[07] The Next Victim

1900 Kata
The Thief - The Next Victim- Cklek, suara pintu dibuka, yang pastinya dari kamar Berry. Warna mata serigala dihadapanku ini kembali berubah lalu berpaling dan melompat dari atas balkon. "Hei tunggu!" teriakku. Percuma, serigala itu sudah menghilang ditelan gelapnya malam "Sam?" suara Berry memanggilku dari pintu balkon, terlihat ia sedang menggosok-gosok matanya. "kau sedang apa disini? malam-malam begini udara sangat dingin," katanya dan berjalan kearahku sambil sesekali menggosok-gosok tangannya. Aku baru menyadari bahwa memang benar udaranya sudah sangat dingin sekarang "Aku suka dingin," jawabku asal. "Masuk. Kau bisa sakit sakit Sam." dia menarik tanganku untuk masuk kedalam rumah. Sesekali kulihat cincin yang melingkar dengan cantik dijariku. Ia tak memancarkan sinar seperti tadi lagi. ____________________ "C'mon Sam! kita pergi sekarang saja, tidak ada sarapan. Mom dan Dad belum pulang." aku melangkah menuruni tangga lalu langsung meluncur kehalaman rumah. umm, sorry berjalan maksudku. Aku langsung duduk dikursi penumpang sepeda Berry. Berry langsung menggoes sepedanya. Tak jauh dari rumah Uncle Josh nampak sebuah rumah yang sepertinya sangat sibuk dengan sebuah truk yang terparkir dihalamannya. Mereka sibuk memindahkan barang ke bagian belakang truk. "Good morning," sapa Berry sambil berhenti didepan rumah orang itu. Seorang lelaki berumur sekitar 40 tahunan menoleh. Ya, aku tahu. Dia adalah lelaki yang waktu itu marah-marah dikediaman Bennet, juga menunjuk-nunjuk wajahku dengan penuh emosi. Kalau tidak salah namanya Theo. Dia tersenyum pada Berry lalu menoleh padaku hanya menatap sinis. "Good morning 'lil Bennet," dia kembali tersenyum pada Berry. "Anda mau pindah?" tanya Berry dengan sangat sopan. Lelaki itu mengangguk. "Saya tidak mau keluarga saya menjadi korban lagi. Cukup Anna." tersirat kesedihan dimata lelaki itu saat menjawab "Korban apa?" Berry mengernyit "Korban dari makhluk terkutuk dari hutan Taranaki tentunya," jawabnya sambil kembali melirikku dengan sinis. "Makhluk apa?" tanya Berry yang makin bingung "Percuma aku memberitahumu nak, kau pasti akan menganggapnya sebuah dongeng. Sama seperti ayah dan ibumu" katanya sambil berbalik hendak pergi. 1....2....3... 3langkah ia menoleh. "Hmm, jika kau ingin tahu kau bisa tanya pada sepupumu, dia pasti tahu," katanya sambil melirikku sinis (lagi). Tunggu dulu! apa yang dimaksudkan lelaki ini adalah werewolf? lalu kenapa dia bisa tau kalau aku mengetahui tentang werewolf? Baru kusadari kalau Berry sudah kembali menggoes sepedanya menuju sekolah. "Berry?" panggilku "Hmm?" dia bergumam membalas panggilanku "Itu namanya Theo, 'kan? Apa... dia bisa membaca fikiran?" tanyaku dengan polosnya "Baca fikiran? tentu saja tidak," Berry tertawa kecil, "Setahuku dia itu sangat terinspirasi menjadi seperti tokoh fiksi Sherlock Holmes dan ingin menjadi seorang detektif. Mungkin tak kesampaian dan dia menjadi seperti itu. Dia suka mengikuti orang yang baru pindah ke desa ini. Stalker, mungkin itulah dia" Berry menarik nafas lalu menghembuskannya lagi "Dia mengaku kalau ayahnya berteman baik dengan Grandpa. Dia tau semua tentang Grandpa dan segala hal misterius dibalik desa ini dan sekitarnya," kata Berry menjelaskan lalu mengangkat kedua bahunya. "Aku tidak perduli sih" katanya acuh "Hahaha." aku hanya tertawa garing. Jadi? semuanya kenyataan? Semua yang ditulis dibuku-buku itu nyata? Lalu? kalau benar ini nyata mengapa sebelum aku pindah kesini mereka aman-aman saja? mengapa semenjak aku disini sepertinya daerah ini adalah daerah rawan bencana, penculikan ataupun kematian? dan adakah sangkut pautnya dengan werewolf yang kemarin? "Berry. Apakah sebelum aku pindah kesini banyak kejadian aneh seperti sekarang?" tanyaku. Berry diam sesaat mungkin berfikir. "Entahlah. Tapi seingatku baru kali ini kami kehilangan hewan Ternak kami. Terlebih lagi matinya Matthew, padahal Matthew adalah kuda kesayangan kami. Mungkin sekarang sudah banyak anjing liar ya?" Berry menghebuskan nafas dengan berat lalu kembali berkata "tapi jangan khawatir aku tidak akan membiarkan salah satu dari anjing liar itu menyentuhmu, Sam." Aku tak merespons, kepalaku terasa berfikir dengan sangat lamban. Berry tidak tahu. Mereka bukan anjing biasa. Mereka werewolf! manusia-separuh-serigala atau serigala-separuh-manusia. "Ada kematian manusia juga gara-gara anjing liar itu?" tanyaku lagi-lagi "Ya, Anna. Anak perempuan Theo." Glek. Yang benar saja! Werewolf-werewolf itu pemakan manusia? Aku tak akan mau bertemu salah satupun dari mereka lagi. Tak mau! "Sampai kapan duduk terus? kita sudah diparkiran," kata-kata Berry membuatku tersentak kaget dan langsung beranjak. Kami berjalan langsung menuju kantin untuk sarapan. Masalah perut nomor satu lah. Kalau belajar dalam keadaan lapar, pelajaran tidak akan masuk, 'kan? Sandwich serta sebotol air mineral sudah lebih dari cukup untuk sarapan. Aku dan Berry hendak pergi meninggalkan kantin jika saja Hector -teman Berry- tidak datang menghampiri kami. "Hey Bro! kau tahu beritanya?" kata Hector sambil menyeruput jus jeruk milik Berry diatas meja. "Berita apa?" tanya Berry malas "Johannes Lim! anak asia dikelas!" Kata Hector dengan mata super-semangat yang seakan menimbulkan efek berapi-api. "Ya, Ada apa? mendapat nilai terbaik lagi? wajar. Dia memang yang terpintar dikelas," kata Berry acuh. Aku? aku hanya bengong mendengarkan pembicaraan heboh mereka. "Bukan Berry! lebih menyeramkan lagi! dia meninggal dimakan hewan buas kemarin!" mata Hector! mata Hector! Please! mata Hector seakan-akan akan lepas dari tempatnya. Eh tunggu! Johannes Lim? anak asia dikelas? oh god! itu pasti anak yang kemarin meramal sekaligus membaca fikiranku? dia meninggal? huh? "Johannes Lim? anak yang duduk disudut ruangan? yang pakai kacamata? yang sipit? yang pendiam? yang bisa meramal plus baca pikiran?" entah kenapa pertanyaan-pertanyaan itu mampu keluar secara beruntun dari mulutku "iya, iya, iya, iya, iya, eh meramal plus baca pikiran, entahlah aku tak tahu," jawab Hector dengan beruntun (juga) sambil mengangkat kedua bahunya. Positive! ini yang dimaksud pasti anak itu! wait, DIA DIMAKAN HEWAN LIAR!! DIMAKAN HEWAN LIAR!! HEWAN LIAR!!! hewan liar? maksudnya? Jangan katakan lagi-lagi ini ulah werewolf yang kemarin! sial! sudah dua korban manusia yang kutahu! jangan bertambah lagi please! _______________________________ Memakan berbagai macam buah berry yang baru dipanen memang menyegarkan. "Berry! lihat aku memakan jenismu," kataku sambil memakan sebuah blueberry. Berry memandangku dengan wajah mengejek. Yep! kami sedang berada di kebun berries keluarga Bennet yang baru kuketahui bahwa kebun ini sangatlah luas dengan berbagai macam berries. Sepertinya Uncle Josh dan Aunty Sarah sangat bangga akan kebun mereka hingga anaknya diberi nama Berry. Hahaha. "Sammi, kau mau pulang? kita bahkan belum berganti pakaian," kata Berry sambil mengambil sepedanya. Tanpa banyak ba-bi-bu lagi aku langsung duduk dikursi penumpang. Saat pulang sekolah kami langsung ke kebun. Karena Uncle Josh dan Aunty Sarah yang meminta. Berhubung besok adalah hari libur, weekend, Besok akan diadakan pesta panen terakhir sebelum masuk musim salju. Aku dan Berry ikut membantu persiapan untuk pesta besok yang diadakan di dalam villa -tempat pekerja kebun tinggal- Tak butuh waktu lama, aku dan Berry sudah ada di depan rumah. Aku segera masuk ke kamar, aku tidak mandi lagi. Hanya mengganti pakaian. Jorok? tidak aku tidak jorok! Jika saja aku tetap memaksa untuk mandi bisa saja badanku membeku karena suhu yang sudah semakin merendah. Aku menunggu di kursi yang ada di balkon rumah. Berry baru saja selesai memberi makan ternak selagi aku berganti pakaian. Kepalaku masih terus berputar memikirkan akan masalah werewolf yang sama sekali tak dapat dicerna akal sehatku. Kulirik cincin ditanganku. Apakah cincin dari buku kakek ini yang menyebabkannya? Kucoba melepaskannya dan menarik-nariknya secara paksa. Sial! sial! tak dapat terlepas! Setiap kali aku mencoba menariknya justru jariku yang terasa sakit. Huh. aku menyerah. Aku turun kebawah menuju halaman rumah. Aku duduk disana. Sebuah amplop berwarna cokelat terhampar di atas lantai. Segera kuambil. Kulihat surat itu ditujukan pada siapa. Samantha, Josh's Niece mataku membulat sesaat mengingat bahkan aku tak kenal banyak orang disini. Tetapi ada yang mengirimiku surat? ku buka secara perlahan surat tersebut. Krekk, suara ranting dahan yang patah. Bugh, suara sesuatu jatuh. Rasa penasaranku menyeruak keseluruh tubuh mengalahkan rasa dingin yang menyelimuti. Surat tadi yang belum sempat k****a kumasukkan ke saku celanaku. Aku menuju sebuah pohon rindang yang ada di antara pepohonan pinus. Ternyata seseorang jatuh dari dahan tersebut dan terduduk. Dia meringis, mungkin kesakitan. "Kau tak apa?" tanyaku, dia menoleh matanya bertemu tepat dimanik mataku. Hijau. Entahlah tapi aku merasa dè javu saat melihat wajahnya. Dia tak menjawab. Aku memperhatikan seluruh tubuhnya. Mataku terpaku melihat tangan kanan lelaki ini. "Jadi, kau orang yang luka saat itu? wajahmu sudah tak dipenuhi lumpur lagi?" tanyaku mengingat-ingat wajah orang ini, dia hanya menunduk tak menjawab maupun menatapku lagi "hmm, lukamu hampir sembuh sekarang?" tanyaku sambil menyentuh tangannya tepat dilukanya. "Tidakkah kau tahu? itu menyakitkan!" teriaknya diwajahku. Semburat merah menjalar dimatanya, matanya berubah menjadi merah. Aku jatuh terduduk. Sial! dia bukan manusia! mata itu... mata itu... adalah mata werewolf! dia werewolf? ya! pasti! Habislah aku kali ini aku pasti akan mati! "Bodoh bodoh bodoh," makiku kecil mungkin tak terdengar olehnya. "Jangan makan aku please! aku masih muda! aku tak mau mati konyol dimakan werewolf! please jangan jadikan aku korbanmu berikutnya!" teriakku histeris. Aku super duper takut mati sekarang, sedikit lebih dari yang kemarin. Aku masih melihat wajahnya dengan mata merah. Merah? apa artinya itu marah? huh. Aku menyesal pernah membantu mengobati orang- uh maksudku werewolf ini! Dengan jelas kulihat matanya berubah warna menjadi cokelat gelap. Dia memutar matanya malas. "Aku serigala salju! aku tidak memakan manusia," jawabnya santai sambil memanjat kembali pohon rindang itu. Aku mengerjap beberapa kali "Tapi, kau sudah makan anak tetanggaku dan juga a-" belum selesai aku menyelesaikan perkataanku dia langsung menyela. "Werewolf hutan yang memakan mereka," suara lelaki itu dari atas pohon. "Maksudmu apa? kalian kan sama-sama werewolf," tanyaku, kali ini aku sudah merilekskan tubuhku, tidak tegang karena ketakutan seperti tadi lagi. "Kami para werewolf salju dilarang memakan manusia. Kami---" kata-katanya terhenti "Kalian kenapa? werewolf salju mengapa? werewolf salju memakan bambu? kalian seperti panda? atau mungkin masih memiliki hubungan keluarga dengan para panda?" tanyaku konyol sambil melipat kakiku dan menatap kevatas pohon. "Bisakah kau berhenti bertanya?" teriaknya dari atas pohon. Apakah dia tak takut dahan yang dinaikinya akan patah lagi? lalu dia akan jatuh lagi? "Eum? mengapa kau naik dahan pohon itu lagi? kau tak takut dahannya akan patah lagi?" tanyaku Diam. Tak ada sahutan apapun. Okay aku mulai merasa kedinginan sekarang. "Eum, boleh aku tahu siapa namamu?" tanyaku asal. Ugh! tunggu dulu ada apa denganku? bahkan aku melebihi seorang wartawan yang menghujani narasumbernya dengan pertanyaan Rrrrrrrrgggggrrrrr, suara geraman hewan mengagetkanku. Tiba-tiba sesosok srigala putih sudah berada dihadapanku. Dia menendang pelan tubuhku hingga aku terjatuh kebelakang. "Sudah kubilang jangan banyak tanya rrrrrrr." lagi-lagi dia menggeram "Maaf," kataku yang mulai takut kulihat dia jalan mendekat kaki depannya terseok. Aku tahu! dia pasti srigala yang menyelamatkanku kemarin! juga yang berbicara padaku tadi malam. Tanpa terasa air mataku mengalir. Aku benar-benar takut jika saja tiba-tiba dia mencakari tubuhku dengan cakar di keempat kakinya "Huh," dia menghela nafas lalu berjalan naik kembali keatas pohon tetap dengan tubuh srigala. "Sudah kubilang aku tak akan memakanmu, berhentilah menangis bodoh!" tidakkah dia bisa berbicara sedikit lebih halus? aku seorang perempuan. huh. "Aku hanya sedikit bertanya, dan juga ingin tahu namamu, apakah itu salah?" "Please, jangan akhiri kalimatmu dengan bentuk pertanyaan," katanya pelan namun tetap bisa kudengar. Dia menghela nafas, "namaku Grant Acuzio Bennet." aku mengangguk-anggukan kepalaku. Tunggu dulu! "What? Bennet?" teriakku kencang mataku membulat. Jika aku tak memakai softlens mungkin mata ini sudah berwarna hijau. Terdengar tawa kecil dari atas pohon. Atau mungkin dia hanya berbohong? Mungkin saja. "Sammi! Samantha!!! kemana sih?" suara Berry membuatku tersentak dan langsung mendongak keatas pohon "Sampai jumpa lagi Grant Acuzio... eum Bennet?" kataku ragu lalu dengan cepat aku keluar dari balik pepohonan itu. Kulihat Berry sudah meyiapkan sepedanya dia sendiri sedang sibuk mencari-cariku. "Ayo pergi." kataku sambil duduk dikursi penumpang. Berry menoleh dengan horror lalu mengerjap beberapa kali. "Sejak kapan kau ada disitu?" tanyanya masih dengan wajah horror. "Sejak dua detik lalu, mungkin?" kataku sambil mengangkat bahu. Dia juga mengangkat bahunya acuh lalu menaiki sepeda dan kembali ke villa untuk membantu persiapan pesta panen besok. To Be Continued.. _______________________________________________________
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN