4 Thanks Kak Gava

1955 Kata
Melupakan sesaat drama hampir jatuh lagi dan lagi lalu bertemu orang yang sama, Heartsa segera menghampiri meja di mana Nick dan kedua orang tuanya berada. “Hay baby! Lama sekali.” “Ya sorry tadi aku teleponan sama mama.” Gabriella ibu Nick tersenyum hangat menyambut Heartsa memberikan pelukan hangat. “It’s so lovely to finally meet you, dear. Nick has told us so much about you.” John, yang duduk di sebelahnya, mengangguk dengan senyum ramah. “Yes, we’ve been looking forward to this meeting. Nick seems very happy with you.” Heartsa mencoba membalas dengan senyum, meski hatinya masih berdebar setelah pertemuannya dengan Gava manusia aneh itu.“Thank you, I’m happy to meet you both too.” Gabriella melanjutkan, “How was your trip so far? I hope everything’s been comfortable for you?” Heartsa berusaha menjawab dengan tenang, meski pikirannya masih kacau. “It was great, thank you. Everything’s been wonderful.” John tertawa ringan. “That’s good to hear. Nick’s been very excited about this trip, and we wanted it to be special for both of you.” Heartsa tersenyum, meskipun sesekali ia mencuri pandang ke sekeliling restoran, memastikan apakah Gava masih ada di sana atau tidak. Kenapa rasanya takut bertemu Gava lagi, kenapa sialan itu berulang-ulang terjadinya. Kehilangan fokus karena terlalu banyak pikiran, atau karena bertemu seseorang dan mengacaukan fokusmu? Melihat aku misalnya. Damn it... Heartsa mendadak ingat kembali ucapan Gava tadi, astaga dia terlalu percaya diri. Ah ya dia tahu itu bercanda tapi seingat Heartsa, Gava yang dia kenal dulu sangat pendiam, dingin dan astaga bahkan dia yang dulu mengejar-ngejar anak laki-laki itu. Ya, belasan tahun berlalu siapa yang bisa tahu seperti apa seseorang di masa depan. Pertemuan Heartsa dengan kedua orang tua Nick berjalan lebih baik dari yang dia bayangkan. Gabriella dan John ternyata orang-orang yang ramah dan mudah diajak bicara, membuat Heartsa merasa lebih nyaman meskipun rasa gugup masih ada di benaknya. Setelah makan siang, mereka memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar villa. Pemandangan alam Bali yang indah mengelilingi mereka, menciptakan suasana tenang yang membantu Heartsa sedikit melupakan pertemuan mengejutkannya dengan Gava sebelumnya. Gabriella bercerita tentang bagaimana dia dan John sering menghabiskan liburan di tempat-tempat tropis, sambil menunjuk berbagai sudut villa yang memukau. John, yang lebih pendiam, hanya tersenyum dan sesekali menambahkan komentar kecil, seperti, “The view here is just spectacular, don’t you think?” Heartsa mencoba mengikuti percakapan, meskipun pikirannya sesekali melayang kembali ke momen ketika Gava tiba-tiba muncul di restoran. Dia tak bisa menghilangkan bayangan tatapan Gava yang terpaku padanya setelah dia terjatuh, atau bagaimana dia harus memanggilnya ‘Kak Gava’ lagi, seperti dulu. Semuanya terasa begitu aneh dan mengacaukan pikirannya. Setelah beberapa lama berjalan, mereka akhirnya kembali ke kamar masing-masing untuk beristirahat. Sesaat setelah menutup pintu kamarnya, Heartsa menarik napas panjang, merasa lega bisa menyendiri sejenak di mana Nick juga ada urusan mendadak. *** Beberapa jam kemudian.... Malam mulai merangkak naik, dan Heartsa bersiap untuk menemani Nick bertemu dengan salah satu klien pentingnya di sebuah Beach Club malam ini. Nick adalah pebisnis beberapa tempat hiburan dan restoran jadi dia bisa melakukan pertemuan seperti ini. Kali ini Heartsa memilih penampilan yang sangat berbeda dari siang tadi. Kali ini, dia mengenakan dress chiffon berwarna putih gading yang memeluk tubuhnya dengan sempurna, menonjolkan lekuk-lekuk tubuhnya dengan elegan. Dress itu memiliki potongan rendah di bagian d**a dan punggung, menambah kesan berani namun tetap classy. Roknya jatuh sedikit di atas lutut dengan belahan tinggi di satu sisi, memperlihatkan kakinya yang jenjang setiap kali dia melangkah. Pilihannya ini adalah sesuatu yang dia anggap cocok untuk suasana malam di Bali, terutama di lingkungan tempat hiburan malam yang sering Nick kunjungi. Dengan cuaca hangat dan suasana tropis, Heartsa merasa lebih bebas berekspresi dalam berpenampilan. Dia memadukan dress itu dengan sandal heels hitam dan tas clutch kecil yang memberikan sentuhan glamor, sementara rambutnya yang panjang dan bergelombang dibiarkan tergerai indah, memberikan kesan santai namun elegan. Di sebuah meja vip Beach club yang sama Gava dan teman-temannya juga ada di sana, Gava berpamitan pada ayah Bunda menemui Medina teman kencannya yang sedang stay di Bali sebelum dua hari lagi Medina terbang. Medina lalu mengajak Gava menemui teman-temannya di Maskapai lama mereka yang kebetulan ada di sana. Suasana beach club di pinggir pantai Bali terasa hidup dan energik. Gava dan teman-temannya duduk di area VIP, langsung menghadap lautan gelap yang memantulkan cahaya bulan, sementara live music mengisi udara, bersanding dengan gemuruh ombak. Lampu neon pink, biru, dan ungu berpadu dengan dekorasi tropis, menciptakan atmosfer santai namun elegan. Gelas bersulang, tawa, dan obrolan ramah menggema, sementara pelayan hilir mudik menyajikan koktail dan seafood segar, membuat malam terasa hangat dan penuh kebebasan di bawah langit Bali yang cerah. Rio teman Gava sedang menceritakan kisah lucu tentang salah satu penerbangan internasionalnya, membuat semua orang tertawa lepas. Gava, meskipun tidak banyak bicara, tetap terlihat menikmati momen tersebut. Medina sesekali menyandarkan kepalanya ke bahu Gava sambil tertawa kecil, menunjukkan kenyamanan di antara mereka. Para pramugari dan teman-teman lama yang duduk bersama Gava terlihat sangat antusias bertemu kembali dengannya. Sasha, salah satu pramugari, mengangkat gelasnya tinggi-tinggi. “To old memories and new flights! Semoga karier kita makin terbang tinggi!" "Cheers!" Semua orang tertawa dan bersulang, suasana terasa sangat hangat meski obrolan mereka diisi dengan sindiran santai. "Eh, inget nggak sih dulu kita pernah stuck di bandara Manila gara-gara cuaca buruk? Lo, Gav, udah cool aja, sementara kita semua udah setengah panik." Gava hanya mengangkat alisnya, tersenyum simpul. "Namanya juga pilot, harus cool. Kalau gua panik, kalian jadi apa?" Semua orang tertawa lagi, menikmati candaan ringan di antara mereka. Sasha kemudian menyindir lagi soal Gava yang masih jadi incaran banyak pramugari baru. "Tapi serius deh, Gav. Lo nggak kangen sama maskapai lama kita?” Gava mengangkat gelasnya, tersenyum dengan gaya khasnya yang cool tapi ramah. "Gua udah nyaman sama ritme baru." “Tapi lo masih aja ya jadi hot topic di kalangan pramugari-pramugari, kayak Hot Item paling di diincar banyak cewe.” Gava senyum tipis, santai tapi tetap cool. “Halah, biasa aja. Lebay lo.” Medina tertawa kecil, menyikut lengan Gava. “Biasa aja gimana? Liat aja deh tiap kali kita jalan, pasti ada aja cewek yang curi-curi pandang ke kamu. Mana, Gava tuh emang friendly banget sih, gara-gara itu cewek-cewek jadi sering salah paham." “Ya bener, ingat gue.” Sambung Sasha. “Iya, lo tuh udah kayak urban legend di maskapai lama kita, Gav. Cewek-cewek masih ngomongin lo terus, padahal lo udah pindah maskapai.” “Ah berlebihan lo semua!” Di tengah gelak tawa dan obrolan hangat, meja mereka benar-benar menjadi pusat perhatian, meskipun suasananya tetap terasa eksklusif dan penuh dengan nostalgia. Di tengah obrolan yang ramai, Gava tiba-tiba terdiam. Tawanya meredup, pandangannya tertuju ke arah meja lain. Di sana, di bawah sinar lampu temaram yang menghiasi sebuah meja, duduk seorang perempuan dengan dress putih yang pas di tubuhnya, memperlihatkan lekuk tubuh Heartsa dengan sempurna. Rambutnya tergerai indah, sedikit bergelombang, menambah kesan elegan. Heartsa duduk sendirian di salah satu sofa mewah, mensesap wine merah dengan anggun. Ada sesuatu tentang cara dia memegang gelas itu—tenang tapi terkesan sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri. Cahaya lampu di sana yang berwarna keemasan memantul di kulitnya yang bercahaya, menciptakan aura misterius di sekelilingnya. Gava tidak bisa berpaling. “Heartsa?” pikirnya dalam hati lebih ke pertanyaan ha bertemu dia lagi? Ini benar-benar dia. Gadis kecil yang dulu mengirim surat-surat cinta polos padanya. Tapi kali ini dia terlihat sangat berbeda—dewasa, anggun, dan sangat memikat. Gava hanya menggeleng pelan, matanya tetap terpaku pada Heartsa. Pikirannya berputar-putar. “Apa yang dia lakukan di sini? Kenapa dia sendirian?” Sementara itu, Heartsa, yang sedang duduk di seberang meja, sesekali memutar-mutar gelas winenya, tampak seperti tenggelam dalam pikiran. Tatapannya sesekali menyapu ruangan, tapi dia belum menyadari kehadiran Gava di sudut sana, di tengah keramaian. Di kepala Gava, berbagai kenangan masa kecil mereka mulai muncul, bercampur dengan kebingungan tentang perasaan lama di masa kecil mulai tumbuh kembali. Apa yang akan dia lakukan? Haruskah dia mendekatinya? Tapi dia ragu, mencoba menenangkan pikirannya yang mulai kacau. Gava memutuskan untuk tidak menyapa Heartsa. Dia merasa itu hanya akan membuat suasana menjadi canggung—terkesan seperti sok akrab, padahal mereka belum berbicara selama bertahun-tahun. Selain itu, Gava tahu bahwa Heartsa sudah memiliki pasangan, dan itu yang membawanya ke Bali. Dengan pemikiran itu, Gava mencoba kembali ke realitas, dia menarik diri sesaat dari area di mana teman-temannya masih asyik bercanda. Di luar area Beach club, Gava menyalakan rokok, menarik napas dalam-dalam, membiarkan asapnya berbaur dengan angin malam Bali. Udara segar memberikan sedikit ruang bagi pikirannya yang kusut, namun bayangan wajah cantik Heartsa masih menghantui. “Beruntung banget cowok yang bisa dapetin dia,” ucapnya, sambil sesekali mengembuskan asap rokoknya. Tiba-tiba, dari sudut matanya, dia melihat sosok Heartsa berjalan keluar. Heartsa tampak kebingungan, matanya tampak seperti mencari sesuatu, namun tidak jelas apa yang dia cari. Langkahnya cepat, seolah dia terburu-buru. Gava mematung sejenak, memperhatikan dari jauh. Di luar area itu, beberapa pria yang berdiri di dekat pintu masuk mulai melontarkan godaan pada Heartsa. “Hey, cantik, mau ke mana sendirian?” salah satu dari mereka berseru sambil menyeringai, sementara yang lain menatapnya dengan tatapan kurang sopan. Heartsa berhenti, wajahnya sedikit cemas, dan tampak tidak nyaman dengan situasi tersebut. Dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Gava pun sementara hanya memperhatikan saja di sana. Ketika catcalling dari para pria di luar night club mulai semakin kasar dan membuat Heartsa ketakutan, tubuhnya membeku sejenak. Pandangannya melirik ke sekeliling, mencari jalan keluar, tapi tidak ada yang terlihat aman. Pria-pria itu mendekat dengan sikap semakin agresif, tawa mereka mencemari suasana malam yang sebelumnya tenang. Gava, yang masih mengamati dari jauh, langsung membuang puntung rokoknya dan melangkah cepat menuju Heartsa. Dia tidak bisa membiarkan ini terjadi. “Hei, ada masalah?” Gava mendekat dengan tatapan tajam, suaranya tenang namun penuh ketegasan. Para pria itu terdiam sejenak, tak menyangka ada seseorang yang akan menegur mereka. "Urusan lo apa?” salah satu dari mereka menjawab dengan nada menantang. Gava menatapnya tajam, lebih dekat lagi dengan postur tubuh yang jelas-jelas menandakan dia tidak akan mundur. “Gue bilang, ada masalah di sini?” Suara Gava terdengar lebih dingin, penuh ancaman tanpa perlu berteriak. Pria-pria itu saling pandang, tiba-tiba kehilangan keberanian. “Nggak ada, bro, santai aja…” salah satu dari mereka akhirnya menyerah, mencoba menghindari konflik. Mereka pun mundur, meninggalkan Gava dan Heartsa di depan pintu Beach club. Heartsa menghela napas lega, matanya masih sedikit terbelalak karena kejadian tadi. “Thanks, Kak Gava...” ucapnya pelan, suaranya bergetar. Sekali lagi, Gava datang menyelamatkannya. Gava hanya mengangguk sambil memastikan para pria itu benar-benar pergi. “Kamu nggak apa-apa?” tanyanya, suaranya lebih lembut kali ini. Heartsa menggigit bibirnya pelan, berusaha menahan rasa kesal yang menyusup di dadanya. “I’m okay,” ucapnya, mencoba menutupi kecanggungan dan ketakutannya yang masih terasa. Namun, di dalam hatinya, dia sebenarnya marah. Nick, kekasihnya, entah ke mana hilangnya. Meninggalkan dia sendirian di meja selama hampir satu jam, bahkan saat suasana semakin ramai dan mulai terasa tidak nyaman. Biasanya, papa atau mamanya tidak akan membiarkan dia sendirian, tapi kali ini dia memohon agar bisa pergi sendiri. Dia sudah dewasa, kan? Tapi sekarang, dia menyesali keputusannya. Gava menatap Heartsa, melihat ketegangan yang jelas di wajahnya meskipun dia berusaha menyembunyikannya. Dia bisa merasakan ada yang tidak beres, tetapi tidak ingin mendesak lebih jauh. “Kalau kamu butuh di temenin balik ke dalam atau sampai villa, just let me know, ya,” kata Gava, nada suaranya penuh perhatian. Walaupun sudah bertahun-tahun sejak terakhir kali mereka bertemu, masih ada rasa tanggung jawab yang muncul ketika melihat Heartsa dalam situasi seperti ini. Heartsa menatap Gava sejenak, terkejut dengan tawaran itu. “Thanks, Kak,” jawabnya, kali ini tanpa ragu, tapi dengan sedikit senyum gugup di wajahnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN