8. Paksaan Ken

1041 Kata
Kenandra beranjak berdiri lalu mendekati Ana. "Sudah pernah aku peringatkan padamu, Ana! Jangan membahas tentang Chiko dan Tisa. Terlebih di depan mama." Ken maju selangkah, mencondongkan tubuhnya makin mengikis jarak di antara dia dengan Ana. "Istriku hanya kamu. Dan kamu lah yang harus memberikan cucu untuk mama!" Ana gelagapan, karena setelah mengatakan hal tersebut, Ken menarik tangannya, menyeret tubuhnya masuk ke dalam kamar. Ana dibuat panik karenanya. "Pak Ken! Anda mau apa?" Ken menghempaskan tubuh Ana jatuh di atas ranjang. "Mulai hari ini kita harus berusaha untuk membuatkan mama cucu. Saya sudah lelah ditodong terus oleh mama, Ana! Jadi mohon kerjasamanya." Pada awalnya, Ken tidak ada niat untuk memaksa Ana agar mau mengikuti kemauannya. Karena rencananya, hari ini dia sengaja ingin menemui istrinya itu setelah hampir tiga bulan menikah, dengan tujuan untuk membahas seputar keinginan sang mama yang mengharap adanya keturunan dari pernikahan mereka. Namun, pada kenyataannya Ana justru menolak dan seolah menantangnya dengan dalih Chiko dan Tisa. Ken tidak menyukai ketika Ana harus mengusik privasinya termasuk di dalamnya adalah hubungan terlarangnya bersama Tisa. Ken sangat sensitif jika itu membahas tentang mereka berdua. Sejak awal, hubungan yang dia jalani bersama Tisa sudah mendapatkan tantangan dari keluarga. Sampai-sampai Ken habis kesabaran dan memilih mengalah dengan menuruti kemauan sang mama agar dia menikahi Ana. Lalu, setelah itu mamanya pun masih juga mengharap seorang cucu padanya sebagai bukti bahwa dia menjalani hubungan yang serius bersama Ana. Hal berat dan sulit untuk Ken. Pria itu tidak tahu lagi apa yang akan dilakukan kecuali dengan memaksa Ana agar menuruti apa yang mamanya inginkan. Apalagi dengan perlawanan Ana membuat Ken tidak semudah itu meluluhkan hati istrinya. Sementara Ana sendiri mulai ketakutan melihat wajah frustasi Ken. Tapi dia tidak ingin menyesal di kemudian hari ketika harus mengikuti apa yang Ken inginkan darinya. Ana tidak tahu seberapa besar keinginan sang mertua yang katanya mengharapkan cucu darinya. Jika mamanya sendiri tidak pernah menuntut banyak darinya. Ana mulai panik ketika Ken malah melepas kaos yang dikenakan. Wanita itu berusaha menjauh tapi gagal. Ken barhasil memerangkap tubuh kecil istrinya. Mengunci pergerakan sang istri yang berusaha menolak setiap sentuhan lelaki itu. "Pak Ken, jangan begini. Saya tidak mau." Melihat wajah ketakutan Ana, sejujurnya Ken juga tidak tega. Tapi hanya dengan cara ini dia bisa menghamili Ana. Jika harus menunggu Ana siap, itu hanya membuang-buang waktunya saja. "Saya tidak menerima penolakan apapun dari kamu Ana karena mama saya tidak akan berhenti meminta sebelum beliau mendapat apa yang diinginkan. Lagipula kita hanya perlu memberikan cucu bagi mereka. Perkara nanti seperti apa, kita pikirkan lagi belakangan." Ana mulai menangisi nasibnya yang malam ini akan hancur di tangan suaminya sendiri. Perempuan itu memejamkan mata. Berusaha ikhlas karena bagaimana pun Ken adalah suaminya. Menolak keinginan suami adalah dosa. Ana tahu itu. Hanya saja, hubungan pernikahannya dengan Ken tidak sebaik itu. Bagaimana nasibnya ke depan? Ana pun tak tahu. Bibirnya dibungkam oleh ciuman Ken, membuat kinerja jantung Ana berdetak dengan begitu hebatnya. Ana pasrah dengan apa yang Ken lakukan padanya. Menolak pun percuma. Tubuhnya yang kecil tidak sebanding dengan tubuh besar suaminya. Tenaga Ana pun kalah jauh jika dibandingkan Ken. Bahkan ketika Ken dengan tidak berperasaannya malah merobek bajunya, Ana hanya bisa pasrah merasakan kesakitan tak hanya di dalam hatinya saja tapi juga tubuhnya. Malam ini Ken lah yang berkuasa atas tubuhnya. Pria itu bagai singa lapar yang tidak ada kata ampun menerkam mangsanya. Dalam temaramnya lampu kamar, dapat Ana lihat bagaimana Ken menikmati permainan panas mereka. Keringat membanjiri tubuh berotot milik Ken, tanpa henti pria itu menghujam miliknya. Merasakan sensasi kenikmatan yang tiada tara. Pijatan lembut yang memanjakan miliknya di bawah sana membuat Ken enggan melepaskan dirinya dari tubuh Ana. Jari jemari Ken berada di sela-sela jari-jari lentik Ana, menggenggamnya dengan lembut. Sesekali ia perhatikan ekspresi wajah Ana yang meringis kesakitan, juga lenguhan yang keluar dari sela bibir Ana, menambah gairah makin membara. Tidak Ken pungkiri jika dia menikmati aktifitasnya kali ini. Tidak menyesal karena telah berhasil merenggut sesuatu yang berharga dari diri istrinya. Dia tidak pernah merasakan kenikmatan yang luar biasa seperti ini. Ana sungguh hebat, bagai candu yang membuatnya lupa diri. Di akhir perjalanan panjang dan melelahkan, Ken menyemburkan benihnya sedalam-dalamnya. Seolah tidak rela jika ada satu bibit unggulnya keluar kembali dengan sia-sia. Dia harus membuat Ana hamil hanya untuk mengelabuhi sang mama. Dengan memiliki anak dari Ana, maka sang mama akan percaya bahwa hubungan pernikahannya dengan Ana baik-baik saja tanpa kendala. Jauh berbeda dengan fakta yang sebenarnya. Tanpa Ken sadari bahwa apa yang telah dia lakukan malam ini, justru akan menjadi boomerang bagi kehidupan yang akan dia jalani selanjutnya. ••• Tubuh Ana remuk redam. Lelah yang membuatnya tertidur hingga pagi hari ketika alarm dari ponselnya berbunyi. Wanita itu mengerjabkan matanya. Dia ingat betul dengan apa yang telah dilakukan bersama Ken, suaminya. Menolehkan kepala ke samping. Mendapati keberadaan Ken yang juga masih terlelap dalam posisi tidur tengkurap menampakkan punggung kokoh yang tidak tertutup selimut. Ana buru-buru bangkit dari berbaringnya. Mengapit selimut yang hampir melorot memperlihatkan asetnya. Ingin sekali dia marah tapi untuk apa juga. Ken suami sahnya baik di mata hukum agama dan negara. Sesakit apapun hatinya karena telah dibohongi oleh pria itu, nyatanya dia tetap memiliki kewajiban untuk melayani sang suami di atas ranjang. Ana membuang napas kasar. Turun dari atas ranjang dengan hati-hati jangan sampai pergerakannya membangunkan sang suami. Sampai Ana selesai mandi dan berdandan rapi, Ken masih setia pada posisinya. Dengkuran halus bahkan terdengar di telinga Ana. Wanita itu sangat kesal. Andai membunuh itu tidak dosa, mungkin Ana sudah membekap pria itu dengan bantal atau mencekik lehernya hingga nyawanya habis tak bersisa. Bagiamana mungkin ada seorang suami yang tega memperkosa istrinya sendiri dengan dalih ingin punya anak. Haish! Ana ingin berteriak untuk meluapkan kekesalannya. Menarik napas dalam, lalu ia embuskan perlahan-lahan. Melakukannya beberapa kali hingga hatinya tenang. Barulah dia ambil tas kerjanya. Pagi ini, Ana tidak bisa sembarangan ijin tanpa alasan. Dia harus tetap bekerja meski untuk berjalan rasanya masih nyeri dan mengganjal. Ana tidak perduli pada keberadaan Ken. Tidak ada niatan untuk membangunkan pria itu. Ana juga tidak membuat sarapan. Biarlah mereka mengurus diri masing-masing. Yang penting pagi ini dia tidak harus bertatap muka dengan suaminya dan berharap saat nanti dia pulang bekerja, Ken sudah pergi dari apartemen ini. Toh, Ken juga sudah mendapatkan apa yang pria itu inginkan darinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN