“Kenapa kamu sangat perhatian kepada wanita itu, Abian?”
Abian sempat terdiam, bingung memikirkan jawaban yang tepat. Apalagi sorot mata Brahma seolah dipenuhi dengan kecurigaan.
“Itu … karena ….” Abian tergagap sambil menggaruk tengkuknya. “Yak arena dia karyawanku, Pah,” jawabnya sambil menunggingkan senyum yang semakin menambah rasa curiga Brahma.
Brahma ganti menatap Rhea. Dilihatnya wanita itu dari atas sampai bawah, seolah sedang menandai wanita itu. “Siapa tadi nama kamu? Dari departemen mana kamu?”
Rhea semakin menunduk, tidak berani menampakkan wajahnya. Tatapan Brahma di sana seolah menelanjanginya.
Rhea sempat kesulitan menelan air liur sebelumnya akhirnya berani menjawab, “ Saya Rhea dari Tim—“
“Udahlah, Pah. Ngapain Papah marah?” potong Abian tiba-tiba yang menyelamatnya Rhea. Abian ganti beralih ke Rhea. “Kembali ke meja kamu!” perintahnya berlagak tegas.
“Baik, Pak.” Rhea mengangguk, menuruti perintah Abian.
Dia segera menjauh dari ruangan Abian dan memukuli mulutnya berkali-kali. “Dasar bodoh! Kenapa langsung nyelonong gitu aja sih aku?” kesal Rhea.
Sedangkan di dalam ruangan, Brahma mendengkus kesal melihat sikap Abian. “Gimana Papah enggak marah? Dia gak sopan, Bian! Kamu ngebiarain karyawan seperti itu lolos gitu aja? Kamu harus kasih dia SP.”
“Dia masih baru, Pah. Mungkin dia masih nyesuaiin diri di sini,” sanggah Abian sambil mendudukkan diri di sofa.
“Justru masih baru, kamu harus tegas ke karyawan seperti itu. Begitulah cara Papah dulu, mendidik karyawan Papah sehingga karyawan Papah enggak ada yang berani bersikap seenaknya seperti wanita tadi.”
“Iya, iya,” jawab Abian berusaha menenangkan papanya. Dia bahkan menekan kebawah secara perlahan pundak papanya agar duduk pada sofa.
Sebenarnya Abian paham dengan kekhawatiran papanya itu. Dia juga pasti akan memberi sanksi atau SP kepada karyawan yang bersikap tidak sopan di lingkungan kerja. Hanya saja, Rhea pengecualian.
Entah kenapa Abian tidak bisa marah ke Rhea. Apalagi saat dia tahu bagaimana jahatnya keluarga Rhea kepada wanita itu, Abian semakin peduli terhadap Rhea.
“Mau Abian buatkan teh, Pah?” tawarnya yang mencoba mengalihkan kekesalan papanya.
Laki-laki itu mendengkus perlahan sebelum menjawab, “Enggak perlu. Papah ke sini cuma mau ngajak kamu pergi.”
“Ke mana?” tanya Abian penasaran.
“Bertemu dengan teman Papah,” jawab Brahma tenang. Sepertinya laki-laki tua itu sudah tidak sekesal tadi.
“Buat apa? Kalau ini masalah perjodohan lagi, Abian enggak akan ikut,” tebak Abian yang sudah hafal dengan papanya.
Brahma kembali mendengkus. “Mau sampai kapan kamu main-main terus Abian?”
Laki-laki itu, tiba-tiba mengeluarkan beberapa lembar foto yang ternyata sudah disiapkan dari saku jasnya. Dia melempar asal foto-foto itu di atas meja. “Kamu kira Papah enggak tahu bagaimana selama ini kelakuan kamu?”
Abian mengambil beberapa, melihat foto-foto dirinya di sana yang sedang bersama banyak wanita.
“Tinggalin mereka semua! Kamu akan Papah kenalkan dengan putri dari pewaris keluarga Wijaya,” ucap Brahma tegas.
Abian langsung berdecak kesal. “Ngapain sih, Pah? Lagian, wanita-wanita di foto itu hanya teman tidur enggak lebih. Abian bahkan lupa sama nama mereka.”
“Justru itu, Abian! Kamu mau merusak nama keluarga Pratama?” Brahma terpaksa berbicara dengan nada tinggi karena merasa putra semata wayangnya itu keterlaluan. Dia sempat memijat pelipisnya sebelum kembali berkata, “Banyak sekali pesaing kita di luar sana yang siap menjatuhkan kita. Kamu mau memperparah dengan skandal mur*han seperti ini?”
Abian terdiam, membiarkan papanya berbicara lebih banyak meski hatinya merasa ingin segera menyelesaikan pembicaraan ini.
“Lagian, usia kamu sudah sangat matang. Sudah waktunya kamu memliki keturunan. Kamu mau penerus keluarga Pratama hanya berhenti di kamu?”
Laki-laki tua itu mendengkus perlahan sebelum kembali berkata, “Seharusnya dulu aku meminta Mamah kamu untuk melahirkan lebih dari satu orang anak.”
Ini yang ditakutkan Abian. Pembahasannya akan melebar ke mana-mana. Sebelum semua itu terjadi, Abian akhirnya menjawab meski asal. “Abian tahu, Pah. Abian sudah punya calon kok.”
Sangat terlihat raut keterkejutan dari Brama. Ditandai dengan kedua matanya yang langsung melotot saat menoleh ke arah Abian. “Benarkah? Siapa wanita itu? Cepat kenalkan ke Papah.”
“Iya, nanti bakalan Abian kenalin. Yang pasti tidak sekarang.” Meski menyesal mengatakan hal seperti itu, namun, Abian terpaksa mengatakan karena bosan dengan pembahasan perjodohan.
Awalnya, Abian berniat mengenalkan Ratu kepada keluarganya sebagai calon istrinya. Hanya saja, kemunculan Rhea ternyata mampu menggoyahkan imannya. Terlebih lagi, fakta baru tentang Ratu yang belum ia ketahui selama ini, semakin membuatnya harus berpikir berkali-kali untuk menikahi kakak Rhea itu.
“Baiklah kalau begitu, Papah pulang dulu. Papah menantikan kabar bahagia itu, Abian.” Raut Brahma bahkan terlihat bahagia. Sangat berbeda dengan raut kesalnya beberapa saat yang lalu.
Laki-laki tua itu berdiri, menepuk pelan pundak Abian sembari berpesan, “Ingat, sudah waktunya kamu memikirkan masa depan. Berhenti main-main, dan cari wanita yang benar.”
***
Rhea masih berkutat dengan laptop di depannya. Ia perlu mengisi beberapa data di sana dan menyelesaikan pekerjaannya. Saat Rhea masih fokus dengan pekerjaannya, suara tegas nan berat yang memanggil namanya, langsung menghentikan pergerakannya.
“Rhea! Ke ruanganku, sekarang!”
Ya, suara itu berasal dari Abian. Laki-laki itu bahkan mendatangi Rhea sendiri di meja kerjanya tanpa menyuruh siapapun. Hal itu tentu mengundang banyak pertanyaan dari karyawan lain yang turut berada di ruangan tim perencanaan produk.
“Baik, Pak,” jawab Rhea.
Rha sempat melihat sekilas bagaimana tatapan para rekan se timnya yang terlihat penuh tanya. Hanya saja, ia mencoba santai dan mengabaikannya.
Dia lantas berdiri, keluar dari ruangannya dan mengikuti langkah Abian di belakangnya. Mereka berjalan sendiri-sendiri tanpa ada percakapan di sepanjang perjalanan.
Lalu, saat keduanya masuk ke dalam ruangan, Abian langsung memasang wajah kesal ke Rhea dan mempertanyakan, “Kenapa kamu masuk kerja?”
“Ya buat kerja. Memangnya buat apa lagi?” jawab Rhea yang turut kesal dengan pertanyaan Abian.
“Ya bukan gitu. Bukankah kemarin kamu disuruh istirahat sama dokter?”
“Kenapa kamu peduli? Bukanya kamu enggak percaya kalau janin dalam kandunganku adalah anak kamu?”
Abian langsung menghela napas panjang. “Itu lagi, itu lagi. Gak usah bahas itu dulu kenapa, sih?”
Abian mendaratkan bokongnya di bangku kebesarannya. “Aku manggil kamu ke sini buat tanya sesuatu. Ngapain tadi kamu ke sini pas ada Papah?”
Rhea langsung to the poin, tidak mau bertele-tele. “Aku ingin meminta kompensasi darimu,” jawabnya tegas tanpa ragu.
“Kompensasi?” tanya Abian sedikit heran.
Rhea mengangguk. “Iya. Aku merasa rugi kalau aku mengandung anakmu tanpa kamu kasih imbalan yang berarti. Setelah anak ini lahir, beban hidupku akan bertambah. Kalau kamu mau aku tetap mengandung anak ini, aku minta sebuah rumah.”
Satu alis Abian terangkat. Ia tersenyum miring saat berkata, “Ternyata kamu sama saja dengan semua wanita yang pernah aku kenal.”
“Terserah kamu mau anggap aku wanita matrealistis atau apapun. Yang jelas, kamu yang udah ngerugiin aku karena terus memintaku untuk mempertahankan janin ini.”
Yang dikatakan Rhea memang ada benarnya. Setelah dipikir-pikir, Abian jadi mengerti maksud Rhea. “Baiklah, aku akan memberimu rumah. Asalkan anak itu memang benar anakku.”
Bola mata Rhea memutar karena kesal dengan Abian. “Sudah berapa kali aku bilang aku bukan wanita pel*cur yang tidur dengan banyak pria!”
“Baiklah. Kalau begitu bersiaplah. Aku sudah mencari informasi tentang tes DNA di masa kehamilan. Usia kandungan kamu harus 14 minggu dulu, baru kita akan tes DNA.”
“Oke. Siapa takut?” tantang Rhea tegas.