Juna kemudian mengeluarkan kartu ASnya. Ia merogoh saku dan mengeluarkan pisau lipat.
Apa yang akan dilakukannya?! Tolong...
Methalia memejamkan matanya rapat sambil bergetar. Jujur, ia takut kalau lelaki itu menusuknya.
"Apa salahku? Kenapa kau berbuat seperti ini?" tanya Methalia sambil meneteskan air mata.
Deg
Rasa sakit itu datang kembali saat melihat Methalia menangis. Tanpa sadar, Juna menghapus air mata Methalia. Ia mengusap lembut dan berhenti di bibir pink alami miliknya.
Matanya terfokus pada bibir yang menggoda itu. Dengan gerakkan perlahan, Juna mengangkat dagu Methalia dan mencium bibirnya lembut.
Tak hanya itu, Juna bahkan melumat dan mengabsen setiap inci bibir Methalia. Anehnya, gadis itu tak menolak sama sekali. Bahkan, membalas aksi Juna.
Mereka terbuai menikmati sensasi madu dan meresapnya. Suasana yang menggairahkan membuat siapa saja di selimuti oleh api hasrat yang membara.
"Emmm…."
Deg
Juna semakin genjar melumat bibir gadis itu. Tanpa sadar, tangannya mulai bergerilya di daerah bukit kembar Methalia.
"Oh My God!" teriak seseorang secara tiba - tiba.
Kedua sejoli itu langsung sadar dan melepaskan ciumannya. Mereka berdua menoleh ke arah sumber suara.
"Diana," gumam Methalia tak percaya.
"Shitt," gumam Juna.
"Suasana yang menggairahkan," ucap Diana sambil bersandar di pintu.
Methalia menggeleng, "Ini… ini tidak seperti yang kau pikirkan." Ia menatap Juna. "Kau iblis. Be… beraninya kau menciumku," ucap Methalia terbata - bata sambil menunjuk.
Juna langsung sadar dan merutuki kebodohannya. Ia kemudian kabur lewat jendela.
"Hey, dasar b******k! Beraninya mengambil ciuman pertamaku!" teriak Methalia menggema di seluruh ruangan.
Diana menghampiri Methalia, "Oho…, kau sekarang jadi buas."
Methalia mendengus kesal, "Itu kecelakaan."
Diana melihat sekeliling kamar gadis itu. "Kau sudah melepas keperawananmu?"
Tuk
Diana meringis kesakitan. "Jangan pukul kepalaku!"
"Dia penguntit. Aku sudah tak aman," ucapnya sambil membereskan barang yang berserakan.
Diana duduk di atas ranjang. "So, dia lelaki bervitalitas kuat, bodi bagus dan pasti tampan. Meski pakai topeng misterius."
"Tahu dari mana?"
"Hei, walau aku tak punya pacar. Tapi, aku tahu kalau dia sexy."
Methalia melempar buku kepada Diana, "Jangan kau kotori otak suciku dengan ajaran sesatmu, Diana.
Diana mendengus kesal dan memilih merebahkan diri di kasur. Sayang sekali, Sinta tak datang bersamanya. Jika dia ada, pasti akan seru sekali.
Gadis itu tiba - tiba bangun, "Lebih baik aku pulung. Jika aku di sini, pasti mengingat lelaki vitalitas tinggi itu." Diana menoleh sebelum pergi, "So sexy…, i like it. Aku pasti akan menyetujuinya.
"Diana!" teriak Methalia geram.
Sementara itu, Juna lari menuju mobil dan bergegas pergi meninggalkan rumah Methalia. Ia menerobos jalan dengan cepat agar cepat sampai.
Selang beberapa menit kemudian, ia sudah berada di depan rumahnya. Lelaki itu berlari masuk dan langsung menuju kamar.
Dengan kasar, ia membuka pintu dan melempar dirinya keranjang. Juna memukul kepalanya dengan tangan.
"Bodoh… bagaimana bisa aku menciumnya?"
Lelaki itu membalikkan badan dan menatap langit kamar. Tanpa sadar, ia meraba bibirnya dan tersenyum.
"Masih terasa," gumam Juna dengan wajah memerah.
Juna kemudian duduk menyentuh dadanya yang berdetak kencang. Ia kemudian menghela nafas panjang.
"Aku pasti gila. Dia benar - benar rubah. Shitt… menyingkirlah kau rubah sialan."
Deg
Deg
Jantung oh jantung. Kenapa berdetak kian cepat? Juna sampai bingung harus berbuat apa untuk membuatnya berdetak pelan.
Kring
Kring
"s**t, pengganggu," ucap Juna sambil mengangkat ponsel.
"Hello, Jun."
"Jangan mengganggu! Aku sibuk!?" ucap Juna penuh emosi.
"Ho ho tenang, Sobat. Ssttt pelan - pelan sayang. Jangan begini… ah...faster…"
"Kau gila!" teriak Juna.
Tut
Ia tak tahan mendengar suara sahabatnya yang mendesah menjijikkan itu.
Kring
Kring
Ponselnya berbunyi kembali. Siapa lagi kalau bukan si raja seks menyebalkan itu. Dengan sangat terpaksa, ia mengangkat ponselnya.
"Kenapa kau matikan? Aku belum selesai."
"Sinting. Aku tak mau mendengar suaramu jijikmu."
"Ayolah…, seks itu menyenangkan. Kau harus mencobanya.
"b******n gila! Apa maumu?"
"Oh yeach… faster baby. I wanna come. Ugh…."
Juna menjauhkan ponsel itu dari telinganya. Suara yang sangat menjijikkan bisa mengotori gendang telinganya yang suci.
"Jangan hubungi aku lagi!" teriak Juna sambil melempar ponsel itu.
Juna tambah kesal karena sahabatnya menghubungi sambil melakukan s*x. Ia kemudian menatap bekas gigitan Methalia. Emosinya semakin memuncak ketika melihat luka itu.
Bagaimana tidak? Tubuhnya yang bak dewa Yunani terluka ketiga kalinya karena gadis sialan itu. Dengan cepat, ia berdiri kasar dan mengambil minuman untuk melepas amarahnya. Di sela amarahnya memuncak, ia juga teringat ciuman itu.
"Rubah b*****h. Besok aku akan membalasmu," gumamnya.
Juna masuk ke dalam ruangan bawah tanah. Ia mengambil sebotol wine dan meminumnya sampai tandas. Perlahan, rasa mabuknya mulai timbul.
Juna melangkahkan kaki dengan sempoyongan. Tubuhnya seakan bergoyang tanpa henti.
"Cinta, apa itu cinta? Aku tak percaya. Menyebalkan," gumam Juna sambil berjalan tertatih ke arah kamarnya.
"Rasa ini tak mungkin ada. Pergi jauh, jangan mendekat. Aku benci kau, Thalia. Ha Ha Ha…"
Juna melemparkan tubuhnya ke ranjang dan memejamkan matanya erat.
°°°°°
Mata Methalia masih dalam kondisi tertutup saat berjalan menuju kamar mandi. Tadi malam, ia tidak bisa tidur dengan nyenyak karena ciuman pertama dengan orang tak dikenalnya.
Seharusnya, ciuman itu untuk orang yang sangat dicintainya. Tapi, malah untuk penjahat yang tak tahu asal usulnya.
Methalia mengacak rambutnya frustasi. Ia malas pergi ke kantor bertemu dengan sang bos kribo.
"Menyebalkan," gumam Methalia sambil melempar handuknya.
Beberapa menit di dalam kamar mandi membuat dirinya segar. Gadis itu berjalan menuju kaca rias dan menyisir rambutnya.
"Kalau gini caranya. Aku tak akan fokus kerja."
Methalia berdiri kasar dan menyambar tasnya. Ia keluar kamar menuju dapur untuk minum teh hangat. Setelah itu, dirinya bergegas ke kantor dengan perasaan yang sulit digambarkan.
Barren Company
Kepala Juna berdenyut nyeri saat bangun tadi hingga sekarang. Ia memijat pelipisnya dan minum obat pereda mabuk.
Juna menyandarkan kepala di kursi dan mengangkat kaki di atas meja. Untuk menghilangkan pusing. Ia memejamkan kedua bola matanya.
Tok
Tok
Suara pintu membuatnya berjingkat kaget. Jun kemudian bangkit dan sambil menatap jam yang ada di tangannya.
"Pukul 8 lebih. Kemana dia? Atau tidak peduli dengan gitar itu."
Tok
Tok
Ceklik
Methalia membuka pintu dengan perlahan. Ia menatap Juna yang tengah sibuk dengan pemikiranya.
"Selamat pagi, Bos," sapa Methalia.
Deg
Juna menoleh dan terbengong menatap Methalia yang tengah berjalan ke arahnya.
"Bos, hari ini ada rapat penting dengan klien di Hotel Brivan. Kita berangkat pukul 9."
Juna membuyarkan ke terpakuannya. "Aku akan berangkat sendiri."
"Tapi, Bos."
Juna mengepalkan tanganya, "Apa kau tuli?!"
Methalia hanya mengalah dan berjalan keluar ruangan. Lagi pula, ia tak tahan harus berlama - lama dengan bos kribo itu.
"Kemana kau?" tanya Juna.
"Saya akan pergi ke ruangan saya."
Juna bersemirik, "Mejamu sudah aku pindahkan."
Methalia membalikan badan dan mencari keberadaan meja kerjanya. Ia melotot kaget saat melihat benda itu sudah berada tak jauh dari sanh bos.
"Mulai hari ini, gerakkanmu kuawasi," ucap Juna dingin.
Aku bisa mati tercekik….
Methalia dengan ragu menghampiri mejanya dan duduk di kursi.
"Berdiri!" titah Juna. "Aku tak menyuruhmu untuk duduk."
Methalia terpaksa berdiri. Ia menetralkan emosinya kuat. Dalam menghadapi Juna, dirinya harus sabar.
"Apa yang Bos inginkan?"
"Buka kardus itu. Buat menara."
Methalia membuka kardus dan melihat benda yang ada di dalam. Ia sangat terkejut melihat tumpukan kartu.
"Hari ini harus selesai. Tak boleh istirahat jika belum selesai," ucap Juna sambil pergi meninggalkan Methalia yang masih menatap tak percaya kardus di depannya.
"Pekerjaanku masih banyak. Kenapa diberi pekerjaan seperti ini? Menyebalkan…!"
Methalia menghela nafas panjang. Ia kemudian duduk dan menatap langit ruangan. Meski diberi pekerjaan di luar tanggung jawabnya, dirinya akan tetap bersyukur. Lagi pula, Juna tak marah - marah padanya.
"Ini pasti awal yang baik. Semangat!"
Gadis itu berdiri dan mulai menyusun kartu remi satu demi satu. Membuat menara dari kartu sangatlah sulit. Butuh keseimbangan dan harus hati - hati ketika meletakkan kartu itu.
"Sangat melelahkan. Tapi, aku tak akan menyerah," gumam Methalia.
Beberapa jam di habiskan Methalia hanya untuk menyusun kartu remi. Namun, belum ada pertanda kartu remi yang ada di kardus habis.
Methalia menatap jam yang di dinding. Perutnya sudah keroncongan. Ia perlu mengisi sumber tenaga untuk menyelesaikan tugas dari Juna.
Dengan langkah penuh semangat, gadis itu berjalan menuju pintu. Akan tetapi, pintu itu tak bisa dibuka.
Berulang kali, Methalia berusaha membukanya. Namun, gagal.
"Iblis itu…!" geram Methali. "Dia mengunciku," imbuhnya sambil mengepalkan tangan.
Amarah Methalia memuncak begitu saja. Ia berbalik arah dan duduk dengan kasar sambil memegang perutnya.
"Sialan…, aku benar - benar lapar."
Methalia merogoh sakunya untuk mengambil ponsel. Ia tak akan berdiam diri di dalam ruangan begitu saja menunggu kelaparan.
"Aku harus menghubungi Diana dan Sinta."
Gadis itu memencet tombol dan menghubungi Diana. Namun, tidak diangkat.
"Kemana dia? Hais…, sialan!" frustasi Methalia.
Tak ada cara lain lagi untuk Methalia. Dengan kasar, ia menulis pesan dengan cepat.
Aku terkunci di ruangan Bos kribo. Jika kau tak membantuku. Aku kutuk jadi batu.
Kini, tinggal menunggu kabar dari mereka berdua. Setelah membaca pesan itu, pasti mereka akan membantunya.
Benar saja, beberapa menit kemudian ada yang membuka pintu. Methalia langsung berdiri dan menghampirinya.
"Akhirnya, aku bebas," ucap Methalia sambil memeluk orang yang membuka pintu.
Orang itu langsung mendorong kasar tubuh Methalia sampai tersungkur di lantai.
Brug
"Ya…, Diana, Sinta. Apa yang kalian lakukan?!" teriak Methalia.
"Kau membuat jas mahalku kotor."
Deg
Methalia langsung menatap ke depan dan melotot kaget saat tahu bahwa orang yang dipeluknya tadi adalah Juna.
Lapar sungguh membuatnya tak bisa berpikir jernih. Sungguh bodoh kau Methalia Fandiya? Pikir Methalia sambil memukul kepalanya sendiri.
"Kau semakin terlihat bodoh," ucap Juna melewati Methalia begitu saja.
Gadis itu langsung bangun, "Maafkan saya, Bos. Saya kira Diana."
Juna acuh dan menghampiri menara yang dibuat oleh Methalia. Ia meniup menara itu sampai roboh.
"Kurang kokoh," ucap Juna tanpa dosa.
Juna menatap gadis di depannya yang sedang menahan amarahnya. "Kenapa? Kau tidak mau melakukannya." Ia bertanya dengan nada sedikit sombong sambil melipat kedua tangannya.