Mobil Gava melaju pelan, sudah dua kali berputar mengelilingi jalanan villa yang sama. Namun, Heartsa tampak masih kebingungan belum menentukan tujuan pasti. Biasanya, Gava tidak sabar dalam situasi seperti ini—terlebih ketika seseorang belum punya rencana. Tapi malam ini berbeda. Entah kenapa, dia merasa bisa menunggu seumur hidup jika itu berarti bisa bersama Heartsa sedikit lebih lama.
Dia bahkan mematikan semua ponselnya, mengabaikan panggilan dan pesan yang masuk. Itu bukan hal yang biasa dilakukannya—Gava selalu sibuk. Tapi untuk kali ini, dia rela mengorbankan semuanya. Rasanya seperti momen ini adalah sesuatu yang sangat berharga, lebih berharga dari apapun yang ada di luar sana.
“Kak, aku... aku masih nggak tahu mau ke mana,” suara Heartsa terdengar lemah, membuat Gava sedikit menoleh padanya.
“Kamu nggak perlu buru-buru. Kita keliling sampai kamu lebih tenang. Its okay mumpung aku juga tidak ada urusan.”
Gava hanya tertawa dalam hati, merasa aneh dengan dirinya sendiri.
Captain tolool!
Heartsa duduk diam, menatap kosong keluar jendela, pikirannya penuh. Dia tahu Nick pasti sudah sampai di villa sekarang, mungkin sedang panik mencarinya. Tapi entah kenapa, kali ini dia tidak peduli. Nick telah mengacaukan semuanya—bayangan liburan indah yang seharusnya penuh kebersamaan berubah menjadi kekecewaan. Malam-malam yang mereka rencanakan untuk dihabiskan bersama terasa sia-sia setelah Nick lebih memilih pekerjaannya.
“Biarkan saja dia panik,” pikir Heartsa dalam hati. Ini bukan sekadar pelarian, ini adalah caranya memberikan pelajaran pada Nick. Seolah ingin membuktikan bahwa ia juga punya batas. Heartsa ingin Nick tahu, bahwa dia tidak akan terus menerus menunggu dan memaklumi.
Gava berpura-pura menghela napas, menatap jalanan dengan ekspresi tenang namun penuh arti. "Yakin nggak masalah?" tanyanya, suaranya terdengar seolah tulus peduli. "Mungkin dia memang benar-benar sibuk tadi. Paling tidak, dia benar bekerja, bukan... menemui perempuan lain. Ya, meskipun siapa yang tahu, kan?"
Heartsa mendadak tersentak. "Ha? Perempuan lain?" gumamnya, matanya sedikit melebar. Gava bisa melihat keraguan mulai merayapi pikirannya.
"Ya... maksudku, aku cuma bilang, kita nggak pernah tahu apa yang benar-benar terjadi, kan?" Gava menambahkan, kali ini dengan nada lebih santai, seolah tidak ingin terlihat terlalu memprovokasi, padahal dalam hati, dia senang melihat bibit-bibit keraguan mulai tumbuh di dalam pikiran Heartsa.
Captain Iblis! iya lanjutkan!
Ini Fakta siapa yang tahu itu benar adanya lagian cewek spek begini di tinggalin sendiri, tau bokap nyokapnya lo kira aman Nick bule berjamur? jamur apanya yang berjamur?
Heartsa sebenarnya tidak pernah berpikir ke arah itu, meskipun mereka menjalani hubungan jarak jauh lalu pertemuan dengan Nick hanya terjadi beberapa kali sebulan ketika Nick ke Jakarta, tempat kantor utamanya berada. Selama ini, Heartsa selalu percaya dengan Nick Namun, ucapan Gava tadi entah bagaimana berhasil membuat celah di pikirannya.
Untuk pertama kalinya, keraguan mulai mengganggunya. “Entahlah, Nick terlihat sangat setia, dia begitu berusaha untuk kami selalu bersama-sama.” pikir Heartsa, sementara hatinya mulai terbelah antara percaya dan kecurigaan.
Sampai kemudian tiba-tiba Heartsa melihat pada Gava, “Boleh numpang di kamar kakak? Ah maksudnya untuk bersembunyi sebentar, aku mau lihat gimana Nick, aku janji nggak akan ganggu kakak tidur. Aku nggak akan repotin kakak, aku mungkin Cuma numpang di sofa aja.”
Gava terkejut mendengar permintaan Heartsa. Ia menatapnya sejenak, mencoba menangkap maksud di balik permintaannya. “Kamarku?”
“Ya, ngga boleh ya?”
Gava mengangkat alisnya, ragu sejenak. “Kamu yakin mau sembunyi di kamarku? Yakin,” jawabnya, mencoba terdengar santai meskipun jantungnya berdebar lebih cepat. Bagi Gava, ini adalah kesempatan emas untuk lebih dekat dengan Heartsa. Dia pura-pura saja berlagak terkejut dan basa-basi.
Wow wow wow wow..
Beri tepuk tangan sekaligus kaki hey!
“Ya."
Heartsa mengangguk, meski ada keraguan di matanya. “Iya, aku yakin. Cuma sebentar, aku janji. Aku hanya butuh tempat untuk bersembunyi dari Nick,” jawabnya, mencoba meyakinkan Gava.
Gava menghela napas, merasa lega sekaligus bersemangat. “Ya, kalau itu bisa membantu.” Gava tahu situasi ini bisa jadi berisiko, tetapi keinginan untuk membantu Heartsa dan dorongan untuk lebih dekat dengannya membuatnya sulit untuk menolak.
Bangunan Villa yang Gava tempati bersama keluarganya memiliki 3 kamar tidur, kebetulan kamar yang Gava tempati berada di area luar langsung bisa di akses tanpa perlu masuk ke dalam villa.
Jarak antara villa tempat Gava dan keluarganya tinggal dengan villa yang dihuni Nick hanya selang beberapa bangunan Villa aja. Jika berada di lantai atas kemungkinan bisa melihat area kamar yang di tempati Nick dengan jelas.
Gava membuka pintu dengan lembut, memberi ruang bagi Heartsa untuk masuk ke dalam kamarnya. Begitu memasuki ruangan, aroma maskulin yang kuat dan hangat langsung menyambutnya. Bau segar dari parfum yang dikenakan Gava mengisi udara.
Gava mempersilakan Heartsa masuk ke dalam kamar, sambil menunjukkan ke arah sofa yang nyaman. “Silakan duduk. Atau mungkin kamu butuh ke toilet dulu?”
Heartsa tersenyum sedikit, merasa diperhatikan. “Tidak.Terima kasih,” jawabnya sambil duduk di sofa, meski masih tampak gelisah.
Gava mengangguk, kemudian pergi menuju mini bar di sudut kamar untuk menyiapkan minuman. Saat dia mengaduk minuman, dia mencuri pandang ke arah Heartsa. Meskipun suasana canggung, dia merasa senang bisa menghabiskan waktu bersamanya, bahkan dalam keadaan yang tidak ideal sekalipun.
Gava membawakan minuman dan duduk di samping Heartsa. “Kalau kamu mau, kita bisa naik ke atas dan jumpa ayah, bunda dan juga Giandra.” katanya dengan nada penuh perhatian.
Heartsa menatapnya dengan ragu. “Yang bener aja, kak! Semua bisa tahu kalau aku nggak baik-baik saja. Papa pasti marah, apalagi mama aku. Aku nggak tahu mereka nginap di mana sampai sekarang,” jawabnya, suaranya sedikit bergetar.
Heartsa mulai menikmati minuman yang diberikan Gava, sambil merenungi Nick yang mungkin benar ada wanita lain. Pikirannya berputar, menimbang apa yang selama ini ia percayai tentang hubungan mereka.
Gava lalu menggodanya, “Bengong lagi, kamu nggak suka soft drink? Sepertinya sudah legal minum yang beralkohol tadi?”
Heartsa menatapnya dengan sinis. “Kakak lihat aku? Ya enggak lah itu Cuma sedikit paling juga seteguk doang. Udah segede ini, semuanya masih di larang,” jawabnya sambil tersenyum kecil, sedikit meremehkan.
Gava tertawa ringan. “Ya, aku juga melarang Giandra untuk itu.”
Basa-basi pun terjadi. “Jadi, kakak, apa kabar? Lama sekali tidak bertemu. Sepertinya sudah sangat sukses sekarang…”
“Sukses? Biasa aja,” balas Gava, tersenyum tipis. “Kamu sudah jadi influencer, aku lihat. Ini yang suka bicara di sosmed itu? Tapi Galau karena ditinggal sendiri di beach club?” godanya, membuat Heartsa tertawa.
“Ya gak semua di sosmed itu benar-benar adanya,” jawab Heartsa sambil tersenyum lebar, merasa diejek dengan cara yang menghibur. “Kakak lihat sosmed aku?”
“Ayah dan bunda kadang suka kasih lihat. Mereka bangga sama kamu."
Heartsa sedikit terkejut, tapi juga tersentuh. “Beneran? Aaaa aku jadi malu.”
Malam merangkak naik, menciptakan suasana hangat dan akrab antara Gava dan Heartsa. Mereka mengisi waktu dengan obrolan santai tentang masa kecil mereka, tertawa mengenang saat Heartsa yang ganjen selalu mengirim surat cinta pada Gava.
Setelah bercanda dan berbagi cerita, mereka memutuskan untuk nonton film.
Namun, tak lama setelah film dimulai, Gava tak sadar ketiduran di sofa, tubuhnya yang lelah terkulai dalam suasana nyaman malam itu dia ngantuk sekali.
Heartsa, meski awalnya menikmati film, perlahan-lahan merasa emosinya bergejolak mengingat Nick apa lagi tinggal dia sendiri yang tidak bisa memejamkan mata di sana.
Heartsa, yang tidak bisa tidur, merasa gelisah di dalam kamar Gava. Suasana hening dan lampu redup hanya menambah kesunyian di hatinya. Dengan perlahan, ia bangkit dan berjalan menuju mini bar yang ada di sudut ruangan. Ketika membuka pintu mini bar, matanya tertuju pada botol minuman beralkohol yang bersinar dalam kegelapan.
Tanpa berpikir panjang, Heartsa mengambil salah satu botol dan menuangkan isinya ke dalam gelas. Dengan tangan bergetar, dia menenggak minuman itu, merasakan hangatnya cairan menyusuri tenggorokannya. Setiap tegukan seolah mengusir sejenak kepedihan yang ada di hatinya, meski hanya untuk sementara.
Heartsa mengedarkan pandangannya di dalam ruangan, berusaha merangkai kepingan-kepingan pikirannya. Setiap momen yang ia habiskan bersama Nick kini terasa penuh dengan keraguan dan kekecewaan. Ia mengingat semua hal ketika Nick mengabaikan pesan-pesannya, jam-jam di mana panggilannya tak pernah terjawab, dan rencana-rencana yang selalu dibatalkan dengan alasan sibuk bekerja.
“Apakah aku terlalu naif?” pikirnya. “Apa mungkin semua ini hanya alasan untuk menutupi sesuatu yang lebih besar? Kenapa tidak pernah berpikir ke arah sana.”
Heartsa patah hati dia menenggak banyak cairan beralkohol itu, ini pertama kalinya baginya menenggak banyak sekali seperti ini.
Heartsa terus menenggak minuman beralkohol itu. Setiap tegukan seolah menghilangkan rasa sakit di hatinya, meskipun ia tahu itu hanya sementara. Dia tidak pernah berani minum sebanyak ini sebelumnya. Hanya dalam beberapa menit, pikirannya mulai terasa kabur dan ringan, mengalihkan perhatiannya dari kenyataan pahit yang menantinya.
“Kenapa harus terasa seburuk ini? Ini bukan pertama kali Nick seperti ini, Heartsa kenapa kau sebodoh ini. ” gumamnya pelan, menatap kosong ke arah cermin di dinding. Ia tidak mengenali dirinya sendiri—perempuan yang biasanya ceria dan penuh semangat kini berubah menjadi sosok yang meragukan cinta dan pengorbanan.
Heartsa seperti tidak mengenali dirinya sendiri—perempuan yang biasa penuh semangat kini berubah menjadi sosok yang aneh, dia mulai menyadari kelemahannya yang terlalu mempercayai Nick. Belum lagi ada beberapa perempuan yang sering dia lihat ada fotonya di ponsel Nick.
Astaga Heartsa.... Tolol....
Beberapa jam kemudian....
Bugh
Gava terbangun dengan kaget sebab pukulan kuat di bahunya, matanya yang berat berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya remang-remang di kamar. Dalam keadaan setengah sadar, ia melihat Heartsa berdiri di depannya, tatapannya tajam dan penuh emosi.
“Heartsa?” gumamnya, suaranya serak akibat tidur.
Namun, nada bingung dan terkejut itu segera hilang ketika ia merasakan tekanan lembut di rahangnya, tangan Heartsa menahannya dengan kuat.
“Apakah semua pria itu berengs3k ha?” tanya Heartsa, suaranya menggema dalam keheningan malam. Setiap kata yang keluar dari bibirnya terdengar penuh kepedihan dan frustrasi. Dia menatap Gava dengan intens, seolah mencari jawaban yang tidak bisa ia temukan.
“A-apa yang terjadi?” tanyanya, berusaha untuk bangkit dari sofa.
Heartsa tidak menjawab langsung, sebaliknya, ia menggigit bibirnya, menahan air mata yang sudah hampir tumpah. “Nick… dia… mungkin ada perempuan lain,” lanjutnya, suaranya bergetar, dan Gava bisa merasakan kepedihan yang mendalam di balik setiap kata.
“Heartsa…” Gava mulai berusaha mengulurkan tangan untuk menenangkan, namun Heartsa menolak, semakin memperkuat genggamannya di rahang Gava membuat laki-laki itu kebingungan.
"Apa semua pria tidak cukup satu wanita saja? Jawab aku!" Suaranya penuh dengan penekanan membuat suasana semakin menegangkan.
"A-apa maksudnya ini?" Gava menjawab, kata-katanya terputus semakin frustasi. Ia berusaha memahami maksud Heartsa, namun tatapan tajamnya membuatnya semakin terjebak dalam kegugupannya jarak ini begitu dekat bahkan bisa di bilang terlalu intim.
Dia mabuk?
Aroma alkohol begitu menyeruak dari mulut mungilnya, bagaimana bisa? Gava padahal sangat berusaha menjaga dia dengan baik bahkan tidak ingin berpikir yang aneh-aneh kali ini pada wanita khusus satu ini.
Heartsa tiba-tiba mendekat, suasana di antara mereka semakin intens. Dengan tegas, dia menjarakkan tubuhnya untuk berdiri lalu mendekatkan lagi lebih dari tadi, sampai kemudian dia naik ke paha Gava. Gava merasa seluruh tubuhnya terhanyut dalam momen ini dia merasa seperti sedang bermimpi.
Heartsa kemudian menangkup wajah Gava dengan kedua tangannya, menariknya lebih dekat. Sekali lagi, tanpa memberikan kesempatan untuk Gava berpikir, dia melumat bibir Gava dengan penuh emosi, seolah ingin menghapus semua keraguan dan rasa sakit yang mengganggunya.
What the F*ck!!!
Gava sesaat tenggelam dalam kehangatan lumatan bibir Heartsa. Namun, secepat itu pula, kesadaran menyergapnya. Rasa manis alkohol yang semula menggoda kini terasa pahit. Gava sadar ini bukan karena Heartsa menginginkan dia sebagai pasangannya; bisa jadi, dalam pikirannya yang kabur oleh alkohol dan kesedihan itu dia mengira Gava adalah Nick.
“HEARTSA…” Gava berusaha melengking meski suaranya lalu mendorong Heartsa. “Dia pria t***l dan berengs3k! Kau tidak pantas seperti ini.
“Nick kau pembohong!” Heartsa seakan sedang mengingat banyak hal tentang Nick.
“Persetan! Astaga! Bagaimana bisa ada manusia sebucin ini, bangun! Balas dia, balas!” Gava sungguh merasa kepalang tanggung tingkah Heartsa membangkitkan ke jantannya sebenarnya lihatlah dia sangat menggoda malah sudah naik kepahanya, namun kali ini Gava berusaha menahannya mendadak ingat orang tua mereka.