"Selamat pagi, Zeva!" sapa Ana ketika menyambut kehadiran salah satu muridnya pagi ini ketika dia harus kembali bekerja.
"Selamat pagi Miss Ana."
Lantas Ana mengalihkan pandangan pada papa gadis cilik itu yang pagi ini mengantar. "Pak Arkan, selamat pagi."
"Pagi, Miss."
Zeva mendongak sembari menarik lengan papanya. "Papa, katanya mau kasih oleh-oleh ke Miss Ana?"
Lelaki itu tersenyum canggung lalu menyerahkan sebuah paper bag ke hadapan Ana. "Eum ... Miss Ana. Ini ada sedikit oleh-oleh dari saya. Kebetulan saya baru dari Thailand."
"Oh, kok repot-repot segala Pak Arkan."
"Tidak apa-apa. Saya tidak repot kok Miss. Kalau begitu saya permisi dulu. Titip Zeva."
"Baik, Pak. Dan terima kasih untuk oleh-olehnya." Ana pun menerima sebagai bentuk menghargai pemberian orang lain. Bahkan dalam benaknya tidak pernah kepikiran yang macam-macam. Seperti misalnya Arkan sengaja mencari perhatian. Sama sekali tidak demikian. Ana masih terlalu polos dalam mengartikan kebaikan seseorang.
"Zeva, papa ke kantor dulu. Jangan nakal dan nurut sama Miss Ana jika di sekolah."
"Siap, papa."
Setelahnya, Arkan pergi diiringi dengan senyuman.
Belum sempat Ana membawa Zeva masuk, Chiko datang yang kali ini diantar oleh mamanya.
Ana memperhatikan lekat-lekat bagaimana sosok Tisa yang sangat cantik. Tubuh tinggi langsing, kulit putih, pakaian serba bagus, tas tangan sampai sepatu adalah barang branded dengan harga puluhan juta. Belum lagi wajah Tisa yang glowing dengan make-up menghiasi wajah wanita itu. Sangat berbanding terbalik dengan dirinya yang hanya berpenampilan sederhana. Lagi-lagi Ana merasa insecure. Ana juga mengumpati kegilaan Ken. Sudah punya Tisa kenapa juga masih harus menyeretnya dalam drama perjodohan keluarga.
"Selamat pagi, Miss Ana!" sapa Tisa dengan nada ramah.
Ana pun membalas tak kalah ramahnya. "Pagi Bu Tisa. Pagi Chiko."
"Miss, saya titip Chiko ya?"
"Baik, Bu. Saya pasti akan menjaga Chiko dengan baik."
"Chiko, Mommy ke kantor dulu. Jangan nakal. Nanti pulangnya Mommy usahakan buat jemput."
"Okay, Mommy!"
Chiko melambaikan tangannya ketika sang ibu berbalik pergi. Ana menggandeng lengan dua orang muridnya dan membawanya masuk ke dalam kelas. Hanya saja ada yang masih mengganjal dalam benak wanita itu. Ialah keberadaan Kenandra yang masih tak ada kabar beritanya. Padahal sore ini mama mertuanya akan datang.
"Eum, Chiko. Daddy-nya belum pulang? Kok hanya Mommy yang antar?"
"Daddy masih kerja, Miss. Miss Ana kenapa tanya-tanya?"
"Eh, nggak papa. Hanya ingin tahu saja karena sudah lama Miss tidak melihat Daddy-nya Chiko."
"Kata Mommy, Daddy kerja cari duit yang banyak buat beli mainanku." Bocah lelaki itu mendongak. "Miss Ana enggak boleh naksir Daddy aku ya? Kayak mamanya teman-teman yang sering tanya-tanya tentang Daddy."
Ana gelagapan. Tertampar oleh kenyataan bahwasannya Kenandra bukanlah untuknya meski statusnya adalah sebagai istri sah.
'Sabar, Ana.'
•••
Siang harinya, ketika jam istirahat tiba, Ana kembali ke ruang guru.
Keningnya mengernyit kala baru saja memasuki ruangan, kedua netranya melihat adanya beberapa barang memenuhi meja kerjanya. Belum juga dia mengecek apa saja yang teronggok di sana, Risna tiba-tiba saja sudah berada di belakang tubuhnya.
"Cie~ ada pengagum rahasia sepertinya."
Sontak Ana menolehkan kepalanya. "Memangnya itu apa?"
"Lihat saja?"
Ana gegas menuju meja kerjanya. Matanya terbelalak melihat beberapa barang sudah nangkring cantik di atas meja
Yang pertama Ana raih adalah buket bunga. Mencari nama pengirimnya dan wanita itu makin membulat matanya tak percaya ketika membaca tulisan yang ada di sana.
Semoga harimu menyenangkan, Ana. -Mr. Ed-
Tangan Ana gemetar. Bukannya senang, wanita itu malah ketakutan.
Buru-buru Ana menyingkirkan bunga tersebut lalu mengecek apa saja isi dari kantong plastik yang berjejer di atas meja. Ada menu makan siang komplit yaitu nasi, ayam bakar, sambel dan tumis sayuran. Ada juga kopi dan cake di kantong yang terpisah.
Ana mendudukkan tubuhnya dengan lemas di atas kursi kerjanya membuat Risna penasaran jadinya.
"Dari siapa? Pacar kamu?"
Kepala Ana menggeleng. "Bukan."
"Lalu?"
"Nggak tahu. Nggak ada nama pengirimnya."
"Tuh, kan benar tebakanku. Dari pengagum rahasiamu."
"Apa, sih! Aku jadi takut mau memakannya. Kalau kamu mau, ambil aja gih."
"Enggak ya. Makasih. Ini untuk kamu. Kenapa malah kamu berikan ke aku. Amit-amit ya kalau sampai makanan ini mengandung guna-guna, bukannya kamu yang kepincut ... eh malah aku. Bisa gawat nantinya."
Ana menghela napas panjang. Sungguh dia tidak pernah menyangka jika Mister Ed senekat ini mengirimkan semua untuknya. Andai Risna tahu bahwa si pengirim itu adalah atasan mereka. Mungkin seisi sekolah langsung heboh jadinya.
"Ya udah sih, An. Makan saja. Coba berpikir positif mungkin memang ada seseorang yang peduli dan ingin mencari perhatian sama kamu." Risna menepuk bahu Ana lalu melangkah pergi meninggalkan rekannya itu.
Meninggalkan Ana dalam kegalauan.
•••
Rupanya Mama Arum sudah ada di apartmen kala Ana pulang sore harinya. Ibu mertuanya itu menyambut kedatangan sang menantu dengan suka cita.
"Ana! Akhirnya kamu pulang juga. Mama rindu sekali sama kamu."
Mama Arum memeluk Ana begitu saja. Karena Mama Arum dan Mama Kartika berteman baik, jadilah Mama Arum juga sudah menganggap Ana layaknya anak perempuan sendiri. Apalagi sejak kecil, Mama Arum juga ikut merawat Ana sebelum beliau pindah dan tinggal di kota selama beberapa tahun lamanya.
"Ma, maaf sudah nunggu lama, ya?"
"Belum. Mama datang satu jam yang lalu kira-kira."
Pelukan mereka terurai. Mama Arum menelisik dari atas ke bawah penampilan sang menantu. "Kamu tambah cantik."
"Masak sih, Ma?"
"Iya beneran."
"Jadi dulu aku enggak cantik, Ma?"
"Ya cantik tapi setelah menikah, aura-aura seorang istri terpancar begitu saja. Anak mama memperlakukan kamu dengan baik, kan?"
"Alhamdulillah Mas Andra baik sama aku, Ma. Mama tenang saja." Terpaksa Ana berbohong karena tidak mungkin dia bercerita akan seperti apa rumah tangga yang dia jalani bersama Kenandra.
Mata Mama Arum memicing. "Sebentar. Tadi kamu panggil apa? Mas Andra?"
Ana meringis. Sebenarnya dia spontan saja menyebut demikian karena dia sendiri juga tidak tahu panggilan yang tepat apa untuk menyebut nama suaminya. Dan tiba-tiba saja otaknya mendoktrin demikian. "M-Mas Andra. Maaf, Ma. Apa ada yang salah dengan panggilan itu?"
Kepala Mama Arum menggeleng disertai dengan senyuman dan juga mata berkaca-kaca. "Tidak. Tidak ada yang salah dengan panggilan itu. Justru mama senang karena masih ada yang memanggil Ken dengan sebutan Andra, kecuali papanya. Dulu, papanya Ken selalu menyebut dengan nama Andra. Dan sekarang begitu mama mendengar kamu menyebut panggilan yang sama, mama jadi teringat akan almarhum papanya Ken."
"Aku minta maaf sudah membuat mama sedih."
"Kenapa harus meminta maaf, Ana. Mama justru senang mendengarnya. Pertahankan panggilan itu untuk suami kamu."
Ana menganggukkan kepalanya. "Mama gimana, sehat?"
"Alhamdulillah mama sehat. Oh ya. Ada titipan dari mama kamu sayang. Ayo!"
Dan Ana pun mengekori sang mertua yang sudah menarik tangannya masuk ke dalam lalu duduk di sofa.