Bab 9

2203 Kata
Di tengah kekacauan ini, seorang gadis cantik tewas.   Perempuan muda itu duduk di lantai di tengah ruangan, tangannya memeluk satu dari pilar penyokong, kakinya terkulai ke samping. Sepertinya, pada satu titik, penyewa terdahulu berusaha menyulap balok penyokong itu menjadi pilar Romawi bergaya Doric dengan bahan yang kemungkinan adalah styrofoam. Meski pilar-pilar itu punya alas dan puncak, satu- satunya ornamen adalah tonggak l berkarat di atas, satu-satunya dekorasi, satu pertunjukan nama-nama geng dan kevulgaran yang disemprotkan sepanjang dinding. Di satu dinding ruang bawah itu ada mural yang sudah kusam, yang mungkin seharusnya menggambarkan Tujuh Bukit di Roma   Gadis itu berkulit putih, muda, mungkin enam belas atau tujuh belas tahun. Ia memiliki rambut tipis melambai warna pirang stroberi dipotong pas di atas bahu. la mengenakan rok Paket, kaos kaki selutut warna maroon, dan kemeja putih-di balik rompi berkerah V dengan logo sekolah. Di tengah dadanya ada beranda salib terbuat dari bahan warna gelap seperti kapur. Dari pandangan sekilas, Liliana tidak bisa dengan segera melihat penyebab kematian. Tidak ada bekas tembakan atau luka tikam, meski kepala gadis itu terkulai ke kanan, Liliana bisa melihat sebagian besar lehernya, dan tak terlihat bahwa ia telah dicekik.   Dan, kemudian kedua tangannya, Dari Jarak beberapa meter, tangan itu seperti terangkum dalam posisi berdoa, tetapi ada kenyataan yang jauh lebih kelam Liliana harus melihat dua kali untuk memastikan bahwa matanya tak sedang berkhianat.   Ia melirik ke arah Yuta. Pria itu memerhatikan tangan gadis tersebut pada saat bersamaan. Mata mereka saling berpapasan dan menunjukkan saling pengertian bahwa ini bukan pembunuhan biasa, bukan kejahatan karena hasrat yang lazim Mereka juga berkomunikasi dalam diam bahwa mereka tak akan menyusun spekulasi sekarang. Kepastian atas hal yang terjadi pada tangan wanita muda ini harus menunggu pemeriksaan oleh ahli forensik   Kehadiran gadis itu, di tengah segala keburukan ini sangat tidak pada tempatnya, menyakitkan mata, batin Liliana; mawar yang rapuh disorongkan ke beton berlumut. Sinar matahari yang redup berusaha masuk lewat jendela kecil, menerangi sebagian rambut dan memandikannya dengan kilau suram pekuburan.   Satu hal yang sangat jelas adalah letak gadis ini sudah diatur, bukan merupakan sinyal yang baik. Dalam 99 persen kasus pembunuhan, pelaku tak bisa melarikan diri dari lokasi kejadian dengan cepat, dan ini biasanya adalah berita baik bagi penyelidik. Konsep sederhana: orang menjadi bodoh saat melihat darah, sehingga mewariskan semua hal yang diperlukan untuk mendakwa mereka. Biasanya begitu. Siapa pun yang bertahan untuk mengatur posisi mayat berarti menyampaikan pernyataan, menawarkan komunikasi arogan, kepada polisi yang akan menyelidiki kejahatannya.   Sepasang polisi dari Unit TKP tiba, dan Yuta menyambut mereka di ujung tangga. Beberapa saat kemudian, Hitoshi, seorang ahli forensik veteran, tiba dengan juru foto di belakangnya. Kapan saja seseorang tewas karena dianiaya atau penyebab yang misterius, diperlukan seorang ahli forensik untuk bersaksi di pengadilan kelak. Foto-foto yang mendokumentasi sifat dan seberapa parah luka luar atau cedera adalah bagian rutin pemeriksaan   Tim forensik punya juru foto sendiri yang bertugas di lokasi kejadian kapan pun ada indikasi pembunuhan, bunuh diri, atau kecelakaan fatal, ia siap dipanggil untuk pergi ke sudut mana pun di kota ini kapan saja, entah siang maupun malam. Dr. Keichido Hitoshi menjelang lima puluh tahun, seorang pria yang sangat teliti di semua aspek kehidupan-sampai ke rutan cukur di Dockers kecokelatannya dan janggut putih yang dipotong rapi. Ia membungkus sepatunya, memasang sarung tangan dan hati-hati melangkah mendekati wanita muda itu. Sementara Hitoshi melakukan pemeriksaan awal, Liliana berkeliaran di sekitar dinding-dinding lembap itu. la selalu percaya, pengamatan sederhana atas orang-orang yang mengerjakan tugasnya dengan bagus jauh lebih informatif dibanding buku teks mana pun. Di sisi lain, ia berharap sikapnya tidak dipandang sebagai merongrong Yuta mengambil kesempatan itu untuk naik ke atas dan berkonsultasi dengan Kansuke dan memutuskan jalur masuk korban dan pembunuhnya, atau para pembunuhnya, sekaligus mengarahkan kanvasnya.   Liliana menilai tempat kejadian, berusaha mengeluarkan semua materi pelatihannya. Siapa gadis ini? Apa yang terjadi padanya? Bagaimana ia bisa sampai ke sini? Siapa yang melakukan? Dan, untuk apa ini semua dilakukan? Lima belas menit kemudian, Hitoshi menyudahi   peme riksaan atas korban. Itu artinya para detektif bisa mendekat dan memulai penyelidikan mereka. Kevin Yuta kembali, Liliana dan Hitoshi menemuinya di ujung tangga.   Yuta bertanya, "Kau sudah dapat waktu kejadian?" "Belum ada. Kurasa sekitar pukul empat atau lima pagi ini." Hitoshi melepaskan sarung tangan plastiknya Yuta melirik ke arah arlojinya. Liliana membuat catatan "Bagaimana dengan penyebab kematian?" tanya Yuta.   "Kemungkinan karena lehernya patah. Aku akan memeriksanya di ruang autopsi untuk lebih memastikan   "Apakah dia dibunuh di sini?"   Mustahil memastikan untuk saat ini. Tetapi perkiraanku, dia dibunuh di sini."   "Bagaimana soal tangannya?" tanya Yuta. Hitoshi terlihat muram. Ia menepuk saku kemejanya. Liliana   bisa melihat lekukan sekotak Marlboro di sana. la pasti tidak akan merokok di tempat kejadian perkara, bahkan tempat seperti ini, tetapi gelagatnya menunjukkan ia ingin memastikan saja.   "Terlihat seperti mur baja dan baut." ujarnya.   "Apakah mur itu dilakukan postmortem?" tanya Liliana, berharap jawabannya adalah ya. "Bisa kubilang begitu," kata Hitoshi. "Darahnya sangar   sedikit. Aku akan memastikannya sore ini. Aku akan memberi   tahu lebih banyak nanti."   Hitoshi menatap ke arah mereka tak mendapati pertanyaan berikutnya. Berjalan ke arah tangga, rokoknya sudah dikeluarkan dan dinyalakan begitu tiba di ujung atas tangga.   Keheningan menyergap ruangan itu selama beberapa saat. Kerap, di tempat terjadinya pembunuhan, saat korban adalah anggota geng yang ditembak rival atau preman yang digebuki di belakang bar oleh jagoan lain, suasana hati di antara para profesional berpindah ke penyelidikan, pengusutan, pemeriksaan. Dan pembersihan setelah pembunuhan adalah satu dari kesopanan singkat, terkadang bahkan olok-olok ringan. Humor gelap, lelucon kering. Tidak untuk kali ini. Semua orang di tempat lembap dan tersembunyi ini melaksanakan tugas mereka dengan kesungguhan yang muram, satu kesepakatan: tindakan ini salah.   Yuta memecahkan keheningan itu. Ia mengulurkan tangan, menengadahkan telapaknya. "Siap untuk memeriksa identitas, Detektif Lee?"       Lilian menarik napas panjang, menenangkan diri. "Baik lah," ujarnya, berharap tak terdengar terlalu gemetar seperti perasaannya. Ia sudah mengantisipasi saat seperti ini selama berbulan-bulan, tetapi sekarang ia mendapati dirinya sama sekali tidak siap. Sambil memasang sarung tangan lateks, a menghampiri tubuh gadis itu dengan hati-hati.   la sudah pernah, tentu saja, melihat banyak mayat di masa tugasnya di jalanan dan di unit kendaraan bermotor. Pernah, suatu kali, ia harus menjaga satu mayat di kursi belakang sebuah Lexus curian dalam suhu 21 derajat celcius di jalur ekspres Schuylkill, berusaha tak melihat ke arah mayat itu, yang rasanya menggembung setiap. menit di mobil menyesakkan itu.   Dalam semua contoh itu, Lilian tahu, ia menyerahkan semua penyelidikan   Sekarang adalah gilirannya. Orang lain meminta bantuan kepadanya.   Di hadapannya ada mayat gadis muda yang tangannya dimur dalam posisi berdoa. Lilian tahu bahwa tubuh korban itu, di tahap sekarang ini, menawarkan banyak hal, dalam soal petunjuk. Ia tidak akan pernah lagi bisa sedekat ini pada pembunuhnya pada metodenya, patologinya, jalan pikirannya. Lilian membuka mata lebar-lebar, indranya menajam.   Dalam tangan gadis itu ada sebuah rosario. Dalam agama Katolik Roma, rosario adalah satu untaian manik yang membentuk lingkaran, dengan satu liontin salib, biasanya terdiri atas lima set manik yang disebut persepuluhan, masing-masing terdiri atas satu manik besar dan sepuluh manik lebih kecil. Pada manik yang besar, Doa Allah diucapkan. Pada manik y kecil, Doa Maria yang lebih   Saat mendekat, Lilian melihat, rosario itu terbuat dari manik kayu oval hitam berukir, dengan sesuatu yang tampaknya seperti pusat Madonna dari Lourdes. Rosario itu dilingkarkan pada buku jari gadis itu. Rosario itu terlihat biasa saja, bukan rosario mahal, tetapi saat diamati lebih dekat. Lilian memerhatikan bahwa dua manik dari persepuluhan sudah hilang ben   Ama   Вран   Dengan lembut ia memeriksa kedua tangan gadis itu. Kuku jarinya pendek dan bersih, menunjukkan tidak adanya perlawanan. Tidak ada yang patah, tidak ada darah. Sepertinya tidak ada materi di bawah kakinya, meski mereka nanti akan membungkus mayat itu. Mur yang menembus tangan gadis itu masuk dan keluar di tengah telapak tangannya dan dibuat dari baja berlapis seng. Mur itu agaknya baru, dan panjangnya sekitar sepuluh sentimeter,   Lilian mengamati lebih dekat tanda di dahi gadis itu. Noda tersebut membentuk tanda salib biru, seperti abu yang dipakai pada Rabu Abu. Meski Lilian bukan penganut yang taat, ia masih tahu dan mengikuti hari-hari suci utama Katolik. Ini sudah hampir enam minggu sejak Rabu Abu, tetapi tanda ini masih baru. Seperti dibuat dari bahan berkapur.   Terakhir, Lilian melihat label di bagian belakang sweter gadis itu. Terkadang tempat binatu meninggalkan tanda dengan seluruh atau separuh bagian dari nama pemiliknya. Tidak ada sama sekali.   Lilian berdiri terhuyung, tetapi yakin sudah melakukan pemeriksaan yang relevan. Minimal untuk pemeriksaan awal. "Ada identitas?" Yuta berdiri di dekat dinding, mata cerdasnya menyapu lokasi kejahatan, mengamati, menyerap "Tidak. jawab Lilian.   Yuta menyeringai, Setiap kali seorang korban tidak diidentifikasi di tempat kejadian, diperlukan waktu berjam-jam, kadang berhari-hari untuk menyelidiki. Waktu berharga yang tak bisa diulang lagi.   Lilian melangkah menjauhi mayat ketika petugas unit TKP memulai ritual mereka. Mereka akan memakai setelan Tyvek dan membuat garis batas ruang, melakukan foto terperinci atas tempat kejadian perkara, dan juga merekam dalam bentuk video. Tempat ini adalah sebuah cawan petri subkemanusiaan. Mungkin akan ada jejak tiap gelandangan Philly Utara di sini. Unit TKP akan ada di sini sepanjang hari. Mungkin bahkan sampai larut malam. Lilian melangkah ke arah tangga. tetapi Yuta masih tinggal. la menunggu Yuta di ujung atas tangga, sebagian karena ingin melihat apakah ada hal lain yang akan diperintahkan mitranya sebagian lagi karena ia sungguh tidak ingin menjadi orang yang memegang kendali penyelidikan. Setelah beberapa saat, ia berjalan menuruni beberapa anak tangga, mengintip ke arah ruang bawah tanah, Kevin Yuta   berdiri di dekat mayat gadis muda itu, kepalanya menunduk,   matanya terpejam. la meraba bekas luka di atas mata   kanan,   lalu menjatuhkan kedua tangan ke pinggang, mengaitkan jari   jarinya. Setelah beberapa detik, ia membuka mata, membuar tanda salib, dan melangkah menuju ke tangga.   DI JALAN banyak orang berkumpul, saling berdesakan, tertarik kepada lampu poli yang memancar seperti kunang-kunang melihat cahaya. Kejahatan terlalu sering terjadi di bagian Philly Utara ini, tetapi tidak pernah berhenti memikat dan menarik perhatian warganya   Muncul dari lokasi, Yuta dan Lilian mendekati saksi yang menemukan mayat itu. Meski hari sedang mendung, Lilian meraup cahaya siang seperti wanita kelaparan, sangat lega bisa keluar dari kuburan lembap basah radi.   DeJohn Withers mungkin berusia empat puluh atau enam puluh tahun, sulit untuk menerkanya, la sudah tidak punya gigi bawah, dan hanya beberapa di bagian atas: la memakai lima atau enam kaus flanel dan sepasang celana kargo kotor, tiap kantongnya menggembung berisi rongsokan urban misterius   "Berapa lama aku harus tinggal di sini?" tanya Withers. "Punya janji yang mendesak, rupanya?" jawab Yuta.. "Aku tak sudi bicara padamu. Aku sudah lakukan yang   benar dengan melaksanakan tugas sipilku dan sekarang aku diperlakukan seperti penjahat." "Apakah ini rumahmu, Sir?" tanya Yuta, menunjuk ke   rumah TKP "Bukan." jawab Withers. "Hukan rumahku "Jadi kau bersalah karena menerobos mavuk." Aku tak menerobos apa pun.   "Tapi kau masuk   Withers berusaha mencerna konsep itu, seolah menerobos dan masuk, seperti negara dan Barat, adalah sesuatu yang tidak   bisa dipisahkan. Ia tetap diam. "Sekarang, aku akan lupakan kejahatan serius ini jika kamu   menjawab beberapa pertanyaanku." kata Yuta.   Withers menatap sepatunya merasa kalah. Lilian memerhatikan bahwa pria itu memakai sepatu hitam sobek berhak tinggi di kaki kiri dan Air Nike di kaki kanannya.   "Kapan kau menemukan gadis itu?" tanya Yuta.   Withers mengerutkan dahi. la menarik ke atas lengan kaus rangkapnya, menunjukkan lengan berlcuru yang kurus. "Apa ini terlibar aku punya jam?" "Apakah terang di luar, atau gelap di luar?" tanya Yuta.   Terang."   "Apa kau menyentuhnya?" Apa?" Withers membentak dengan kemarahan yang nyata.   "Aku ini bukan orang sesat. "Jawab saja pertanyaannya, Mr. Withers.   Withers bersedekap, menunggu sejenak. "Tidak, aku tidak melakukannya."   "Ada orang lain bersamamu ketika kau menemukan gadis   itu?" "Tidak."   "Apakah kau melihat orang lain di sekitar sini?"   Withers tertawa, dan Lilian langsung terpapar bau napasnya. Kalau kau mencampurkan mayones busuk dengan salad telur basi seminggu. lalu ditambah dengan sedikit cuka cair encer, kombinasi itu akan berbau sedikit lebih baik. "Siapa yang mau ke sini?"   Itu adalah pertanyaan yang bagus. "Kau tinggal di mana?" tanya Byme.   "Sekarang ini aku menginap di Four Seasons," jawab Wither Yuta menekan senyumnya. la menahan pena, beberapa sentimeter dari kertas.   "Aku tinggal di My Brother's House," tambah Withers, "Ketika mereka punya kamar kosong."   "Kami mungkin perlu bicara denganmu lagi." "Aku tahu, aku tahu. Jangan ke luar kota."   "Kami hargai hal itu."   "Apa ada imbalannya?"   "Hanya dari surga," jawab Yuta. "Aku tak akan masuk surga," kata Withers.   "Lihat di bagian transfer saat kau masuk ke tempat penyucian   dosa," kata Yuta Withers mengerutkan bibir.   "Saat kau membawanya untuk mendapatkan kesaksian, aku ingin dia dibersihkan dan semua barangnya dicatat," kata Yuta kepada Davis. Interogasi dan kesaksian dilakukan di Gedung Bundar. Menginterogasi para tunawisma biasanya singkat saja karena faktor kutu dan sempitnya ruang wawancara.   Penuh keraguan, Petugas J. Davis memandangi Withers dari atas ke bawah. Cemberut di wajahnya seolah meneriakkan: aku   harus menyentuh kantong penyakit ini? "Ambil juga sepatunya," tambah Yuta.   Withers sudah membuka mulut untuk protes ketika Yuta mengangkat tangan, menghentikannya. "Kami akan memberimu sepasang sepatu baru, Mr. Withers."   Awas kalau sepatu jelek," kata Withers. "Aku banyak berjalan kaki. Aku baru saja mendapatkan ini."   Yuta menoleh pada Lilian. "Kita bisa memperluas kanvas, tetapi kurasa kemungkinan besar korban tidak tinggal di sekitar sini," ujarnya, penuh retorika, Sangat sulit memercayai bahwa orang mau tinggal di sini, apalagi keluarga kulit putih dengan anak yang bersekolah di sekolah paroki.   "Dia sekolah di Akademi Nazarene," kata Lilian. "Dari mana kau tahu?" "Seragamnya." “Kenapa?"   "Aku masih menyimpannya di lemariku," kata Lilian. "Nazarene adalah almamaterku."    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN