3. Malam Pertama

1195 Kata
Sudah sebulan sejak hari pernikahannya dengan Zaka. Namun Zaka tak pernah menampakkan diri muncul di rumah Tara. Beberapa tetangga mulai kasak kusuk, ada yang mencibir ada juga yang bersimpati pada Tara. Entahlah Tara tak pernah ambil pusing. Toh dia juga menikah bukan karena atas dasar cinta atau pun suka. Semua ia lakukan demi kebaikan dirinya juga Sofia anaknya. Kurir yang biasa mengantar paket sembako dan titipan amplop dari Zaka, baru saja sampai saat Tara baru selesai melaksanakan sholat ashar. Pria muda itu menyerahkan bungkusan plastik besar berisi sembako dan sekardus aneka snack untuk Fia. "Terimakasih, Mas," ucap Tara sambil menyunggingkan sedikit senyumnya. "Baik, Bu. Saya permisi," ucap pria muda tersebut. "Mas, maaf, apakah Pak Zaka sudah kembali dari Malaysia?" tanyanya tiba-tiba, entah hatinya ingin sekali tahu di mana keberadaan lelaki yang sebulan lalu menikahinya. "Sudah, Bu," jawabnya lalu segera pergi dengan mengendari motor PCX yang sedang hits saat ini. Baru saja menutup pintu, Tara menepuk jidatnya, kenapa dia sangat bodoh menanyakan hal itu pada orang lain. "Ck, Tara...Tara....jangan ngarep, Raaa." Tara bermonolog, berjalan membawa aneka barang yang diantarkan tadi. Pukul delapan malam, Tara telah selesai menidurkan Fia. Tara meluruskan pinggang, hari ini nambah lagi murid les nya, anak pak RT kelas tiga SD les mata pelajaran padanya. Lumayanlah buat tambahan sehari-hari. Tok..tok.. Suara pintu diketuk. Siapa malam-malam gini bertamu, pikirnya. Tara mengambil kerudung yang terlampir di gantungan pintu. Berjalan cepat mengintip dari jendela, matanya membulat, apakah dia berhalusinasi. Zaka suaminya di depan pintu rumahnya. Dadanya berdegub kencang. Zaka masih mengenakan kemeja biru muda dengan logo perusahaan di sudut kantongnya. "Assalamualaikum, Ra," seru suara Zaka dari balik pintu. "W-wa'alaykumussalam." Tara membuka pintu dengan tergesa. Manik keduanya bersinggungan, Tara tersenyum kikuk menyambut kedatangan suaminya. "Kok lama buka pintunya, sedang apa?" tanya Zaka yang kini tengah melepas penat dengan bersandar di kursi tamu. "Eem ... itu Mas, mm ... lagi ngelonin Fia. Maaf," ucap Tara merasa bersalah. "Oh, gak papa." "Mas mau saya buatkan teh atau kopi?" tawar Tara. "Sayang ingin air jahe, bisa buatnya?" "Eehmm ... bisa Mas. " Tara menarik nafas lega, untung saja tadi pagi ia membeli berbagai macam bumbu dapur, termasuk jahe. Tara melangkah cepat ke dapur. "Saya istirahat di mana?" tanya Zaka sedikit berteriak. "Di kamar, Mas. Sebentar saya rapikan." Tara jadi salah tingkah, kasurnya berukuran nomor dua yang jika ditiduri dua orang dewasa dan satu anak balita pasti sangat sempit. Tara menggeser posisi Fia menjadi di tengah. Gundah gulana, deg deg an, apakah malam ini suaminya akan meminta haknya? Ah...iya Tara lupa, bahwa pesan Mei, tidak ada kontak fisik antara dia dan mas Zaka. Jadi sepertinya aman. Zaka masih di dalam kamar mandi saat Tara selesai merapikan kamarnya. Tara membawa air jahe yang telah selesai ia buat, ke ruang tamu. Tara berdebar menunggu Zaka keluar dari kamar mandi, tiba-tiba hujan gerimis melanda di malam jum'at ini. Perasaan Tara semakin tak menentu. Zaka keluar dari kamar mandi, hanya mengenakan handuk di pinggangnya. Tara tak berani menatap. Tubuh basah Zaka yang harumnya memabukkan indera penciuman itu, membuat kaki Tara lemas. "Maaf saya lupa bawa baju salinnya tadi, " ucap Zaka sambil mengambil sesuatu dari dalam ranselnya. Tara masih menunduk malu, benar-benar tak ingin melihat, tak siap jika akhirnya ia jatuh cinta pada teman almarhum suaminya. "Cari apa sih di bawah? Dari tadi nunduk terus?" tanya Zaka yang benar bingung dengan Tara. "Eh, ada kecoa, Mas," kilahnya. Tara menghembuskan napas lega, saat Zaka kembali masuk ke kamar mandi. Jantung Tara masih maraton. Zaka keluar dari kamar mandi dengan rambut basah, setelan piyama tidur warna coklat, melekat begitu pantas di tubuhnya. Hingga tak sadar Tara jadi terpesona. "M-minum Mas." Tara mempersilakan. Sekilas menatap wajah Zaka yang begitu tampan setelah mandi. Zaka mengambil secangkir air jahe, menikmatinya dengan santai. "Pas," komentar Zaka saat menikmati air jahe buatan Tara. Tara menyambutnya dengan senyuman Zaka yang melihat Tara tersenyum manis, tiba-tiba saja hatinya berdesir. "Saya akan menginap di sini selama tiga hari." "Ah, ii-iyaa Mas." "Kamu tidak keberatan'kan?" "Apa boleh sama Mbak Mei Mas?" "Boleh, selagi dia di Thailand ada urusan bisnis." "Malah dia yang suruh saya untuk ke sini," ucapan Zaka barusan entah kenapa menyentil Tara. Oh, jadi jika Mbak Mei tidak menyuruhnya ke sini, maka ia takkan lagi menginjakkan kaki di rumahku. Nasib mu Raa..sabarlah yaa. "Baik Mas, saya akan menyiapkan tempat untuk saya dan Fia dulu," pamit Tara bangun dari duduknya "Mau ke mana Ra?" "Mau pasang kasur lipat di depan sini Mas, biar saya dan Fia tidur di depan. Mas bisa istirahat di kamar. " "Ngapain, bukannya kita bisa tidur seranjang?" tanya Zaka heran. "Eh, itu kasur saya sempit Mas." Tara beralasan, padahal iya sudah setengah mati menahan dadanya yang berdebar. "Muat kok, yuk tidur. Saya cape!" ajak Zaka masuk terlebih dahulu ke dalam kamar Tara. Zaka menatap kamar minimalis Tara sangat rapi dan teratur, tampak Fia tengah pulas tidur di atas ranjang yang tak terlalu besar ini. Zaka merebahkan tubuhnya. "Aah..rasanya hari ini begitu melelahkan," gumamnya. Tara masuk ke dalam kamarnya, setelah sebelumnya mengunci pintu rumah, dan mematikan lampu depan. Pelan Tara membuka pintu kamar, berharap Zaka sudah tertidur. Namun keberuntungan sedang tidak berpihak pada Tara. Saat ini Zaka malah asik senyum-senyum sendiri di depan ponselnya. Pasti sedang chat dengan istrinya. Tara menutup pintu pelan, Zaka masih tidak menyadari kehadiran Tara. Tara naik ke ranjang, posisinya di sebelah Fia yang kini posisinya berada di tengah kasur. Tara tidur dengan gamis dan kerudungnya. Pelan merebahkan kepalanya, menatap ke langit-langit kamar. Tak berani berbalik menghadap Zaka, apalagi memunggunginya, dosa. "Ra, kamu tidur memang seperti ini ?" tanya Zaka heran melihat Tara memakai pakaian lengkap "Hhmm ... gak juga sih, Mas." "Mau tidur, apa mau pergi pengajian?" "Mau tidur, Mas." Zaka terkekeh, Tara polos sekali menjawab semua pertanyaan Zaka. "Saya'kan suami kamu, Ra. Ga papa toh jika kamu memperlihatkan rambut kamu pada saya?" "Mmm ... iya, Mas." "Ayo buka! Pasti tidak nyaman tidur begitu," titah Zaka menatap intens ke arah Tara. Ragu Tara turun dari kasur. Membalikkan badan, membuka kerudungnya, rambut hitamnya tergerai indah sepanjang pinggang. Tak berani berbalik badan, karena ia tahu Zaka pasti tengah memperhatikannya. "Taraaa ...," panggil Zaka. "Aah..iya Mas." Tara tersadar dari lamunanya. Pelan ia buka gamisnya, di dalam gamisnya sudah ada daster sepaha berwarna biru terang. Jantung Tara berdegub kencang. Saat ia membalikkan badannya. Duh malunya, tubuh yang berlemak dan dekil ini dilihat Mas Zaka. Pasti dia ilfil deh, bukan seleranya. "Nah..gitu kan pantes," ucap Zaka kini meletakkan kembali kepalanya di atas bantal. "Cantik juga, " gumam Zaka seraya menutup kedua matanya. Apakah Tara bisa tidur? Jawabannya tentu tidak, Tara merasa sangat risih dan malu. Lampu kamar redup, membuat suasana gerimis di luar semakin sahdu. Tara membalikkan tubuhnya saat dia rasa tak ada pergerakan lagi dari Zaka. Akhirnya Zaka tidur juga, pikirnya. Kini posisi Tara menghadap Fia dan Zaka yang juga sedang terlelap menghadap Fia. Dalam keremangan Tara memperhatikan wajah Zaka. Garis bibirnya tertarik. "Suamiku tampan," bisiknya dalam hati. Zaka membuka mata, bertatapan dengan Tara yang juga tengah memperhatikannya. Tara sangat malu ketahuan memperhatikan Zaka. Mau berbalik badan lagi tentu tidak mungkin, akhirnya Tara memejamkan paksa matanya. "Ra...," bisik Zaka. "Mmm ... ya, Mas." "Boleh saya meminta hak saya malam ini?" ****** Jangan lupa tab love dan follow akun saya. Terima kasih
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN