Rama telah selesai bersiap untuk pergi ke kantor. Dia mengambil tas kerjanya lalu melangkah membuka pintu.
"Hai, Rama." Rama di kejutkan dengan kehadiran wanita yang mendatanginya kemarin. Wanita itu bernama Mutiara, menurut pengangakuannya dia adalah orang kaya yang selalu di kejar uang. Rama menyampirkan tasnya di bahu lalu melipat tangannya di atas perut. Matanya mengamati penampilan wanita itu dengan tatapan tidak tertarik.
"Boleh aku masuk?" tanya Ara santai.
"Tidak, saya mau pergi ke kantor." Rama mendorong Ara menjauh lalu mengunci pintu rumahnya. Rama menakiki motor sport kesayangannya lalu lalu tanpa mengatakan apapun lagi dia meninggalkan Ara sendirian di sana. Wanita itu menatapa kepergian Rama dengan tatapan kesal. Ara tidak pernah menduga ini, dia pikir akan sangat mudah untuk membujuk Rama untuk menikah dengannya. Namun kenyatannya, pria itu begitu cuek.
"Halo, aku ingin tahu di mana Rama bekerja," ucap Ara pada orang yang barusan di hubunginya melalui telepon.
"Oke." Ara menutup teleponnya setelah mendapat alamat kantor Rama. Ara tersenyum, dia tidak akan menyerah begitu mudah. Rama harus menikah dengannya, pria itu harus membantunya menutupi hubungannya dengan Dirga.
Ara kembali ke rumah dengan langkah ringan, saat siang nanti dia akan menemui Rama di tempat kerja pria itu.
"Kamu dari mana pagi-pagi begini?" Langkah kaki Ara berhenti ketika mendengar pertanyaan dari mamanya. Di samping wanita paruh baya itu duduk suaminya, pria itu sedang membaca koran paginya.
"Dari rumah Rama, Ma," jawab Ara spontan. Dia lupa kalau dia ternyata belum cerita apapun tentang Rama kepada kedua orang tuanya.
"Rama? Siapa lagi pria itu?" tanya papanya seraya melipat korannya dan menatap serius pada putrinya. Ara duduk di depan papanya dengan santai.
"Rama, dia orang yang lagi dekat dengan Ara, Pa," kata Ara berbohong.
"Jadi, akhirnya kamu putus dari model itu?" Andon tidak percaya kalau Ara putus dengan Dirga. Menurut pengakuan orang suruhannya, putrinya itu masih mengirimkan uang kepada Dirga kemarin.
Ara hanya mengangguk tanpa melihat papanya. Dia takut ketahuan berbohong kalau matanya bertemu dengan tatapan milik papanya itu. Andon tersenyum tipis, dia tahu putrinya berbohong. Gelagat putrinya menunjukkan kalau dia sedang tidak jujur. Andon tersenyum licik, dia akan membuat putrinya itu jatuh pada kebohongannya sendiri. Kali ini Andon akan memberikan pelajaran pada putrinya itu.
"Papa ingin bertemu dengan pria itu. Siapa namanya tadi?" Tangan Ara saling bertaut, menutupi kegelisahannya.
"Namanya Rama, Pa."
"Dia orang mana? Pekerjaannya apa?" tanya Andon lagi. Ara belum mengetahui banyak tentang Rama. Dia hanya tahu kalau pria itu masih berusia dua puluh tiga tahun, tiga tahun lebih muda darinya lalu nama panjang Rama, tempat pria itu tinggal dan juga tempatnya bekerja. Dia bahkan tidak tahu Rama bekerja sebagai apa. Jangan-jangan pria itu bekerja sebagai tukang bersih-bersih atau mungkin penjaga keaman.
"Dia bekerja di perusahaan keluarga Hadiantara, Pa. Dia orang sini, kok. Atau, bagaimana kalau kalian langsung bertemu?" Andon mengusap dagunya dengan jari telunjuk dan jempol tangan kanannya. Menimbang apakah perlu menemui kenalan bohongan putrinya itu.
"Oke, Papa perlu mengenal orang itu. Hari sabtu ini bawa dia makan malam di rumah kita," kata Andon memutuskan mengikuti sandiwara putrinya. Ara kemudian menggeleng tidak setuju.
"Dia tidak akan mau ke sini, Pa. Bagaimana kalau Papa yang datang ke rumahnya?" Ara memberikan solusi, dia yakin akan susah membawa Rama ke rumahnya. Akan lebih mudah membawa papanya ke rumah Rama daripada sebaliknya.
Andon tidak langsung setuju dengan usul putrinya. Dia masih yakin kalau Ara tidak mungkin putus begitu saja dengan Dirga. Terlebih Dirga juga terlihat tidak ingin melepaskan putrinya. Andon yakin putrinya sedang merencanakan sesuatu.
"Baiklah. Papa akan menemui pria bernama Rama itu di rumahnya." Andon setuju bukan tanpa tujuan. Pria bernama Rama itu bisa memberitahu semua rencana putrinya dan Dirga. Akan Andon pastikan kalau Rama berada di pihaknya.
Mutiara tersenyum licik. Kali ini Rama tidak mungkin menolaknya. Pria itu mau tidak mau harus terlibat dalam kerumitan kehidupannya. Ah ... sebenarnya tidak serumit itu. Kalau saja Andon mau merestui hubungannya dengan Dirga, pasti semuanya akan lebih mudah. Dia akan bahagian menjalani hubungannya dengan Dirga dan mungkin saja sekarang mereka sudah dikaruniai anak-anak yang lucu.
***
Rama kembali melihat kedatangan wanita itu di kantornya. Sepertinya wanita itu tidak gampang menyerah. Siang tadi Rama sudah mengusirnya dan sore ini wanita itu kembali saat jam kantor sudah berakhir. Rama langsung masuk ke dalam mobil Ara karena malas berdebat di depan banyak orang. Rama masih menjaga imege-nya sebagai asisten Wingga pemimpin tertinggi di perusahaan itu.
"Berikan kunci motormu, orangku akan mengantarkannya ke rumahmu," kata Ara mengulurkan tangannya.
"Katakan saja apa tujuanmu. Setelah itu turunkan saya, Mbak." Rama sengaja menekan panggilan 'Mbak' nya, agar wanita itu menyadari kalau mereka memiliki perbedaan usia yang lumayan jauh. Ara memberikan tatapan peringatan pada Rama, dia tidak suka di panggil dengan sebutan 'Mbak'. Menurutnya itu terlalu jelek untuk wanita secantik Mutiara Sanggi Wijaya.
"Papaku akan datang ke rumahmu Sabtu ini."
"Apa? Untuk apa dia datang?"
"Tentu saja untuk mengenalmu lebih dekat. Papa berada di sampingku saat kamu menelepon dan mengaku sebagai suamiku."
"Bukan saya. Tapi, atasan saya." Ralat Rama.
"Iya, atasanmu ataupun bukan, nomor itu berasal dari ponselmu. Jadi tentu saja kamu harus bertanggung jawab." Ara menutup matanya akan kenyataan itu, yang dia tahu dia harus menyelamatkan hubungannya dengan Dirga. Pria yang sangat dia cintai.
"Saya akan menjelaskan kejadian yang sebenarnya pada papamu. Dengan begitu semua akan selesai."
"Andai saja semua semudah itu. Aku pasti sudah melakukannya." Rama mengerutkan keningnya. Benar juga, pikirnya.
"Papa begitu bahagia ketika dia mengetahui kalau aku memiliki calon suami. Dia memiliki penyakit jantung dan berharap dapat melihat ku menikah sebelum dia benar-benar pergi." Dalam hati Ara meminta maaf pada papanya. Papanya sangat sehat, pria itu menjalani kehidupan yang lurus dan bersih. Dia tidak memiliki riwayat penyakit apapun yang membahayakan. Andon pernah mengatakan kalau dia tidak ingin meninggal di usianya yang masih muda. Dia ingin meninggal saat dia dan istrinya sudah menua. Karena itu papanya begitu menjaga kesehatannya. Dia selalu kontrol ke dokter setidaknya enam bulan sekali.
Rama terdiam, hatinya tergerak untuk membatu Ara. Dia tahu bagaimana rasanya tidak memiliki seorang ayah. Rama sendiri kehilangan Ayahnya tujuh tahun yang lalu, saat dia masih berusia enam belas tahun. Dia masih kelas dua SMA sehingga tidak mampu melakukan apapun. Sejak saat itu ibunya melakukan banyak pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Lalu saat Rama kuliah, dia mulai bekerja paruh waktu. Meringankan beban ibunya.
"Akan saya pikirkan," ucap Rama pada akhirnya. Ara tersenyum senang, andai saja dia berada sendiri di sana, dia sudah pasti melompat kegirangan.
"Terima kasih. Aku akan mengirimkan kontrak kepadamu nanti. Kamu juga boleh menuliskan syarat apapun di sana. Kalau tidak memberatkan aku akan menyutujuinya."
"Kontrak?" Rama tidak ingin mempercayai pendengarannya.
Ara mengangguk, "kita tidak saling mengenal, kita juga tidak memiliki perasaan. Tentu kita tidak akan terikat pernikahan selamanya, kan? Siapa yang tahu suatu saat nanti, kita menemukan cinta masing-masing?"
Bersambung...