Di dalam perjalanan, Lucia merasa tak nyaman karena sejak tadi Rayoen tak pernah mengatakan apa pun meski hanya sebuah pertanyaan kecil dan singkat, Rayoen memang pria yang dingin yang selalu saja berbicara jika itu penting, pria yang tak pernah mau menatapnya ini menyelamatkannya dari rasa malu yang hampir saja membunuhnya, Keith dan teman-temannya memang benar-benar keterlaluan. Ia tak pernah memiliki keberanian untuk melawan Keith dan teman-temannya yang jahat, karena ia bukan siapa-siapa dan kedudukannya tidak pernah dipentingkan.
Sampai di mansion, Rayoen berjalan meninggalkan Lucia yang sedang berjalan tanpa tenaga, sebelum ke kamarnya, Lucia mampir ke kamar Micky dan mendapati Micky yang sudah terlelap.
"Rana, apa micky tidurnya sudah lama?" tanya Lucia.
"Iya, Nyonya," jawab Rana, membungkukkan badannya.
"Baiklah, saya akan ke kamar."
Lucia masuk ke kamar lalu membuka jas milik Rayoen yang sejak tadi menutupi tubuhnya, Rayoen tak terlihat di kamar. Kemana Rayoen? Kenapa tak ada di kamar? Lucia masuk ke kamar mandi lalu menyegarkan tubuhnya dengan mandi di bawa shower. Mengatur suhunya yang hangat.
Lucia membayangkan sewaktu Rayoen menyelamatkannya dari kerumunan dan gangguan Keith dan teman-temannya. Bayangan itu berhasil membuatnya sesekali tersenyum.
Sepuluh menit kemudian setelah Lucia selesai mandi.
Lucia keluar dari kamar mandi masih mengenakan baju handuk berwarna putih yang sudah melekat di tubuhnya hendak menuju kamar ganti, Rayoen menatap tubuh Lucia yang sedang berdiri menundukkan kepala.
Rayoen menggeleng seketika sadar jika sejak tadi ia sudah menatap Lucia.
Setelah berganti pakaian, Lucia naik ke atas ranjang lalu menyelimuti sebagian tubuhnya dengan selimut, Lucia menatap Rayoen yang masih sibuk dengan tab kesayangannya, tab yang selalu saja menjadi pengantar tidur suaminya.
"Terima kasih, karena kamu sudah mau menolongku.=," ujar Lucia mencoba memecah keheningan yang sejak tadi membuatnya tak nyaman.
"Hem," jawab Rayoen singkat.
"Aku tak tau jika saja kamu tak ada, aku akan benar-benar malu."
"Jika tidak ingin malu, maka jangan terlalu bodoh," jawab Rayoen, tanpa menatap sang istri dan masih setia menekuri layar tabnya.
"Haa?" Lucia heran.
"Jangan terlalu bodoh. Kamu tau apa maksudku? Kamu terlalu bodoh jika tak melawan mereka dan membiarkan mereka menginjakmu," kata Rayoen, selama menikah, baru kali ini Rayoen menatap Lucia dan mengajaknya berbicara.
"Aku—"
"Jika saja kamu lebih pintar untuk melawan mereka, kamu tak akan pernah di injak dan di hina seperti tadi, jangan mau di injak dan berhargalah sedikit," sambung Rayoen. Membuat hati Lucia bersorak gembira. Setelah sekian lama menantikan Ini, ternyata Tuhan memperlihatkannya.
Lucia menganggukkan kepala.
Di menit kemudian, suara ketukan pintu membuat Rayoen beranjak membuka pintu kamarnya.
"Micky? " Rayoen keheranan melihat putrinya sedang berdiri di depan pintu sambil memeluk boneka panda kesayangannya.
"Micky? Masuk, Nak," ajak Lucia.
Rayoen menutup pintu setelah Micky masuk ke kamarnya.
"Micky bisa tidur di sini, kan, Mom? Dad?" tanya Micky.
"Kenapa bangun, Nak? Ini, kan, sudah larut malam, besok kamu sekolah," tanya Rayoen.
"Micky mimpi buruk, Dad, boleh, ya, Micky tidur di sini?"
"Boleh, Sayang, boleh banget ... ayo sini," panggil Lucia.
Rayoen lalu menggendong putrinya dan di turunkan ke ranjang di samping Lucia. Ketika Rayoen hendak beranjak dari ranjang, Micky menggenggam lengan papanya, Rayoen menoleh ke putrinya yang sedang tersenyum menatapnya.
"Ada apa, Sayang?" tanya Rayoen.
"Dad mau kemana?"
"Ada yang harus Dad kerjakan, Sayang."
"Tepuk Micky, Dad," pintah Micky.
"Kan ada Mom yang bisa menepuk Micky, biarkan Dad bekerja dulu," sambung Lucia.
"Micky ingin Dad yang menepuk," jawab Micky, membuat Rayoen mendengkus lalu beralih menatap Lucia.
"Tapi, Sayang—"
"Ayo, Dad, berbaring di samping Micky dan menepuk Micky," rengek Micky.
"Baiklah," jawab Rayoen terpaksa.
Rayoen berbaring di samping Micky lalu menepuk putrinya yang sedang merasakan tepukannya dan belaian Lucia, entah kenapa ada rasa kenyamanan di hati Lucia melihatnya tidur seranjang dengan suaminya, ini kali pertamanya semenjak mereka menikah, walaupun di tengah mereka ada Micky. Namun, itu menyenangkan menurut ukurannya.
Lucia mulai memejamkan matanya dan membiarkan Rayoen menepuk-nepuk putrinya.
Rayoen menatap wajah Lucia, wajah wanita yang sudah ia nikahi beberapa hari yang lalu, Rayoen menggelengkan kepala. Lucia bukan wanita yang ada di dalam sebuah rencana yang sudah ia rencanakan selama ini, dan Lucia datang seakan-akan mengacaukan segala rencana yang sudah ia atur dengan Bianca.
***
Esok paginya ketika terbangun, Lucia dan Rayoen bangun bersamaan dengan posisi sangat dekat, Lucia dan Rayoen saling menatap dan mencari keberadaan Micky yang sudah tak di kamar mereka, Lucia terbangun dan langsung melangkah keluar kamar menuju kamar Micky, Lucia melihat Micky sedang di bantu oleh Rana memakai seragam sekolah.
Lucia masuk ke kamar dan menatap Micky. Lucia hampir saja pingsan karena jantung yang berdebar karena harus bertemu muka dengan suaminya, bahkan Micky sudah tidak menjadi penghalang hingga mereka berbaring sangat dekat.
Lucia menghela napas lega karena sudah berhasil menghindari kecanggungan itu.
"Sejak kapan kamu bangun, Sayang? " tanya Lucia, yang sebenarnya dengan sengaja ke kamar Micky, karena tak sanggup menatap Rayoen ketika mereka terlelap sangat dekat berdua di ranjang tanpa micky.
"Sejak pagi, Mom," kekeh Micky.
"Kenapa tak membangunkan Mommy atau Daddy?"
"Micky sudah mencoba membangunkan Mom dan Dad, tapi Mom dan Daddy tidurnya nyenyak sekali." kekeh Micky membuat Rana pun tersenyum,
"Ada yang bisa Mommy bantu? " tanya Lucia, karena sebenarnya tak ingin kembali ke kamar.
"Semua sudah siap, Nyonya," jawab Rana.
"Coba lihat lagi, siapatau saja kamu melupakan sesuatu," tanya Lucia.
"Semuanya sudah siap, Mom," jawab Micky.
"Tapi—"
"Mom, sana mandi ... Micky sudah siap ke sekolah dan sebentar lagi sarapan," kata Micky terkekeh karena melihat wajah memerah sang Mommy.
"Baiklah, Mommy akan ke kamar," jawab Lucia lalu berjalan menuju kamarnya.
Lucia masuk ke kamar dan melihat Rayoen sudah mandi, Lucia tak melihat ke arah Rayoen dan langsung masuk ke kamar mandi, Rayoen mengangkat sebelah alisnya heran melihat Lucia gugup ketika hendak berjalan melewatinya. Rayoen menggelengkan kepalanya tak percaya.
Beberapa menit kemudian.
Lucia keluar dari kamar mandi, lalu berjalan cepat menuju kamar ganti dan memakai pakaiannya, untung saja Rayoen sudah keluar kamar, jadi Lucia bisa leluasa.
Lucia mempoles wajahnya dengan bedak padat yang ia miliki, kosmetik yang di miliki Lucia memang sangatlah murah, meskipun begitu bisa di katakan tak murahan sama sekali, jadi tak akan membuatnya cantik seketika seperti kosmetik mahal yang sedang trendy.
Suara ponsel Lucia sejak tadi berdering tanda obrolan grup masuk, Lucia tak ingin melihatnya dan memilih mengabaikannya, lalu memakai pakaian seperti biasa, pakaian yang terlihat lebih casual. Namun, tetap terlihat feminim sesuai gaya yang di sukainya. Lucia memang tak tertarik dengan gaya pakaian seperti mini dress atau pun yang lainnya yang dapat memperlihatkan lekukan tubuhnya apalagi betis putihnya. Lucia lebih nyaman seperti ini, memakai celana levis, dan baju kaos.
Ketika sedang sarapan, seperti biasa Lucia mengurusi Micky dengan makanan yang di sukai Micky, Boy memang sering memasak apa yang di sukai keluarga Leonidas. Untuk menambah selera makan yang lebih baik lagi.
***
Sampai di cafe. Lucia langsung mengganti pakaiannya dengan seragam dan celemek kerja, lalu mulai meracik kopi dengan pesanan yang tertempel di depannya, lumayan pagi ini benar-benar ramai. Jadi, ia harus bekerja keras untuk meracik.
"Kamu tidak membaca obrolan grup?" tanya Wilona.
"Untuk apa? Aku malas membukanya, apalagi yang di bahas jika bukan kekayaan lalu suami mereka yang kaya raya dan pengusaha, juga kekayaan mereka dan kasih sayang suami mereka," jawab Lucia.
"Bukan itu yang mereka bicarakan, Lucia. Ran menceraikan Keith ... karena semalam," kata Wilona.
"Apa? Ran Menceraikan Keith? Karena semalam?"
"Karena Ran di pecat dari perusahaan Rayoen."
"Di pecat? Kan, bukan salah Ran, istrinya saja yang gaduh."
"Sepertinya Rayoen mulai peka terhadapmu, Lucia. Apa kamu tidak sadar?"
"Itu karena kebetulan saja Rayoen ada rapat di hotel itu, jadi dia hanya kebetulan ada di situ, bukan sengaja menemuiku," kata Lucia membela diri.
"Ya sudah, kita kerja saja dulu."
Lucia mendengkus, andaikan saja benar Rayoen memang sengaja menemuinya itu pasti menyenangkan. Namun, mendengar Rayoen hanya kebetulan ada rapat, hal itu cukup mengecewakannya. Namun, yang harus ia ingat pernikahannya bukan pernikahan sungguhan. Ia harus sadar sebelum larut dalam perasaan nyaman.
"Hai, Lucia," sapa seorang pria, membuat Lucia menoleh.
"Tenlyn? Kamu—"
"Yes, I'm Back, Lucia."
"Kamu kenapa di sini? Kamu—"
"Aku sudah kembali dari Kanada."
"What? Kamu beneran Ten, 'kan?" tanya Lucia lagi.
"Ya Tuhan, Luc. Apa kamu lupa sama wajah tampanku ini?" kekeh Ten.
"Ya Tuhan.. Ten? Kamu_"
"Sepertinya kamu masih mengira aku bukan Ten kan? Hahaha.. Kamu masih lucu seperti dulu, Lucia, aku sampai bandara langsung dan kemari karena merindukanmu."
"Bentar, ya, Ten, aku meracik dulu, setelah ini, aku akan menemuimu," kata Lucia.
"Baiklah, aku tunggu di taman, ya?"
Lucia menganggukkan kepala. Lucia dengan senyum mengambang begitu bahagia melihat Ten kembali dari Kanada.
Setelah meracik kopi, Lucia langsung menuju taman, tak lupa pula ia membawa kopi bersamanya.
"Aku merindukanmu, Ten," kata Lucia.
"Aku juga, Lucia, aku sangat merindukanmu, apa kamu mengira aku tidak akan gila? Karena merindukanmu?" sambung Ten, lalu meneguk kopi yang di berikan Lucia.
"Kenapa tak menghubungiku jika kamu kembali? Jika saja kamu menghubungiku, aku pasti akan menjemputmu," kata Lucia, ia duduk di samping Ten.
"Aku sengaja mengejutkanmu, akhirnya aku kembali setelah setahun, ternyata waktu setahun itu terasa sangat lama dan menyesakkan, Lucia," jawab Ten lalu meregangkan ototnya. Mendengar omongan Ten, Lucia jadi merasa akan menghabiskan waktu begitu lama dengan Rayoen.
"Ternyata kamu masih bekerja di cafe ini, awalnya aku ragu kemari," sambung Ten.
"Aku harus bekerja di mana lagi, Ten? Aku hanya punya pekerjaan ini, terus bagaimana dengan novelmu? Apa kamu sudah merilisnya?" tanya Lucia.
"Hem, sedang dalam proses percetakan, Lucia."
"Aku sudah menikah, Ten," jawab Lucia tanpa berpikir panjang, membuat ekspresi wajah Ten berubah serius lalu menatap Lucia.
"Apa? Menikah? Ahh kamu, jangan bercanda," tepis Ten pada pendengarannya, semoga saja tak benar.
"Aku tak bercanda, Ten, aku serius, aku sekarang sudah menjadi istri orang pria lain. Namun, dalam pernikahanku banyak drama yang mengalir seperti novelmu," kata Lucia menjelaskan, banyak hal yang harus di tanyakan Ten. Namun, kenyataan mendengar kata Lucia, ia seakan tak bisa menggerakkan tubuhnya.
"Kamu sudah menikah dan tak mengabariku?" tanya Ten.
"Pernikahanku bukan pernikahan yang membahagiakan, Ten, aku menikah karena beberapa alasan," jawab Lucia, menganggukkan kepala.
"Menikah dengan beberapa alasan? Woah.. Apa itu masuk akal? Kamu menikah? Hanya karena beberapa alasan?"
"Semua ini memang tak masuk akal, Ten, tapi, mungkin ini takdir yang harus aku terima."
"Pernikahan bukan permainan, Lucia, apa kamu mengerti?"
"Aku tahu itu dan aku sangat paham, Ten, karena itu aku berpikir keras selama yang aku bisa dan sebelumnya aku tak pernah berpikir atau berkhayal sedikitpun dengan pernikahan yang aku jalani ini, Ten. Namun, pernikahanku ini hanya sampai setahun, setelah itu tanpa di suruh dan tanpa di usir aku harus menyadarkan diri untuk mundur," ujar Lucia.
"Ceritakan padaku, sebenarnya apa yang terjadi? Aku pergi selama satu tahun dan kembali ke London mendengar kabarmu sudah menikah, itu sangat mengecewakanku, Lucia."
Lucia menghela nafas panjang, lalu menceritakan semuanya kepada Ten, apa yang terjadi dan apa alasannya menikah dengan pria yang tak di cintainya, setidaknya Ten membutuhkan beberapa alasan untuk membuat dirinya paham akan segalanya.
Lucia tidak melewatkan apa pun, ia menceritakan semuanya pada Ten tentang kehidupannya selama Ten tak ada.
Tenlyn adalah sahabat Lucia, meski tidak ada pertemanan diantara pria dan wanita, namun hubungan Lucia dan Ten sangat lah baik, mereka bersahabat bertahun-tahun, meski mereka berjauhan selalu saja ada alasan untuk saling memberi kabar. Jika ada yang melihatnya sudah pasti mereka akan mengira bahwa Ten dan Lucia berpacaran, namun itu tidak pernah terjadi.