"Dasar cucu Biadap!! Tidak tahu terimakasih. Kau malah memilih pria lain yang tidak jelas arahnya. Kau seharusnya berterimakasih karena kakek menjodohkanmu dengan pria kaya!" ucap sang kakek kesal karena cucunya justru menolak menikah dengan pria yang telah menjamin kehidupannya. "Kalau kau berani melawan kakek. Kau akan kakek buat menyesal seumur hidup!!" Imbuhnya lagi dengan nafas tersengal-sengal karena dadanya sesak penuh amarah.
Okay, fix. Plan A gagal.
Windy menghela nafas panjang, lalu menatap sang kakek yang kini telah dia bantu duduk di kursi. "Sekarang Kakek maunya gimana? Apa yang harus Windy lakukan Kek demi menyelamatkan keluarga besar semua?"
Mendengar kalimat terlontar dari bibir sang cucu membuat pria tua itu menyunggingkan senyum puas.
"Nah, ini baru cucu kakek. Kakek hanya butuh bantuanmu kali ini saja. Kau hanya perlu menikah dan punya anak dari pria itu. Tidak ada yang lain..." sahut sang kakek dengan senyum cerahnya. "Lakukan apapun caranya agar kau memiliki keturunan darinya. Sudah cukup itu saja..."
Windy tertunduk lesu karena sepertinya dia tak akan mampu menghindar dari situasi ini, maka dia akhirnya menjawab ."Tapi, Kek. Windy sudah memiliki kekasih, Kek. Windy hanya mencintainya..." jawab Windy perlahan.
"Cinta! Cinta! Kau pikir kau akan kenyang makan cinta? Kau akan menyesal nanti setelah melihat kami semua terbujur kaku karena kami telah mengingkari janji kami ke Tuan Swan..."
Windy berfikir keras akan langkah yang harus dia ambil saat ini.
Baiklah. Tak tertolong. Plan A memang gagal. Aku harus mencoba sekuat tenaga menjalankan plan B.
"Baikah, Kek. Kalau itu yang membuat Kakek puas. Anggap ini balasan Windy karena Kakek telah membesarkan Windy selama ini. Tapi lain kali Kakek tak perlu mengancam Windy dengan mengatakan nyawa Papa sedang dalam bahaya..."
Windy menatap kearah sang Kakek, mencoba menyebrangi sorot mata tua pria dihadapannya yang mengaku sebagai kakeknya, tapi selama ini sejak Windy lahir, belum pernah dia merasakan kasih sayang yang tulus layaknya seorang kakek kepada cucunya seperti kebanyakan orang berpendapat.
Pria tua itu terbatuk senang, hingga keduanya di menoleh kearah pintu yang terbuka.
"Maaf, Tuan. Waktunya sudah habis. Dan Nona harus ikut bersama kami..." tutur Hansen menatap santun kearah pria tua itu dan membungkuk kearah Windy.
"Ingat, Windy. Kau akan menjadi istri Tuan Swan. Selayaknya agama islam. Seorang wanita yang telah menikah maka akan menjadi milik pria yang menjadi suaminya. Dan kau bukan lagi bagian dari kami. Kau sudah menjadi milik Tuan Swan. Apapun yang terjadi denganmu kedepannya, kau tak boleh meninggalkan Tuan Swan selangkahpun. Patuhi perintah Tuan Swan sebagaimana ajaran islam. Paham itu..." ucap sang kakek berteriak sedangkan Windy telah berjalan dengan tangan di tarik paksa oleh Hansen.
Windy hanya menoleh dengan sorot mata antara sedih dan senang. Sedih karena dia kawatir rencananya gagal. Senang karena dia akan pergi meninggalkan sang kakek yang selama ini kejam padanya.
Mereka terus berjalan menuju parkiran. Tapi tiba-tiba Hansen berhenti dan menoleh. "Jangan pernah kau tunjukkan air matamu di hadapan Tuan Swan. Beliau akan murka. Sebaiknya kau tersenyum untuk menyimpan semuanya. Karena dengan kau menampakkan kelemahanmu, maka akan mudah lawan melumpuhkanmu. Camkan kalimat ini baik-baik sebelum kau memasuki mobil itu." ucapnya tegas lalu dia melanjutkan langkahnya menuju mobil.
Entah mengapa hati kecil Hansen tiba-tiba tergerak untuk menasehati wanita muda yang akan menjadi istri tuannya. Selama ini dirinya lebih memilih menghindari masalah. Meskipun wanita ini tadi justru hampir bermasalah dengannya.
Windy terlihat memasuki mobil dimana terdapat pria yang tadi menemui dirinya dan sang kakek di restaurant Jepang. Pria yang dia tabrak ketika berlari karena terburu-buru untuk menemui sang kakek.
"Tuan. Kita akan langsung ke Mansion atau?" tanya Hansen sopan, suaranya sangat lembut dan enak terdengar. Setidaknya bagi Windy yang baru pertama kalinya berbaur dengan orang asing untuk waktu yang lama selain di lingkunhan sekolahnya.
Entah mengapa Windy merasa Hansen adalah pria yang baik dan akan melindunginya, sehingga ketika Hansen menoleh kearah belakang untuk bertanya kepada Swan, Windy justru melempar senyum.
Sepertinya kalimat Hansen yang tadi dia lontarkan, menjadi obat mujarab bagi Windy untuk meredakan kesedihannya, dan menjalankan rencana keduanya.
"Tidak. Kita ke Villa saja. Aku sedang ingin istirahat panjang. Batalkan semua jadwal dan siapkan semuanya. Aku ingin semuanya segera di laksanakan." jawab pria itu lalu tangannya meraih kacamata dan mengenakannya dengan senyum tersungging di akhir, entah apa maksud senyum itu.
Dia menyandarkan kepalanya ke jok mobil dan melipat kedua tangannya di d**a. Tak sedikitpun dia bergeming dengan wanita cantik yang duduk di sebelahnya. Seolah dia tak membutuhkan wanita di sebelahnya yang akan dia nikahi.
"Baik, Tuan. Apakah prosesi akan dilangsungkan malam ini juga, Tuan?" tanya Hansen santun.
Pria itu diam sejenak lalu dia menggeleng. "Tidak. Aku ingin melihat keadaan terlebih dahulu. Persiapkan saja sampai tiba waktunya..." ucapnya membuat Windy berfikir keras untuk menunda apa yang telah dilakukan pria di sebelahnya.
"Baik, Tuan." jawaban singkat dari pria yang telah menasehatinya membuatnua berfikir keras.
Sepertinya pria ini masih ragu juga untuk menikah denganku. Semoga dia tergerak hatinya untuk membatalkan pernikahan kami. Semoga dia hanya berniat menjadikanku pekerjanya. Setidaknya aku harus berusaha untuk itu. Semakin optimis menjalankan plan B.
Mereka telah tiba di sebuah Villa mewah di kawasan puncak. Perjalanan yang lumayan panjang ditambah dengan bumbu-bumbu macet membuat Windy tertidur pulas.
Swan telah menuruni mobil yang dibukakan pintunya oleh sang bodyguard. Sedangkan Hansen diberi tugas untuk membawa calon pengantin wanitanya masuk ke dalam.
"Nona...Nona...kita sudah sampai..." bisik Hansen menggoyangkan bahu mungil Windy, membuat Windy akhirnya membuka matanya.
Matanya tanpa sengaja bertatapan dengan Hansen beberapa saat, lalu Hansen memilih untuk berdiri tegak dan berkata. "Nona, kita sudah sampai. Tuan menunggu di dalam. Mohon untuk tidak membuat Tuan terlalu lama menunggu..." jawab Hansen lalu dia menjaga jarak lima langkah dengan menggaruk kepalanya.
Sementara Windy yang telah diperingatkan, akhirnya bangkit dengan malas dan melangkah keluar dari mobil. Sejenak dia tertegun melihat bangunan megah dengan suasana yang sejuk.
Sebaiknya aku mengirimi Zidan agar dia menjemputku?
"Zi, sepertinya aku butuh bantuanmu. Bisakah kau jemput aku?"
Setelah mengirimi pesan, Windy kembali menikmati pemandangan sekitar.
Zidan kemana sih? Masak pesan aku di abaikan gitu aja? Tega banget sih biarin aku
"Zi, kamu lagi sibuk? Aku tadi nyari kamu di kelas, katanya kamu ada ujian praktek, dan pergi bareng Sahara. Kalau udah selesai langsunv hubungin aku, ya? ASAP"
Windy kembali menghela nafas karena masih tak mendapati balasan pesan dari sang kekasih, hatinya semakin gundah gulana.