Chapter 1
1
“AAAAAAAAA ... siapa kamuuu ... Keluaaar sanaaa ... Keluaaar.”
"Hah? Saya Tante? Keluar ke mana?"
"Tante kepalamu aku nggak nikah sama ommu, keluar sana, keluar dari kamarku!"
"Lah Tante siapa?"
"Tante lagi, aku tinggal di sini, aku lempar bantal kamu kalo nggak keluar ..."
"Eh iya Tante, ya Allah mimpi apa gue semalam kok lihat Tantenya Bagas pake handuk aja."
Bagus menutup pintu sambil senyum-senyum, berarti ia salah kamar. Bagas teman sekantornya mengajaknya berlibur menghabiskan weekend di rumahnya. Bagus tak pernah mengira jika ia mendapat rejeki menemukan pemandangan nan menyegarkan. Tantenya Bagas ternyata semok juga. Bagus melangkah ke kamar di sebelah kamar yang ia masuki tadi dan di sana telah berdiri Bagas sambil tertawa dengan keras.
"Lu ini gimana sih, untung kakak gue nggak nendang lu, kecil-kecil gitu dia jago kempo tahu, waktu SMA sampe kuliah."
"Lah mana gue tau, lu ngasi petunjuk juga gak jelas, rejeki gue kali liat kakak lu yang mayan ehem."
"Mayan pala lu."
"Gue pikir itu Tante lu tadi, dia marah gue panggil Tante."
Bagas dan Bagus tertawa, keduanya berpikir hal yang berbeda, Bagas membayangkan kakaknya yang bagai kepiting rebus karena menahan marah, sedang Bagus masih mengingat bagaimana tubuh nan semok itu kerepotan ditutupi karena handuk yang hanya menutupi sebagian tubuh kakak si Bagas. Sedang Ayunda masih mengeluarkan sumpah serapahnya karena bocah tengil yang asal masuk ke kamarnya terlihat menikmati tubuhnya yang setengah telanjang.
***
"Tumben bawa temen gak waras, gak tau sopan santun, asal masuk aja, kayak kucing kampung." Ayunda mengempaskan bokongnya ke kursi saat ia telah duduk di ruang makan malam itu. Bagas hanya cengar-cengir, mulai menyendokkan nasi ke piringnya dan mengambil beberapa lauk, Ayunda pun melakukan hal yang sama.
"Aku yang salah Kak, aku yang nggak bener ngasi petunjuk ke dia."
"Dia aja yang somplak, masuk rumah orang harusnya hati-hati, apa lagi untuk pertama kalinya, gak usah temenan sama anak kayak gitu." Ayunda menyuapkan nasi kemulutnya dengan wajah ditekuk.
"Ya nggak mungkin lah Kak gak temenan sama dia, satu divisi dan dia asik anaknya gak rese," sahut Bagas tak lama muncul Bagus dengan wajah segar habis mandi, terlihat dari rambutnya yang masih basah. Sempat bersirobok tatap dengan Ayunda namun Ayunda segera memutus pandangan dengan pura-pura sibuk dengan piring yang ia hadapi. Semburat merah seketika tampak di wajah Ayunda, rasa malu tiba-tiba menyeruak mengingat pertemuan yang tak ia harapkan tadi dengan bocah tengil itu.
"Maaf Kak, maaf yang tadi ya Kak, aku salah, gak perhatian apa yang dikatakan Bagas, akhirnya salah masuk dan Alhamdulillah juga sih jadi belajar anatomi," ujar Bagus tetap memandang wajah Ayunda yang terlihat tak ingin menyapanya.
"Heeem."
"Kok hem sih Kak, iya gitu, kan aku sudah minta maaf," ujar Bagus lagi.
"Bisa kan makan aja nggak usah bahas itu lagi?" sahut Ayunda menatap tajam mata Bagus, yang ditanya hanya cengar-cengir sambil mengerjabkan matanya.
"Bisaaa, bisa Kak, aku nggak akan bahas lagi waktu lihat Kakak hanya pake handuk saja dan kelihatan seksi."
"Heh, kamu ini ya, itu nggak usah disebuuut, kamu ini b**o apa gimana sih!" Ayunda mulai tak berminat pada makan malamnya, rasanya ia ingin membenturkan kepala bocah di depannya ke dinding karena khawatir ada yang salah dengan otak anak itu.
"Oooh iya iyaaa maaf Kak, aku kan nggak tau kalo Kakak nggak mau kasus handuk seksi itu dibahas lagian Kakak juga sih, masa gak ada handuk besar, itu handuknya kekecilan jadinya kan hampir kelihatan semua."
BRAAAK ....
Ayunda menggebrak meja dan menatap tajam mata Bagus yang terlihat kaget. Bagaspun sampai tersedak karena terlonjak kaget
"Heh bocah, aku mau ngapain di kamarku itu terserah aku, mau telanj*ng juga terserah aku ... "
"Eh jangan telanj*ng tar masuk angin Kak ..."
Wajah Ayunda memerah karena marah, ia meninggalkan meja makan dan sempat menoleh saat sampai di pintu kamarnya.
"Gas, suru pulang bocah tengil itu." Dan pintu kamar Ayunda tertutup dengan suara keras.
"Ck, lu Gus, gimana sih, Kakak gue lu ajak tengkar, tumben lu rese," ujar Bagas geleng-geleng kepala.
"Gak tau Gas, gue juga heran, biasanya gue cuek sama cewe, karena seksi kali kakak lu."
"Lu ah bikin gue gak enak sama Kakak."
"Sudah, lanjutkan makan kalian, dia sedang tidak enak hati."
Tiba-tiba terdengar suara Pratiwi yang berjalan pelan ke arah keduanya. Bagus segera bangkit dan mencium punggung tangan Pratiwi, yang Bagus yakini pasti nenek Bagas.
"Emang kenapa Kakak, Nek?" tanya Bagas
Pratiwi bergabung dan mulai mengeluarkan beberapa obat yang ia bawa dan biasa ia minum tiap hari, meletakkan di meja dan meraih gelas yang telah berisi air, tak lama Mbok Nah datang dan menyiapkan makan malam khusus untuk Pratiwi.
"Tadi siang, mantan tunangannya ke sini, setelah setahun menghilang dia baru muncul menjelaskan segalanya, minta maaf pada nenek dan kakakmu, dia minta maaf tak memberi kabar apapun karena ternyata ia telah menikah di kampung halamannya."
"Loh kok bisa? Kenapa?" tanya Bagas penasaran.
"Hmmm ... entahlah nenek hanya merasa tak masuk akal saja alasannya, dia bilang wanita yang ia nikahi terlanjur hamil ya hamil karena dia tentunya, nenek hanya berpikir masa baru kenal sudah hamil, apa mereka memang memiliki hubungan yang sudah lama hanya kakakmu saja yang tidak tahu, dia hanya sebentar di sini, Kakakmu tidak berbicara sepatah katapun selama mantan tunangannya itu bicara panjang lebar, dan seharian ia tak keluar kamar, harusnya kan Kakakmu ke kantor, atau ke gudang ngecek semuanya beres apa nggak, meski punya banyak karyawan kan kadang dia turun tangan sendiri," ujar Pratiwi.
"Setelah laki-laki itu pulang nenek sempat memberinya nasehat, harusnya kakakmu bersyukur tahu kejelekan laki-laki itu sebelum ia jadi suaminya, kalau sudah nikah dan baru tahu jika dia telah menghamili orang lain kan semakin sakit kakakmu."
Bagas dan Bagus hanya mengangguk, mereka makan malam bertiga, sesekali Pratiwi menanyakan pekerjaan Bagas yang bekerja sebagai tenaga accouting di sebuah perusahaan pengolahan ikan.
Setelah selesai makan mereka masih belum beranjak juga masih saja membicarakan hal-hal ringan.
"Kau harusnya berhenti dari pekerjaanmu Gas, bantu kakakmu, kasihan dia, mengurus sendiri semua usaha peninggalan almarhum papamu," ujar Pratiwi.
"Aku nggak bakat dagang, Nek," sahut Bagas.
"Nenek nggak nyuruh kamu dagang, kan bisa bantu kakakmu di bagian keuangan atau administrasi."
"Iyaaa tapi kan ... "
"Pikirkan lagi Gas, kasihan kakakmu, Nenek yang renta ini hanya bisa bantu doa." Pratiwi bangkit perlahan, Mbok Nah tergesa menghampiri Pratiwi dan mengantarnya ke kamar.
"Memangnya punya usaha apaan sih keluarga lu? Lu pasti kaya deh Gas, rumah gede kayak gini, la ngapain lu masih kerja ke orang lain?"
"Ada sih peninggalan Papa, kami punya usaha pemasok kebutuhan pokok ke toko-toko Gus, ada sekitar tiga cabang di kota ini dan dua di kota lain, ya perusahaan kecil-kecilan lah." Bagus terbelalak.
"Ya Allah lu b**o ya, punya usaha sendiri malah kerja ke orang lain, lu kok mau sih jadi jongos, mending lu jadi bos, yaela heran gue ke lu Gas," ujar Bagus geleng-geleng kepala tak habis pikir.
"Gak tau lah Gus, gue rasanya gak pingin ikutan ngurus usaha papa, ribet, duh bayangin aja lu ada lima gudang besar berisi bahan pokok yang siap kirim ke seluruh pelosok Indonesia."
"Dan lu tega biarin kakak lu yang seksi dan cantik itu beresin semua sendiri? Gimana sih lu."
"Entahlah, dan anehnya kakak gak tau ngeluh ke gue Gas, dia kerjain semua sendiri sejak dia usia 25 sampe sekarang 30 tahun, ada banyak karyawan dan staff sih yang bantuin dia, sebelumnya kan masih di bantu om dan tante dari pihak papa, tapi sejak usia 25 kakak pegang sendiri."
"Tega banget lu Gas, yaudah gue aja ya mau nyoba kerja ke kakak lu siapa tau dia mau jadiin gue karyawan dia sekaligus pacar, sumpah gue mau jadi pacar kakak lu Gas."
"Dan sumpah juga pasti dia ogah ke lu." Tawa keduanya memenuhi ruang makan.
***
Entah mengapa malam pertama menginap di rumah Bagas membuat Bagus tak bisa tidur, harusnya kasur empuk nan nyaman itu telah mengantarnya ke mimpi indah sampai pagi. Bagus bangkit dan melangkah ke luar kamar. Samar-samar dari balik kaca yang tembus ke taman samping ia melihat seseorang duduk di sana, sendiri dan menghadap ke arah kolam yang airnya tak bergerak.
Bagus melangkah semakin dekat ke arah taman dan ternyata benar dugaannya. Ayunda, duduk sendiri di sana.
"Boleh saya temani Kak?"
"Aku pingin sendiri."
"Kalo saya tetap ingin di sini?"
"Terserah kamu, jangan ganggu aku, jauh-jauh sana, taman ini luas, banyak tempat duduk," sahut Ayunda lagi, matanya tetap menatap kolam yang airnya tetap tak bergerak.
Dan alangkah kaget Ayunda saat Bagus tiba-tiba duduk di dekatnya, hanya berjarak beberapa centi. Ia menoleh menatap mata bocah di sampingnya.
"Kamu ngerti bahasa manusia nggak sih?"
"Nggak Kak, aku lebih ngerti bahasa kalbu."