Transaksi Istri

1068 Kata
Seorang gadis berlari dari parkiran dengan masker menghias wajahnya. BRUGHHH!! Karena keteledorannya dia terjatuh dan parahnya, dia menabrak seorang pria dengan beberapa pengikut di belakangnya yang baru saja menuruni mobil. "Yasshhh! Liat jalan, gak—sih?!" teriaknya sembari mendongak dan mencoba bangkit berdiri. Teriakanya membuat beberapa pria mencoba melangkah maju, tapi dengan secepat kilat pria itu mengangkat tangannya dan memperbaiki jas yang tersentuh oleh wanita muda itu. "Lain kali, gunakan management waktu. Sehingga kau tak perlu terburu-buru." balasnya dingin dan terkesan angkuh membuat Windy semakin kesal. "Ehh! Ini gue ampuni karna gue lagi kaga punya waktu buat ribut, ya? Lain kali awas, lo!" ancam Windy membuat seorang pria maju ke depan. "Jaga bicara anda, Nona. Anda bisa terkena masalah nanti..." ucap seorang pria yang terlihat kawatir dengan sikap Windy. "Dih! Kenapa lo? Mau maen keroyokan, gitu? Mentang-mentang lo pada lagi nge—gank? Kalo berani satu-satu, dong!" tantang Windy seolah dia adalah jago ilmu bela diri, walau sebenarnya adalah zonk. Windy hanya sampai di tingkatan sabuk hitam sebuah ilmu beladiri karena bersengketa dengan pelatihnya kala itu. "Cukup, Hansen. Kita tak punya waktu untuk meladeni orang seperti ini." tegas pria yang tadi terkena tabrak sembari memperbaiki kacamata yang menghias wajahnya. "Ayo." "Emang lo aja yang gak punga waktu? Gue juga, Bambaaaang!" teriaknya masih nyolot dan ingin terus berdebat melawan segerombolan pria berbadan tinggi besar. "Nona!" Seru pria itu. Setelah Windy membersihkan pakaiannya dia langsung menjauh dan membuka maskernya lalu menjulurkan lidahnya. "Weeeeekkk! Sampai ketemu di pertempuran sesungguhnya, kalau Tuhan masih sayang lo-lo pada..." teriak Windy melanjutkan larinya dan menghilang setelah memasuki lobi hotel bintang lima itu. "Gawat, nih! Kakek tua itu pasti ngamuk dah!" gumamnya sembari memperbaiki diri setelah memasuki ruangan yang di maksudkan sang kakek padanya. Setelah memperbaiki ekspresi menjadi sosok kalem, Windy langsung mengetuk pintu ruangan VIP restaurant Jepang hotel bintang lima. Ya, di hadapan keluarga Windy memang memilih memasang sikap kalem dan penurut. Tapi di luaran dia adalah gadis yang ceria dan lumayan usil. Yah, seperti kebanyakan gadis seusianya. "Kakek, maaf, Windy terlambat..." sapa Windy dengan berusaha menyalam tangan sang kakek tapi, pria itua itu mengibaskan tangannya. Windy seketika menepuk jidatnya. Haiah! Lupa. Kalau lagi berdua doank. Si tubang ini—kan gak mau dia salaman atau sentuhan sama aku. Aku kan dia anggep pembawa sial. Sabar Wind. Windy tersenyum dan duduk di hadapan sang kakek dengan manis seperti biasa. "Dasar cucu gak guna! Sudah berapa kali kakek katakan, untuk tidak terlambat? Untung calon suamimu belum sampai." Mendengar kalimat sang kakek Windy menghela nafas panjang. Itu lagi, itu lagi. Sebenarnya beneran gak—sih , aku bakalan nikah ama pria yang gak aku kenal? "Buka maskermu, apalagi?!" bentaknya membuat lamunan Windy buyar seketika. "Kau pikir ada pria yang mau menikah dengan wanita tanpa melihat wajahnya. Awas saja kalau dia sampai menolak. Habis kau, kakek buat. Dan ayahmu bisa kehilangan nyawa, ingat itu!" ancaman sang kakek yang seperti ini sih sebenarnya sering sekali di dengar oleh Windy. Tentang ayahnya akan di bunuh. Tar gak over dosis karena anceman, kan? "Baik, Kek. " Windy hanya menghela nafas panjang mendengarkan petuah sang kakek. Plan A, coba tar setelah ketemuan dan orang itu pergi, aku negosiasi ama kakek. Dan jujur kalau aku udah punya pacar. Plan B, aku pura-pura nerima semua alur, abis tu pas aku bareng si cowok aku bakalan ancem dia, trus dia batalin pernikahan. Sooooo simple. Cerdas emang seorang Windy ini. Intinya selagi belum tamat kuliah, ngikut aja deh sama alur kehidupan, seperti kata mbok Darmi. "Ingat! Jangan sampai kau mengecewakan kakek!" ucapnya dengan mata menyorot tajam kearahnya. "Baik, Kek." jawab Windy kalem. Tak lama berselang datang serombongan pria berbadan tegap mengiringi seorang pria bermata elang dengan hidung mancung dan rahang yang kokoh. "Selamat datang, Tuan Swan." Mustafa Ibrahim tampak berdiri hormat menyambut serombongan pria yang memasuki ruangan VIP restaurant Jepang. Windy hanya menunduk dan enggan melihat segerombolan orang yang masuk. Ini langsung bawa Emak-Bapak? Rame amat kayaknya yang masuk. "Saya tidak memiliki waktu yang cukup. Sehingga kita langsung ke intinya, Tuan Ibrahim." tegas pria itu setelah dia duduk tepat di hadapan Mustafa Ibrahim dan Windy Aksena Ibrahim dan menatap kearah Windy dengan membelalakkan matanya. Lalu dia menoleh kearah Hansen yang mengangguk kearahnya menandakan mengerti maksud tatapan tuannya. "Ba-baik, Tuan." jawab Mustafa Ibrahim terbata-bata. "Inikah Windy?" terdengar suara bariton pria yang baru saja datang dan duduk di kursi sebuah private room restaurant Jepang, hotel bintang lima, membuat Windy berdegub kencang, ternyata si kakek telah menceritakan tentangnya kepada pria itu. "Iya, Tuan Swan. Dia adalah calon mempelai yang saya bicarakan minggu lalu." jawab pria tua yang merupakan seorang kakek dari gadis muda dihadapannya. "Berapa usianya?" tanyanya singkat padat dan jelas. "Sembilan belas tahun, Tuan. Dia sudah kuliah semester empat." jawab sang kakek dengan suara berat dan tersirat rasa kawatir jika pria dihadapannya menolak cucunya. Karena jika itu terjadi maka seluruh bisnisnya akan hancur dan dirinya akan jatuh miskin. "Hmm...sebenarnya saya mencari istri yang masih tujuh belas tahun. Anda tahu itu bukan?" tandasnya dengan sorot mata tajam membuat Mustafa Ibrahim gemetar. "Lagian sepertinya gadis ini tidak seperti yang Tuan bicarakan. Dia terlihat kasar." imbuh Swan dengan menyunggingkan senyum kirinya. Dih! Siapa juga yang minat nikah ama situ, suaranya aja tuwir gini? Sok-sok nyari istri tujuh belas tahun. Ngaca oiii! gumam Windy dalam hati sembari mencibir. "Ma-maaf, Tuan. Cucu saya yang umur tujuh belas tahun itu menderita sakit kulit. Tidak mungkin saya memberikan Tuan barang yang busuk. Dia adalah pilihan terbaik yang akan mampu melengkapi Tuan Swan." tutur pria berumur enam puluh delapan tahun itu dengan wajah tegang. "Terbaik?" Swan terkekeh mengejek mendengar jawaban sang kakek. Membuat Mustafa Ibrahim takut bukan kepalang. "Tuan. Saya berani menjamin dengan nyawa saya. Jika dia adalah yang terbaik untuk Tuan. Jika nanti tidak sesuai. Saya rela mengorbankan nyawa saya demi membuat Tuan puas." jawabnya dengan ketakutan membuat Swan tersenyum sinis. "Karena saya mempercayai Tuan Mustafa. Maka saya anggap dia adalah tawaran terbaik. Tapi, jika ditengah jalan hasilnya mengecewakan. Tanggung sendiri akibatnya. Anda tahu bukan bagaimana saya?" tanyanya dengan sorot mata bak pedang tajam langsung menghunus ke jantung, hingga membuat kita kehilangan darah. Begitupun dengan Mustafa Ibrahim. Darahnya seolah turun semua karena rasa paniknya. Wajahnya memucat seketika mendengar kalimat ancaman tersembunyi. "Saya berani jamin. Dia adalah kualitas terbaik yang kami miliki. Tuan tidak akan menyesal. Tuan boleh merenungkannya dalam waktu tiga hari sebelum kita bertransaksi. Jika dalam tiga hari Tuan merasa tidak cocok, Tuan bisa mengembalikan kepada saya, dan membatalkan perjanjian kita..." jawabnya dengan lemas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN