Heartsa atau gadis yang biasa di panggil Hesa, menarik napas dalam-dalam ketika pesawatnya mendarat mulus di Bandara Ngurah Rai, Bali. Sudah lama sekali sejak terakhir kali dia menginjakkan kaki di pulau ini. Kali ini, tujuan kedatangannya bukan hanya untuk liburan, tapi juga untuk bertemu dengan keluarga kekasihnya, Nick.
Hubungan mereka sudah berjalan hampir dua tahun, dan pertemuan ini bisa dibilang langkah penting menuju masa depan yang lebih serius. Nick, seorang pria Belgia yang lama tinggal di Bali untuk urusan bisnis, telah fasih berbahasa Indonesia dan merasa seperti di rumah di sini.
“Baby!” suara berat Nick menyambutnya di terminal kedatangan. Pria itu tinggi besar, dengan kulit putih bersih dan mata abu-abu yang meneduhkan.
“Hay, sudah lama menunggu?” Heartsa tersenyum, melepas lelah setelah perjalanan panjang.
“Tidak terlalu. Oh, Mom dan Dad kamu sudah di sini, aku ketemu mereka di depan,” kata Nick sambil merangkulnya.
Heartsa terkejut. “What? Mama Papa? Mereka juga datang? Nick, serius?” Dia sedikit shock, menyadari bahwa orang tuanya di sini tanpa memberitahunya. Ada rasa kesal yang muncul di dalam dirinya. Kenapa mereka tidak pernah memberinya kebebasan? Usianya bukan 10 tahun lagi.
Ya, mungkin wajar dia anak perempuan satu-satunya dan sang ayah begitu menyayanginya.
Nick tertawa kecil. “Bukan aku yang mengundang mereka. Mungkin mereka juga ingin liburan.”
Sambil mereka berjalan menuju mobil, mata Heartsa tiba-tiba menangkap sosok yang tidak asing di kejauhan. Seorang pria tinggi dengan rambut hitam sedikit berantakan sedang memeriksa ponselnya disana itu seperti pria yang menabraknya tadi.
Hanya sekilas, tapi kini Heartsa merasa mengenal pria yang di tempat jauh itu seperti pria yang nabrak tadi kan? tapi dia seperti sosok siapa ya?
Namun, sebelum dia bisa mengingat lebih jauh, Nick sudah menariknya menuju mobil.
“Ayo, baby!”
Di tempat parkir, Nick berjalan lebih duluan dengan langkah cepat membawa barang Heartsa sementara Heartsa di belakang sana berjalan lama sekali masih sibuk dengan minuman yang baru dia beli, dia tiba-tiba terperanjat melihat siapa yang keluar dari mobil yang baru saja dia lewati di parkiran itu.
“Om Galih? Bunda Gava? Mama papa?” seru Heartsa, tak percaya melihat kedua orang tuanya juga sahabat orang tuanya Galih dan Ririn benar-benar ada di sana.
"Hay sayang!" Jawab Sang mama tertawa.
"Mama, kenapa di sini?"
"Kenapa?"
"Ya tapi mama ngga bilang apa-apa."
“Heartsa! Ya ampun, kamu makin cantik saja, nak!” puji Bunda Gava sambil memeluknya erat mengalihkan wajah shock Heartsa.
“Bunda, mama? Kalian semua sedang liburan juga?” tanya Heartsa, sedikit shock namun ya masih bisa beraksi senang sebab bertemu dengan orang-orang yang sudah seperti keluarganya itu, Dia langsung menyalimi semua orang tua itu bergantian.
Sudah bertahun-tahun lamanya Heartsa tidak bertemu Galih,Ririn apalagi Gava anaknya padahal papa mama Heartsa masih selalu menjalin hubungan walaupun mereka sudah tinggal di berjauhan sekarang.
Galih tersenyum, “Iya, kami memang sudah lama merencanakan ini. Sayang sekali kamu datang karena urusan lain, jadi nggak bisa liburan bareng kami, ya?”
“Tenang aja papa mama ngga akan ganggu liburan kamu.” Celetuk Artha sang papa yang masih tampak dingin sejak argumen beberapa hari lalu dimana dia tidak mengizinkan anak gadisnya pergi, namun karena bujukan sang istri mengatakan Heartsa sudah dewasa dan akan bertemu orang tua Nick kekasihnya dia pun ya akhirnya terpaksa mengikhlaskan.
"Papa, apaan sih." Heartsa lalu tertawa kecil, “Hehe, ya Om. Aku di sini sama Nick pacar aku dan keluarganya, ada pertemuan penting soalnya.”
“Ok, Om mengerti. Sampaikan salam kami untuk Nick, ya!” Bunda Gava tersenyum hangat dia memperhatikan Heartsa dari atas hingga ke bawah.
Heartsa lalu berpamitan. “Salam untuk Kak Gava juga, Bund! Aku pamit dulu, ya! Bye Pa... Ma...”
“Jaga diri kamu, papa mama nanti juga ingin bertemu orang tua Nick.” Nadi Mama Heartsa pun merangkul putrinya lalu mengecup pipi anaknya
“Iya mommy ku sayang, Bye pa!”
“Eh, Gava juga sedang libur, lho. Dia tapi sedang ke toilet, ini Bunda lagi tunggu dia,” kata Bunda Gava sebelum Heartsa benar pergi
Gava?
Nama itu membuat Heartsa sejenak terdiam. Gava. Nama yang begitu akrab di telinganya, meski wajahnya kini terasa samar-samar dalam ingatannya. Sudah bertahun-tahun sejak mereka terakhir bertemu. Dulu, saat Heartsa masih di sekolah menengah itupun tanpa pernah ada komunikasi tapi kedua orang tua mereka selalu membahas masa kecil mereka yang menggemaskan di mana katanya Heartsa obses banget sama Gava.
Gava adalah sosok laki-laki yang selalu berhasil mencuri perhatiannya. Tapi waktu, jarak, dan kehidupan membawa mereka ke jalan masing-masing, hingga janji-janji masa kecil mereka pun terlupakan.
Apakah orang yang nabrak aku tadi dia Kak Gava. Ingat Heartsa seseorang dengan wajah yang Familiar dia lihat meski hanya beberapa kali di sebuah foto saat mereka sudah dewasa.
Heartsa tersenyum tipis. “Oh, benarkah?Sampaikan salamku, ya, Bund.”
“Okay cantik!”
Heartsa pun melanjutkan perjalanannya ke mobil Nick. Namun, pertemuan tak terduga itu kembali mengingatkan Heartsa pada masa kecilnya, khususnya pada sosok Gava. Dia tidak menyangka akan bertemu dengan keluarga Gava di sini, di Bali, dalam momen yang sangat kebetulan.
Di sisi lain, Gava keluar dari toilet, merapikan tasnya dan siap melanjutkan liburan bersama keluarganya. Namun, ketika dia mendekat ke tempat parkir, dia melihat sebuah mobil SUV yang baru saja melaju pergi. Sesuatu tentang mobil itu menarik perhatiannya melihat dari kaca sosok perempuan yang dia sebut Heartsa ada di sana. Seolah firasatnya mengatakan bahwa seseorang yang penting ada di dalamnya.
“Apa benar itu Heartsa?” gumam Gava pelan. Perasaannya campur aduk.
Di satu sisi, Gava sudah lelah menjalani hidupnya sendiri, bahkan mulai terkecoh pertanyaan sang Bunda kapan menikah lalu mengabulkan ajakan bertunangan Medina si pramugari atau mungkin Lusiana si mahasiswa atau juga mungkin ajakan nikah Jessica si manager bank yang lebih tua 10 tahun darinya dan masih ada beberapa lagi, entahlah...
Pastinya dia masih perlu memikirkan beribu kali sebab itu adalah sebuah hal yang serius di mana dia selama ini hanya menjalani hubungan tanpa pernah kepastian.
Namun, melihat Heartsa tadi—meskipun hanya sekilas—membuat dia mendadak merasakan sesuatu seperti sebuah ketertarikan yang membuatnya merasa tertantang untuk melakukan sesuatu..
"Hay itu dia Gava." Bunda Gava mendekat. “Kamu tadi nggak ketemu Heartsa ya? Dia barusan saja pergi dengan pacarnya.”
“Pacarnya?” Gava menoleh, sedikit terkejut meski dia tak ingin menunjukkannya.
“Iya, pacarnya orang bule. Mereka mau liburan bareng keluarganya,” jelas Bunda Gava sambil tersenyum tipis.
Gava hanya mengangguk pelan. Dalam hati, dia tahu perasaannya sudah berubah. Dulu hanya masa kecil mereka, dengan semua janji polos yang pernah terucap.
Gava mendadak ingat pena merah muda pemberian Heartsa lalu hadiah kelomang cangkang putih darinya di tambah ciuman perpisahan yang dia singgahi pada pipi Heartsa seakan tidak pernah sirna di berjalannya waktu. Namun, perasaan itu, meski telah terpendam begitu lama, kini perlahan muncul kembali, menggugah kenangan yang pernah ia kira hanya cinta monyet belaka
“Selamat bertemu kembali, Hesa,” ucapnya pelan, dengan senyum tipis di wajahnya.
****
Di perjalanan menuju Villa, Heartsa duduk di samping Nick di dalam mobil yang meluncur perlahan di jalanan Bali yang ramai. Matanya sesekali melirik keluar jendela, membayangkan reaksi papa mamanya terhadap Nick dan memikirkan mereka akan melakukan apa disana.
Nick yang duduk di sampingnya, tampak tenang seperti biasanya, mengemudi dengan elegan sambil sesekali melontarkan candaan ringan yang membuat Heartsa tersenyum kecil.
Nick hampir sempurna, pikir Heartsa. Mapan, tampan, penuh perhatian, royal, dan memiliki keluarga yang baik. Ia pria yang bisa diandalkan, yang selalu ada di saat-saat Heartsa butuh, dan keluarganya pun menerima Heartsa dengan tangan terbuka.
Namun, meski tampaknya segalanya ideal, ada satu masalah yang membuat hubungan mereka sedikit rumit: Papa Heartsa. Bukan berarti papanya sepenuhnya menolak Nick—tidak begitu. Namun, ada keraguan di sana. Heartsa tahu, papanya punya banyak pertimbangan, mulai dari perbedaan budaya, kepercayaan, hingga mungkin latar belakang keluarga. Hal-hal ini membuatnya ragu dan lebih berhati-hati.
Bahkan untuk perjalanan kali ini, ke Bali, Heartsa harus berusaha keras meluluhkan hati papanya agar mengizinkannya. Perlu waktu dan berbagai argumen hingga akhirnya papanya setuju, dengan syarat pertemuan ini bertujuan untuk mengenal Nick lebih baik.
“Papa belajar kok, pelan-pelan menerima Nick,” Heartsa berkata pada dirinya sendiri, berusaha meyakinkan hatinya. Meski masih ada rasa was-was, ia tahu bahwa hubungan mereka berjalan ke arah yang lebih baik. Setidaknya, pertemuan ini adalah langkah besar menuju penerimaan yang lebih dalam.
Nick menoleh sebentar ke arah Heartsa, merasakan ketegangan yang samar. “Are you okay, Baby? Terlihat kayak ada yang kamu pikirin,” tanyanya lembut, senyum khasnya tetap menghiasi wajahnya.
Heartsa tersenyum kecil, “Aku baik-baik aja, cuma kepikiran papa dan mama. Nggak tahu di mana mereka sekarang. And apa rencana mereka."
Nick tertawa ringan, tangannya menyentuh pundak Heartsa dengan lembut. “Tenang aja, nanti kita temuin mereka. Kita di sini buat liburan, nggak perlu terlalu khawatir, oke?”
Heartsa mengangguk, mencoba menikmati momen itu. Meskipun pikirannya masih terpecah, ia tahu Nick adalah sosok yang baik. Tapi pertanyaan besar di benaknya masih mengganggu: Apakah papanya benar-benar bisa menerima Nick sepenuhnya?