Part 9

1246 Kata
Happy reading, All. Oh iya. Yang belum follow akun ini. Jangan lupa follow ya. . . Mansion, Pukul 02.00 AM Malam menunjukkan pukul 2. Namun, rasanya mata ini sangat tak bersahabat malam ini, sesekali ku pejamkan mataku dan lelap tak juga menjemputku, aku berjalan meninggalkan kamar dan meninggalkan Rayoen yang sedang tertidur di atas ranjang, hari ini pun terlihat sekali jika Rayoen sangat membenciku, entah kenapa dia berubah menjadi benci jika melihatku semenjak Micky masuk rumah sakit, sesekali aku merasa bahwa kemungkinan ... Rayoen membenciku karena menurutnya kambuhnya penyakit Micky di karenakan kelalaianku, meskipun terdengar tak masuk akal, aku tidak habis pikir dengan pikiran suamiku itu yang berubah setiap waktu, aku tidak habis pikir saja dengan pikiran yang seenaknya menilaiku. Aku seakan seperti seorang boneka saja. Aku duduk di kursi dekat jendela, menatap pemandangan di luar mansion, malam sudah begitu sepi, hanya ada beberapa bodyguard yang terlihat masih setia berdiri di beberapa sudut mansion. "Nyonya, apa anda membutuhkan sesuatu?" tanya salah satu maid dan mengejutkanku, membuatku menoleh dan melihat salah satu maid tengah menundukkan kepala. "Saya tak membutuhkan sesuatu." jawabku "Apa anda ingin minum teh herbal? Perlu saya buatkan?" "Terima kasih, tapi tidak perlu, kamu beristirahat saja, saya bisa membuatnya sendiri jika saya membutuhkannya." kataku. "Baiklah, Nyonya, saya permisi." kata Maid itu lalu berjalan meninggalkanku. Sepeninggalan maid, aku mengaktifkan ponselku, setelah aktif banyak pesan masuk. Aku membukanya satu persatu. Pesan dari : Ten [Apa yang sedang kamu lakukan? Apa Micky sudah sampai rumah?] [Kamu sudah makan] [Luc, Aku mengkhawatirkanmu?] Aku membalas pesan Ten yang bertubi-tubi, meski sudah larut, namun dia bisa membacanya setelah bangun besok. [Ponselku baru saja selesai aku charger. Iya, Ten... Micky sudah di rumah dan kamu tak perlu khawatir.] Balasku. Aku lalu membuka obrolan grup. Yang sudah sejak kemarin tidak pernah aku buka. Malas saja harus berurusan dengan semua hal yang selalu saja menodongku. [Aku hanya tak habis pikir, Keith sangat jahat pada Lucia, padahal Lucia, kan, tidak salah] kata Vivian. [Iya, aku juga merasa, jika Keith sudah keterlaluan] Sambung Liens. [Apa kalian tak khawatir dengan keadaan Keith? Suaminya sejak di hotel itu, sudah tak pernah pulang] kata Helmya. [Suruh temanmu itu sadar dan minta maaf pada Lucia, dia sudah keterlaluan tahu?] Sambung Wilona. [Lucia saja yang lebay, kalian tidak perlu menyudutkan Keith, lagian sikapnya sudah terbalaskan dengan suaminya yang tak pulang-pulang] Sambung Nelly. [Kan dia yang jahat, itu balasan buat dia] sambung Will. [Keith sejak dulu terlalu memandang remeh Lucia] ujar Len. [Btw, Bagaimana kabar Lucia?] tanya Liens. [Kalian apaan, sih, kenapa jadi pada membela Lucia? seharusnya kalian adil jadi teman, jangan hanya mengkhawatirkan Lucia, seharusnya kalian juga mengkhawatirkan Keith, terlepas bagaimana perlakuan kasarnya] balas Nelly. [Semoga saja Keith sadar dan mau meminta maaf] sambung Len. Aku menutup ponselku, terlalu banyak chat yang aku lewatkan sampai tak sanggup membaca keseluruhan obrolan itu satu persatu, ponselku kembali berdering tanda pesan masuk. Lalu sesaat kemudian ku buka obrolan lainnya. Pesan Dari : Ten. [Aku melihat jam sudah menunjukkan pukul 2 lewat, kenapa belum tidur, Lucia?] tanya Ten. [Kamu belum tidur, Ten? Aku tidak bisa tidur, mataku tak bersahabat hari ini] [Aku juga belum tidur, baru saja selesai makan] [Kamu makan larut malam begini?] [Aku tak makan malam jadi laparku menyerangku, ckcckck] [Terus, sekarang kamu sedang apa?] [Aku sedang menulis] [Ya sudah, Ten, Lanjutkan saja pekerjaanmu, aku akan ke kamar Micky dulu] [Baiklah, sampai nanti, ya] ujar Ten. [Hem... Iya] Aku menghela napas panjang lalu beranjak dan berjalan menghampiri kamar Micky, aku mengintip dan melihat Micky sudah terlelap tidur, efek obat itu sangat bekerja membuat Micky selalu saja merasakan kantuk menyerangnya seketika. Beberapa saat kemudian, aku kembali ke kamar dan melihat Rayoen yang masih terlelap, wajah damai itu terlihat sangat tampan, terlihat sangat tenang, seandainya wajah itu lebih menampakkan kepedulian, benar-benar akan terlihat seperti malaikat tak bersayap. Aku duduk di atas sofabed, menyandarkan kepalaku di kepala sofa, menghela nafas panjang, apa sebenarnya yang aku butuhkan dalam pernikahan ini? Pernikahan yang tak berdasar, bukan pernikahan yang ku inginkan, tak pernah terbayangkan sebelumnya jika aku harus mengalami hal ini, mengalami nasib ini. # Setelah sarapan, seperti biasa aku mempersiapkan sarapan untuk Micky, sarapan yang benar-benar sehat dan bagus untuk kesehatannya, tak lupa pula aku menyiapkan obat dan membawa nampan bersamaku. "Kamu tidak kerja?" tanya Rayoen, yang sedang berdiri tegap dengan kedua tangan ia masukkan ke saku celananya. "Tidak!" jawabku singkat. "Besok perusahaan mengadakan acara launching produk baru, tolong persiapkan dirimu untuk pergi bersama ke China." kata Rayoen, membuatku merasakan Deg... Apa? Berpergian bersama? Tumben! "Aku tidak mungkin meninggalkan Micky sendirian." jawabku, karena prioritasku akhir-akhir ini memang terletak pada Micky. "Temani Rayoen, Nak, karena ini adalah acara launching pertama buat perusahaan kita, akan ada beberapa pemilik perusahaan asing dan pasar asing yang akan datang menyaksikan launching itu, sangat penting untuk membawa istri bersama." jawab Hendricks, Ayah mertuaku yang sudah lama mendengar percakapanku dan anaknya, jika ia tak turun tangan bisa jadi perdebatan bisa terjadi. "Tapi, Dad, bagaimana dengan Micky?" tanya Lucia. "Micky, kan, ada Mom dan Dad." jawab Hendricks. "Tidak perlu memaksanya, Dad, jika dia tidak mau ya sudah, jika saja Bianca di sini, aku juga tidak akan mengajaknya." kata Rayoen, hendak berjalan meninggalkan kami. "Baiklah, aku ikut." kataku. Namun, tidak menghentikan langkah kaki Rayoen. Aku kembali melanjutkan langkah kakinya berjalan menuju kamar Micky, di kamar Micky sedang bermain dengan Rayoen, aku mengetuk pintu dan masuk ke kamar. "Sayang, sarapan dan minum obat dulu, ya?" kataku, yang sudah tak malu-malu bersikap seperti Ibu di depan Rayoen. "Iya, Mom." jawab Micky santun. Rayoen menatapku yang sedang menyuapi Micky dengan beberapa candaan keluar dari mulutku, membuat Micky sesekali tertawa terbahak-bahak, ini lah caraku untuk menyenangkan hati Micky yang sedang melawan rasa sakitnya. Aku berpaling, hendak melihat ke arah Rayoen yang terlihat sedang menatapku. Namun, dengan cepat Rayoen menundukkan kepala, berpura-pura membaca majalah, lalu aku kembali fokus menyuapi Micky. Tatapan Rayoen menghujam lembut, ada desir kehangatan menyeruak hebat dalam hatinya, aku begitu gugup meski berpura-pura tidak menyadarinya, perasaannya nyaman sekali melihatku memperlakukan Micky seperti anaknya sendiri, entah itu perasaan ganya kesenangan semata karena Micky terlihat bahagia bersamaku atau ada perasaan lain? Haha ... aku memang sudah gila. "Woahh ... Habis, ya, Nak? Sekarang minum obat dulu." kataku dan di turuti Micky dengan senang hati. Aku melihat Rayoen tersenyum kecil lalu berpura-pura membaca majalah lagi ketika aku hendak berpaling melihatnya. Aku membantu Micky meminum 4 macam obat yang sudah di resepkan dokter Ville, aku membelai Micky dan Micky merasakan kehangatan berada dekat denganku. "Sekarang Micky tidur, ya?" kataku. Micky mengangguk, lalu mencoba memejamkan matanya. "Sepertinya Micky harus ikut campur dengan semua ini. Mom dan Dad terlihat malu-malu satu sama lain, jadi Micky liatnya gerah banget." batin Micky. Di susul dengan kekehannya. "Kenapa terkekeh, Sayang?" tanyaku. "Hem? Oh... tidak apa-apa, Mom." jawab Micky. Beberapa menit kemudian, setelah Micky tertidur, aku lalu menyelimuti Micky dan mengecup puncak kepalanya, Rayoen terlihat sesekali tersenyum kecil ketika melihatku begitu menyayangi putrinya dan kembali menundukkan kepala ketika aku hendak berpaling. "Sekarang Micky sudah tidur, aku akan meninggalkannya agar dia terlelap dengan nyenyak." kataku. "Hem, baiklah..." jawab si wajah otoriter itu. Sepeninggalanku... Rayoen berjalan menghampiri ranjang Micky, menatap micky yang sedang tertidur lelap, begitu damainya wajah ini, wajah yang sebenarnya menyimpan banyak sakit di dalam hatinya. Rayoen membelai rambut Micky, merasakan desir kesakitan yang menyeruak hebat, dia tak sanggup jika harus mengingat apa yang akan terjadi pada putrinya. "Apa kamu sebahagia itu bersama Lucia, Nak? Dad sangat senang melihatmu bahagia," gumam Rayoen. Setelah beberapa saat kemudian, Rayoen keluar dari kamar Micky dan membiarkan putrinya itu terlelap, sesekali berbalik melihatnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN