"Moondy mana ? Kenapa lagi-lagi dia tidak mengantarkanmu pulang ?" Tanya bapakku.
"Bapak ibu, bolehkah Pelangi bertanya ?"
"Apa nduk ?"
"Apakah mas Moondy selama ini pernah menelpon bapak ibu barang sekali saja ?" Tanyaku memastikan sebelum aku berlanjur untuk menceritakan semuanya.
"Pernah sekali ke rumah. Dia bilang sekedar mampir karena kebetulan sedang mengecek restauran. Saat ibumu tanya kenapa kamu tidak ikut katanya kamu sedang sibuk di Semarang." Jelas bapak.
"Pas lebaran kemarin juga menelpon sekali saja, dia bilang kamu tidak bisa pulang karena membantu di restauran Moondy " Lanjut ibu.
"Mas Moondy menyanyakan kehadiran Pelangi ga pak bu ?"
"Bukannya kalian bersama ?"
Aku menarik nafas panjang. Aku bersiap untuk menceritakan semuanya yang kualami. Selama dua tahun pernikahan kami hingga hadirnya Cilla diantara kami. Sudah kuputuskan apapun yang terjadi keluargaku harus tau. Tidak selamanya aku harus melarikan diri seperti ini. Apalagi mas Moondy sudah membohongi orang tuaku, bahkan dia pun tidak pernah mencariku.
"Kalian anggap apa kami ? Dari hamil sampai Cilla lahirpun kami tidak diberi tahu." Kata bapak sedikit marah.
"Moondy bulan kemarin ibuk telpon juga gak bilang apa-apa soal kamu dan anak kalian." Ibuk menimpali. Dan jujur mendengar ini aku marah.
"Mas Moondy bilang apa sama ibuk?" Tanyaku.
"Ndak bilang opo-opo, cuma bilang kalian sekeluarga sehat gitu aja." Cukup ! Dari sini aku sudah semakin yakin untuk bercerai. Dia bahkan tidak pernah menelponku selama aku pergi, mencaritau dimana keberadaanku, dan bisa membohongi ibu ayahku.
"Bapak .... Ibu ..... Kali ini ijinkan Pelangi untuk meminta maaf sebesar-besarnya pada kalian." Aku berlutut di kaki ayah dan ibu di hadapanku. Aku tak bisa menahan rasa sakit yang menyelinap di dadaku.
"Sik... Sik ... Ono opo iki ?" Tanya bapakku.
"Ijinkan aku untuk menggugat cerai mas Moondy buk, pak."
Bisa kulihat ekspresi bapak dan ibuku saat aku meminta ijin untuk bercerai dari Moondy. Di desa kami perceraian merupakan suatu aib. Allah memang membenci perceraian, tapi juga mengijinkan untuk bercerai jika memang sudah tak mampu mempertahankan rumah tangganya lagi.
"Opo opo iki ? Maksudmu ki opo nduk?" Ibuku membangukanku dan memelukku.
"Jangan mudah bercerai nduk, apalagi sudah ada anak di antara kalian. Jika masih bisa dibicarakan baik-baik lakukan nduk, jangan salah mengambil keputusan."
"Pelangi akan menceritakan semuanya bu, dari awal tanpa ada yang Pelangi sembunyikan dari ibu dan bapak."
###
Pagi ini matahari bersinar dengan cerahnya, seolah ikut merasakan kebahagiaan calon pengantin hari ini. Ya ! Hari ini adalah hari pernikahanku dengan mas Moondy. Pernikahan dengan adat jawa ini dipilih oleh mas Moondy. Dia bilang ingin melestarikan budaya Jawa. Bagaimana bisa pernikahan ini terjadi ?
Pada akhirnya aku menyetujui pernikahan ini. Satu hari setelah bapak ibu memberitahuku soal perjodohan itu mas Moondy sekeluarga datang ke rumahku. Itulah pertama kali aku bertemu dengannya. Pria berperawakan tinggi gagah itu memiliki senyum yang cukup menawan. Tutur katanya lembut membuatku berdesir berada di dekatnya. Mata teduh, hidung mancung, penampilan rapi mas Moondy membuatku merasa minder berdampingam dengannya.
1 minggu setelah perkenalan itu, keluarga mas Moondy datang, prosesi lamaran dilakukan. Diputuskan 2 minggu lagi kami melakukan pernikahan. Semua serba cepat. Karena pihak keluarga mas Moondy tidak ingin memperlambat janji mereka kepada mendiang kakek mas Moondy
"Saya terima nikah dan kawinnya Pelangi Mutiara dengan seperangkat alat sholat dan mas kawin sebesar dua juta dua ratus enam belas ribu rupiah dibayar tunai." Ucap mas Moondy dalam satu kali nafas yang kemudian diikuti ucapan SAH dan hamdalah dari para saksi pernikahan kami.
Aku sekarang sudah sah menjadi istri dari mas Moondy. Moondy Alsegara pemilik cafe malam di beberapa cabang di Jawa Tengah. Pesta yang meriah dan gaun pengantin yang mewah, para tamu orang kenamaan menambah semarak pesta pernikahanku. Satu hari setelah pernikahan mas Moondy membawaku kerumah kita, tempat tinggal yang katanya sudah dia persiapkan untuk kita nanti.
"Masuklah !" Perintah mas Moondy.
Mataku menyapu sekeliling rumah mas Mondy rumah mewah yang berdiri di area dekat kampus ini memiliki dua lantai dan halaman yang cukup luas. Ada kolam ikan di depan dan gazebo kecil di suduh halaman.
"Ini rumah kita sekarang." Kata Mas Moondy begitu kita sudah memasuki rumah.
"Dan ini kamar kamu." Tunjuk Mondy pada pintu bercat putih itu.
Aku menatap heran pada mas Moondy.
"Dan kamarku berada di lantai dua." Jelas mas Moondy dengan santainya sambil menunjuk ke lantai atas.
"Jangan pernah berfikir bahwa aku menerima perjodohan ini karena aku mencintaimu. Itu hal yang sangat BODOH !"
Kata-kata mas Moondy yang penuh penekanan itu mampu membuat dadaku sedikit bergemuruh. Sikap dan tutur katanya yang kemarin kulihat tidak kutemukan lagi ada pada dirinya. Sekarang dia berubah menjadi pria yang dingin dan menyeramkan.
"Maksud mas Moondy ?" Kuberanikan bertanya.
"Pernikahan ini dan semua yang terjadi aku lakukan karena aku tidak ingin dicap sebagai anak durhaka dan aku tidak ingin kehilangan ahli waris dari keluargaku. Paham kamu !"
Aku menutup mulutku mendengar pengakuan mas Moondy. Ternyata dia sungguh berbeda dari saat pertama kali kami bertemu.
"Dan perlu kamu tahu, aku akan segera menikahi kekasihku Bulan dalam beberapa hari ke depan. Awas saja kalau kamu berani mengatakan ini pada orang tua kita." Ancam Moondy.
"Ingat ! Bapakmu punya penyakit jantung. Jadi jangan coba macam-macam kamu sama aku."
Moondy pergi meninggalkanku menuju lantai dua di kamarnya. Kakiku lemas seketika mendengar penuturan Moondy. Air mataku jatuh tak dapat terbendung lagi.
****
Hari pertamaku menjadi istri dari Moondy AlSegara. Aku berusaha untuk menjadi istri yang baik untuknya. Aku tidak perduli dengan perlakuan Moondy kepadaku. Aku akan membuat Moondy mencintaiku. Itu keputusanku semalam. Aku akan membuat sifat dinginnya menjadi hangat padaku. Aku janji untuk itu. Mungkin dia belum bisa menerima perjodohan ini, sama sepertiku. Tapi mungkin aku lebih bisa mengendalikan diriku dibanding mas Moondy.
Hidup di kampung, ibuku selalu mengajariku memasak, walaupun tak seenak masakan ibuku, tapi aku yakin pasti bisa memberikan yang terbaik untuk Moondy suamiku. Pagi ini aku membuka kulkas, tidak ada yang bisa dimasak karena memang kemarin kami tidak persiapan sama sekali. Hanya ada selai coklat dan stroberry di kulkas. Disudut meja makan ada roti tawar, kuputuskan untuk membuatkan sandwich untuk Moondy suamiku. Tidak lupa kusiapkan s**u putih hangat untuk sarapannya pagi ini.
"Aku udah siapin sandwich mas buat sarapan, maaf tidak apa-apa di kulkas soalnya, jadi .... "
"Tidak perlu repot-repot memasakkan makanan untukku, karena aku tidak akan memakannya." Ucap Moondy begitu sampai di lantai bawah, tanpa menatapku sedikitpun.
"Ini ambil !" Perintah Moondy sambil memberikan kartu kredit dan ATM padaku.
"Kamu bisa menggunakannya sesuka hatimu untuk membeli perlengkapan rumah dan apa yang kamu butuhkan. Tapi bukan berarti kamu bisa boros." Lanjutnya.
"Setiap bulan aku akan mentransfermu kerekening itu. Jangan kuatir, menjadi istriku tidak akan membuatmu miskin. Segala kebutuhan lahirmu akan ku penuhi. Bukankah itu yang kamu dan keluargamu inginkan?"
Aku menggenggam erat kartu kredit dan ATM yang diberikan Moondy padaku. Dadaku sungguh sangat sesak mendengar segala perkataan Moondy terhadapku dan keluargaku. Ingin sekali aku menamparnya, tapi nyaliku tidak sanggup untuk itu.
"Tidak usah merasa tersinggung dengan ucapanku. Karena aku tau kamu menyetujui perjodohan ini karena uang!"
Kutatap mata Moondy penuh dengan kekecewaan.
"Jangan menungguku, aku pulang malam dan itu sesukaku. Pastikan rumah selalu bersih. Karena aku tidak suka ada debu dirumahku. Tugasmu di rumah ini adalah bersih-bersih rumah, dan mengurus urusan rumah. Bukan untuk mengurusiku. Paham !" Kata Moondy sambil meninggalkanku. Seketika bulir bening air mataku menetes membasahi pipiku
*****