Suara siulan dengan tempo lambat membuat sekujur tubuh Monica dipenuhi keringat. Getaran di kursi menjadi pertanda bahwa gadis dengan tubuh terikat itu benar- benar ketakutan.
Seorang lelaki bertopeng terlihat sedang bermain-main dengan kesayangannya. Suara benda tajam yang beradu dengan pengasah kasar berhasil membuat kinerja jantung Monica berkali-kali lipat. Seakan merasa puas dengan sinyal ketakutan gadis itu, si lelaki bertopeng malah semakin mendekati Monica lalu mengasah pisaunya tepat di telinganya.
Suara teriakan kencang seakan menembus seluruh lapisan tembok pelindung. Monica menjerit-jerit, menampakkan urat lehernya yang mencuat ke permukaan.
"Tolong jangan lakukan ini. Ku mohon, lepaskan aku. Tolong lepaskan aku." tetesan air mata begitu deras turun membasahi pipi Monica.
Seringai setajam silet terukir di wajah lelaki itu. "Jangan menangis. Aku berjanji permainan ini tidak akan sakit." ujarnya sambil kembali memainkan siulan menyeramkan itu.
Kepala Monica bergerak ke kiri dan ke kanan. "Apa yang kau inginkan! Kenapa kau melakukan semua ini!" didera rasa putus asa, Monica memberanikan diri berteriak kencang pada si lelaki.
Tanpa menghiraukan jeritan Monica, lelaki itu menempelkan benda tajamnya tepat di permukaan wajah Monica.
Tubuh Monica menegang, giginya bahkan saling beradu karena ketakutan. Dia menjauhkan wajahnya dari sentuhan benda yang diyakini adalah sebuah belati.
"Kau takut?" tangan si lelaki bergerak mengusap lembut rambut Monica.
Tidak tahu harus berbuat apa lagi, Monica hanya bisa menangis dan terus menangis. Sentuhan di kepalanya semakin menambah ketakutan dirinya.
Lelaki bertopeng tertawa puas. Suara tawanya terdengar mengerikan, membuat punggung Monica semakin menegang, pikirannya berkecamuk akan sesuatu hal buruk yang sebentar lagi pasti menimpa dirinya.
"Kenapa kau takut begitu?" bisiknya dengan suara rendah. "Aku hanya ingin bermain sebentar." sahutnya lagi dengan nada tenang namun menakutkan.
"L-lepaskan aku, ku mohon." pinta Monica memelas, dia sudah perduli akan harga dirinya, apapun akan dilakukannya demi melepaskan diri dari cengkraman pria psikopath itu.
Mata si pria bertopeng menggelap, dia benar-benar tidak menyukai sepenggal kalimat Monica.
"Kau....tidak....boleh... lepas... begitu... saja." balas si lelaki bertopeng dingin memberi penekan disana.
"APA YANG KAU INGINKAN b*****t!" bentak Monic memaki, meluapkan emosi yang sudah ditahan sejak tadi.
PLAK....!!!
Rasa sakit, perih, tiba-tiba terasa di sebelah pipinya. Monic meringis kesakitan, mendapat tamparan keras di wajahnya.
"Jangan berani berteriak padaku." desisnya tajam menekan ujung pisau di wajah Monica.
Monica menangisi nasib tragisnya, dia lebih baik mati daripada harus diperlakukan layaknya binatang.
"Bunuh saja aku! Bunuh aku sekarang juga!" teriak Monica melampiaskan rasa frustasinya.
Lelaki bertopeng itu tersenyum miring. "Nanti sayang, setelah aku puas bermain-main denganmu." dengan sengaja sebelah tangannya menempel di leher Monica.
"A-apa maksudmu?" tanya Monica, setelah berhasil membuka mulutnya.
Lelaki bertopeng menjauhkan diri dari tubuh Monica, dia lalu mengambil tempat duduk tepat di hadapan Monica. Perlahan, dia menggerakkan ujung pisaunya untuk membuka kain penutup yang menghalangi pandangan Monica.
Kelopak mata Monica terbuka perlahan. Diaa mengerjapkan kelopak matanya berulang-ulang kali berusaha untuk menyesuaikan dengan intensitas cahaya di ruangan itu. Tiba-tiba kedua mata Monica melebar saat pandangannya tertuju pada seorang lelaki bertubuh tegap lengkap dengan topeng sedang duduk dihadapannya.
"K... kau? Siapa... kau?" ujarnya terbata-bata.
Menikmati raut ketakutan Monica, lelaki bertopeng itu terdiam sejenak hingga semakin membuat Monica dipenuhi rasa takut yang luar biasa.
"Apa kau pernah mendengar tentang psikopat?" tanya dengan nada ringan.
"A...apa yang... kau inginkan dariku." Entah mendapat jawaban dari mana, Monica sudah tahu bahwa lelaki bertopeng itulah yang telah menculiknya.
"Kau belum menjawab pertanyaan ku. Dan aku sangat tidak suka diabaikan." meski suara si lelaki bertopeng tidak terlalu terdengar jelas namun, telinga Monica bekerja dengan baik. Dia bahkan merasa bergidik ngeri dengan suara rendah nan menyeramkan itu.
Walau dengan bibir bergetar Monica tetap berusaha untuk menuruti perintah lelaki bertopeng. "Tidak. Aku tidak pernah mendengar tentang hal yang ku maksud." dengan lolosnya air mata Monica kembali, menjadi pertanda bahwa dirinya sudah pasrah pada takdir.
"Bagus sekali. Kau sangat beruntung hari ini." belati tajam si lelaki bertopeng kembali diasah di atas batu kasar.
Monica menjerit-jerit tertahan, matanya bergerak liar ke segala penjuru ruangan seakan mencari celah untuk bisa meloloskan diri.
"Jangan berani untuk bertindak apapun tanpa wewenangku. Aku sangat tidak memiliki kesabaran jika sampai kau melanggar."
Kepala Monica berhenti bekerja, kebingungan melanda dirinya ketika si lelaki bertopeng berhasil membaca isi pikirannya.
"Kenapa kau menculik ku? Aku bahkan tidak mengenalmu?" kepala Monica tertunduk letih, suaranya berubah serak karena sudah terlalu lama menangis.
"Jangan menangis? Sebab, aku tidak cairan menyukai air mata." ditatapnya tajam wajah putih Monica. " Aku jauh lebih menyukai... cairan....kental... segar dan berwarna... merah." ujarnya lambat-lambat seperti ingin memberi waktu bagi Monica untuk mencerna makna yang tersirat di dalamnya.
"A...apa...maksudmu?" tanya Monica memasang wajah waspada.
Tatapan lelaki itu berkilat tajam. "Maksudku adalah seperti ini."
Dan di detik selanjutnya, belati itu menancap sempurna di paha kanan Monica.
Suara jeritan kesakitan dan tawa penuh kepuasan saling beradu mengisi seluruh ruangan itu. Napas Monica berubah pendek-pendek, rasa sakit di pahanya begitu luar biasa. Air matanya sudah mengering, hanya menyisakan jejak-jejak sungai yang sedari tadi menghiasi kedua pipinya.
Tangan lelaki bertopeng mengambil kasar dagu Monica dan mendongak paksa ke arahnya.
"Aku... mohon... lepaskan... aku." nafas Monica tercekat ketika matanya bersibobrok dengan mata tajam lelaki itu.
Ketika mendengar permohonan kesakitan Monika, lelaki bertopeng sama sekali tidak tersentuh. Perlahan dia menggerakkan tangannya di paha Monica. Kepalanya menunduk, mengamati dengan seksama darah yang mengucur deras dari sana. Jiwa iblisnya berteriak bahagia, secepat kilat pandangannya kembali terpusat pada Monica.
"Kau ingin bebas bukan?" ujar si lelaki bertopeng memberi penawaran yang memberi keuntungan sepihak.
Ketika mendengar pertanyaan lelaki itu, pandangan Monica yang hampir meredup seketika melebar. Tanpa menghiraukan rasa sakitnya, Monica memasang binar mata penuh harap padanya.
"Aku... aku... ingin.. bebas. Aku... aku bersumpah .... akan menutup.. mulutku tentang.. semua ini." Monica menggigit bibirnya hingga berdarah, kesadarannya perlahan-lahan mulai menghilang.
Tangan kekar yang berbungkus kain warna hitam itu bergerak dengan tempo perlahan untuk menyusuri seluruh permukaan wajah Monica.
"Kau gadis yang cantik tapi sayang takdirmu harus terikat padaku." diraihnya rambut Monica dengan kasar hingga mendongak padanya.
Kekuatan Monica sudah menghilang, daya tahan tubuhnya menurun drastis akibat darah yang masih saja mengucur deras dari pahanya. Dia sudah sangat teramat memasrahkan diri jika harus mati saat ini juga.
"Kau tidak boleh mati tanpa seizin ku. Kau harus menebus semua dosa mu dengan cara yang paling menyakitkan." desisnya menajam.
Dan di detik selanjutnya, belati itu tertarik dengan kasar dari paha Monica. Jeritan kesakitan kembali terdengar darinya, belum juga rasa sakit itu sedikit berkurang tiba-tiba belati itu sudah menancap di bagian perut kanannya.
Mata Monica melotot bersamaan dengan darah yang keluar dari mulutnya, hingga akhirnya tubuhnya tergelak tak berdaya dengan posisi duduk.
"Ingatlah suaraku... Monica."