POV DEWA
"Mas, Aku hamil."
Bagaikan mendengar petir di siang bolong, Liana sekretarisku itu mengabarkan kehamilannya.
"A-apa? Hamil?".
Wanita seksi itu mengangguk cepat.
Aku terduduk pada kursi kebesaranku di ruangan ini. Beruntung hanya aku berdua berada dalam ruangan khusus manager ini. Tubuhku terasa lemas. Seharusnya aku bahagia mendengar kabar ini. Bukankah aku akan memiliki seorang anak? Setelah selama hampir dua tahun menunggu.
Namun saat ini yang mengatakan hamil bukanlah istriku. Tapi sekrerisku, Liana. Wanita yang sering menemaniku tidak hanya di kantor, tapi juga saat aku dinas ke luar kota, bahkan diranjang hotel.
Setiap hari Liana selalu berpakaian seksi jika di kantor. Sepertinya wanita ini memang sengaja memancing hasrat kelaki-lakianku. Setengah mati aku mencoba untuk menahan. Namun, siapa yang tahan jika setiap saat disuguhkan pemandangan yang indah dan sangat menggoda itu.
Berbeda dengan Zahra, istriku. Dirumahpun dia tak pernah berpakaian yang memancing hasratku. Wanita yang sudah dua tahun aku nikahi itu semakin membosankan. Setiap pulang dari kantor, Zahra hanya memakai daster lusuh dan tanpa riasan wajah sedikitpun. Dia selalu terlihat repot, padahal kami belum punya anak.
Zahra di rumah hanya menemani Ibu yang sudah lebih dari setahun terkena stroke. Sebenarnya apanya yang repot? Mungkin dia hanya ingin di hargai karena telah merawat ibuku. Padahal sudah jelas itu adalah kewajibannya sebagai menantu. Lagipula apalagi yang dia bisa kerjakan selain bantu-bantu di rumah.
"Maaaas! Kok malah bengong, sih? Kamu harus tanggung jawab!"
Apa dia bilang? Tanggung jawab? Apa benar yang diperutnya itu adalah anakku? Sementara Liana sudah tidak suci lagi saat aku gauli. Wanita itupun nampak sangat biasa dan mahir jika diranjang. Bahkan dia sangat liar dan selalu sengaja menggodaku. Sebagai laki-laki aku sangat menyukai itu. Namun sayangnya aku tidak mendapatkannya dari istriku.
Sebenarnya Zahra jauh lebih cantik dari Liana. Namun hidupku terasa datar dan membosankan bersamanya. Sangat berbeda dengan Liana yang selalu memberikan gairah serta semangat baru untukku.
"Maaaas! Kamu harus segera melamar pada orang tuaku!"
Liana yang manja menghentak-hentakkan kakinya di depanku.
"Iya, nanti aku pikirkan!" jawabku asal, sambil mencari cara untuk mengetahui bahwa itu benar anakku atau bukan.
Namun Liana terus mendesakku.
"Siang ini Mas Dewa harus ikut aku bicara pada papi dan mami!"
"Jangan sekaranglah, Lee. Aku belum siap."
Tiba-tiba wanita manja itu menangis tergugu di depanku. Apa kata karyawan lain nanti, jika Liana menangis seperti ini di depanku. Bisa buruk reputasiku di depan semua orang.
"Liana, tolong jangan menangis seperti ini! Apa kata orang nanti."
"Kalau begitu sekarang juga Mas Harus menghadap orang tuaku!"
Sial! Apes aku!
"Ya sudah, Ayo!" Sontak aku bangkit dan melangkah ke pintu.
"Kamu tunggu di mobil. Aku izin Pak Devan dulu!"
Semoga saja Pak Devan sedang tidak ada tamu. Bos besarku itu, walau masih muda, memiliki banyak perusahaan. Hingga harinya selalu sibuk. Walau demikian tak pernah sekalipun aku melihatnya dekat dengan wanita. Apa dia normal? Sudahlah, bukan urusanku.
"Selamat siang Pak Devan, saya izin keluar kantor ada urusan keluarga!"
"Urusan keluarga? Apa tidak bisa ditunda? Ini masih jam kantor," tegasnya.
Tau apa laki-laki ini tentang keluarga. Menikah saja belum. Dia tidak akan mengerti kesulitanku saat ini.
"Maaf, Pak. Ini sangat penting dan tidak bisa ditunda."
"Ya sudah. Segera kembali jika urusannya sudah selesai!" tegas pria bertubuh jauh lebih tinggi dan besar dariku.
"Baik. Terimakasih, Pak."
Gegas aku turun menuju area parkir khusus manager yang terletak tidak jauh dari lobby utama. Liana sudah berada di dalamnya. Wanita itu tampak sedang berbicara dengan seseorang dengan wajah sumringah. Cepat sekali perubahan emosi pada dirinya. Apa karena dia sedang hamil?
Lagi-lagi aku menyayangkan kenapa bukan Zahra saja yang hamil. Walau istriku itu membosankan, namun aku sangat mencintainya.
"Ayo, cepat, Mas! Papi dan Mami kebetulan sedang ada di rumah," pinta Liana.
****
Setelah tiga puluh menit perjalanan, Kami tiba di depan sebuah rumah besar. Menurut Liana, itu adalah rumah Almarhum kakeknya. Namun sekarang ditempati saudara-saudara Papi dan keluarganya. Pantas saja rumah itu terlihat ramai.
"Tunggu, Li. Sebaiknya kita tunda dulu ketemu dengan orang tuamu."
"Loh, kenapa ditunda, Mas?" tanyanya mulai kesal.
"Apa kamu tidak malu jika saudaramu tau kondisimu sekarang ini?"
Liana menghempas napas kasar. Wanita bertubuh sintal itu berpikir sesaat.
"Baiklah, kamu benar." Akhirnya Liana menyerah.
"Kita ke hotel aja, yuk?" ajaknya antusias.
Aku menggeleng. Entah kenapa hari ini aku kurang berminat dengannya.
"Pak Devan memintaku segera kembali ke kantor," tegasku.
Liana tak menyahut. Aku tau wanita itu pasti kecewa karena aku menolaknya.
Setelah memutar balik arah mobilku, segera kulajukan mobil kembali ke kantor.