. Ada rasa bersalah di hatinya karena tidak dapat memberikan pendidikan yang terbaik bagi anaknya. "Iya, Pak. Minah ndak papa kok. Bapak ndak usah khawatirkan Minah. Bapak jangan sedih ya?" ucap gadis itu menahan tangis. Minah mencoba tersenyum, lebih tepatnya memaksakan senyumnya. Padahal hatinya sangat sedih, hingga dadanya terasa sangat sesak. Ia ingin sekali melanjutkan sekolah. Tapi jangankan sekolah, ijazah SMP saja belum diambil karena masih punya banyak kekurangan p********n yang belum lunas. Hati Minah serasa diremas-remas. Tapi ia mencoba untuk menahan air matanya, agar bapaknya tidak sedih. Ia berpura-pura biasa saja. Padahal rasanya ia ingin menjerit meratapi nasib malangnya yang terjebak dalam kemiskinan. Kemiskinan yang membuat ia hidup menderita. Kemiskinan yang membuat ia tidak bisa bersekolah seperti teman sebaya lain yang seusianya. Kini ia kehilangan semangat diri. Ia melupakan semua cita-citanya untuk menjadi seorang bidan. Ia hanya bisa tetap berbakti pada ayahnya sedari menunggu seorang laki-laki yang sudi mengambilnya sebagai istri. Karena orang sepertinya memang tidak memiliki harapan untuk bercita-cita lagi. *** Siang itu Prapto pulang ke rumah dalam keadaan yang kusut. Minah tak berani ingin bertanya. Gadis itu sangat khawatir ketika melihat wajah murung Prapto yang tak seperti biasanya. Yang biasanya akan selalu tersenyum ketika pulang dari bekerja. "Bapak, mau Minah ambilkan teh hangat?" tanya Minah hati-hati. "Ndak usah Nduk. Bapak istirahat sebentar ya? Baru nanti kita makan sama-sama," kata Prapto seraya merebahkan diri di kursi panjang reyot ruang tamu. Minah semakin yakin kalau bapaknya sedang ada masalah. Karena biasanya sepulang dari sawah ayahnya dengan semangat mengajak Minah makan bersama. "Pak, ada masalah ya?" tanya Minah tak dapat menahan diri lagi. Gadis itu mengkhawatirkan ayahnya. "En-endak kok. Ndak ada apa-apa. Oh ya, hari ini kamu masak apa?" tanya Prapto mengalihkan pembicaraan. "Itu tadi Minah buat cah kangkung sama goreng tempe, tadi Minah ambil kangkung di dekat sawah pak Hardi, Pak," kata Minah bercerita. "Hmm pasti enak ya Nduk. mari makan, Bapak sudah lapar," kata Prapto yang tak ingin membuat Minah curiga. Akhirnya mereka makan bersama dalam keheningan. Prapto yang biasanya dengan wajah ceria menceritakan pekerjaannya kini terdiam membisu tak berkata apa-apa. Pada wajahnya terlihat jelas raut kesedihan. *** Keesokan paginya Prapto masih di rumah belum juga berangkat kerja. Minah yang biasa membantu menjaga warung Mbok Tun, juga belum berangkat. Karena gadis itu baru saja menyelesaikan pekerjaannya mencuci pakaiannya dan juga pakaian bapaknya. "Prapto! Keluar Kamu!" teriak dua orang laki-laki bertubuh besar dan kekar sembari menggedor-gedor pintu rumah Minah. Tampang kedua lelaki itu sangar dan menyeramkan. "Iya, Tuan." Prapto keluar dari rumahnya menemui para preman itu dengan gemetar dan ketakutan. "Mana janji Kamu buat bayar hutang? Sekarang sudah jatuh tempo p********n," tanya seorang lelaki yang bertato dan berambut panjang diikat. "Maaf, Tuan. Tolong sampaikan kepada Juragan Surya agar memberi saya sedikit waktu lagi. Saya akan berusaha melunasi hutang saya." Prapto memohon dengan mengatupkan kedua tangannya. "Hahaha ... mau bayar pakai apa Kamu uang sebanyak itu? Dua puluh lima juta dengan bunganya. Kamu sanggup membayarnya? Gubuk Kamu ini bahkan ndak cukup untuk membayar bunganya," kata lelaki itu dengan kasar. "Tapi Tuan, hutang saya kan hanya sepuluh juta. Kenapa bisa jadi sebanyak itu?" tanya Prapto terkejut dan tak percaya dengan nominal yang disebutkan. Tubuhnya menggigil dan gemetar. "Heh! Di surat perjanjian kan ada ketentuannya. Tentu sebanding karena sudah lama hutang Kamu tidak Kamu bayar. Apalagi Kamu juga belum membayar bunganya sama sekali," kata lelaki bengis itu. "Astagfirullah ... dari mana saya bisa mendapatkan uang sebanyak itu? Sepuluh juta saja saya ndak sanggup bayar. Apalagi sebanyak itu," kata Prapto merasa tak terima dengan bunga yang rentenir itu tetapkan. "Itu jadi urusan Kamu! Bukan urusan saya," kata preman yang memakai kalung besar tak sabar dan langsung meninju Prapto. "Bapak ...," panggil Minah menangis menghampiri bapaknya yang jatuh tersungkur. "Wah ... Kamu anak Prapto? Cantik juga ya Kamu? Prapto Kamu sengaja menyembunyikan dia dari kami ya?" Preman dengan kalung besar itu menyeringai. "Genta, pasti Juragan Surya senang kalau mengetahui di desa ini ada gadis secantik dia," imbuh preman yang berambut panjang. Prapto terdiam ketakutan. Preman yang bernama genta, hanya ikut menyeringai. "Prapto, saya akan melaporkan ke juragan Surya. Pasti juragan akan senang jika Kamu memberikan anakmu ini sebagai ganti hutang Kamu. Jadi Kamu ndak perlu lagi pusing-pusing memikirkan cara untuk membayar hutangmu," kata preman itu lagi. "Jangan, Tuan! Dia satu-satunya anak yang saya miliki. Saya sanggup memberikan apa saja kecuali anak saya," kata Prapto menangis mendengar anaknya akan dijadikan istri ke empat Juragan Surya yang sudah tua. Bugh bugh bugh Kedua preman itu menendang tubuh Prapto dengan brutal. "Jangan! Bapak ...." Minah berteriak histeris. Minah sangat ketakutan jika sampai bapaknya kenapa-kenapa, ia akan sebatang kara di dunia ini. "Kami yakin Kamu ndak punya uang buat bayar hutang Kamu. Lebih baik Kamu menyerahkan anakmu yang cantik ini. Atau akan kami hancurkan Kamu dan gubuk reyotmu ini," ancam Preman itu kasar. "Hei! Kamu? Kalau Kamu ingin bapakmu selamat, lebih baik Kamu menyerahkan diri dan menikah dengan Juragan Surya. Kamu bisa hidup enak dan tinggal di rumah bagus tanpa kekurangan," kata Preman itu menunjuk-nunjuk Minah. Setelah berkata begitu preman itu pergi begitu saja. Minah membantu Prapto yang terluka dan membawa bapaknya masuk ke dalam. Kemudian menyeka luka Prapto dengan air hangat. Walau terjadi kegaduhan seperti itu, tetangga sekitar tak ada satu pun yang berani mendekat. Karena mereka paham betul jika anak buah Juragan Surya adalah preman yang berbahaya dan sangat ditakuti di desa itu. Mereka menutup mata dan telinga karena jika sampai terlibat bisa saja kehilangan nyawa. "Pak ... sebenarnya untuk apa Bapak berhutang sebanyak itu, Pak?" tanya Minah menyeka luka lebam bapaknya. "Maaf ya Nduk. Bapak berhutang karena waktu itu kamu sakit keras dan harus dirawat di rumah sakit. Sedangkan waktu itu belum ada kartu sehat seperti sekarang. Bapak bahkan tak punya uang sepeser pun," kata Prapto dengan wajah yang murung. "Ya Allah Pak ... jadi semua ini gara-gara Minah?" tanya Minah sedih dan merasa bersalah. "Ya sudah Pak, biar Minah menikah dengan juragan Surya untuk melunasi hutang kita," kata Minah mencoba ikhlas. "Ndak boleh Nduk. Kamu ndak boleh menikah dengan laki-laki yang lebih pantas disebut kakek. Umurnya saja jauh di atas Bapak. Lagi pula ia terkenal sangat kejam. Bapak ndak rela Nduk," kata Prapto sambil menangis. "Ndak apa-apa Pak. Minah rida ... Minah ikhlas," kata Minah pasrah memeluk bapaknya. Mereka berdua menangis meratapi nasib malang mereka. Meratapi ujian dan cobaan yang datang silih berganti.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN