Episode 11

1564 Kata
Methalia berusaha merebut gitar itu. Namun, Juna memeluknya dengan erat. Tak ada cara lain lagi, Methalia berpikir sejenak untuk melakukan hal yang di rasa membuat Juna terpojok. Dengan gerakan cepat, gadis itu menarik kerah Juna dan menguncinya di tembok. "Kembalikan," ucap Methalia sambil menatap tajam. Gitar itu sangat berarti untuknya karena hanya satu - satunya barang peninggalan orang tuanya.  "Aku kembalikan besok," jawab Juna dingin sambil berusaha melepaskan diri.  Methalia semakin erat mengunci tubuh Juna. Sehingga tanpa sadar, mereka berdekatan satu sama lain. Juna menatap Methalia dengan seksama.  Deg Jantungnya berdetak tak karuan dan ingin meronta keluar dari sarangnya.  Sial, aku tidak boleh terpedaya. Juna melawan hatinya untuk menepis perasaan itu. Ia tak ingin mempunyai rasa kepada Methalia. Pemikiran Juna kemudian di sadarkannya.  "Menyingkirlah," ucap Juna dingin. Methalia menatap gitar itu terus menerus. Tak ada yang berharga kecuali gitar itu. Miliknya harus di ambil kembali. "Kembalikan gitarku," ucap Methalia sendu.  Juna menatap tajam Methalia. Ia tak akan berpengaruh kepada jiwa memelas gadis itu. Dengan kasar, Juna mendorong tubuh Methalia sampai tersungkur ke lantai. "Tangan kotormu menodai jasku. Ambillah besok," ucap Juna sambil pergi meninggalkan Methalia begitu saja.  Methalia masih shock dan menatap nanar Juna yang tengah membawa gitar itu. Pandangan matanya sampai kosong. Tak ada yang lebih menyakitkan hati karena kehilangan benda berharga peninggalan orang tuanya. "Ayah… ibu…," keluh Methalia sambil melipat lututnya.  Hatinya tersayat sampai berdarah. Namun, tak terlihat. Perih, sangat perih. Benda yang selama ini dijaga telah berada di tangan orang lain. Tak ada yang istimewa dari benda itu. Akan tetapi, kenangan yang terajut di dalamnya sangat berharga.  Methalia kemudian bangkit dan berjalan tak tentu arah. Dirinya linglung seperti kehilangan bagian dari jiwanya.  Gadis itu kemudian berhenti dan menatap langit. Berharap sang pencipta memberi jawaban. Ia teringat sesuatu bahwa dalam kesulitan, pasti ada kemudahan.  Dengan tekad yang bulat, Methalia berlari menuju rumahnya. Ia mengambil motor dan bergegas ke kantor. Demi benda itu, ia akan melakukan apapun. Barren Company Juna tersenyum puas setelah berhasil membuat Methalia menderita. Ia turun mobil sambil membawa gitar itu.  Tak ada aura intimidasi yang melekat pada Juna siang itu. Yang ada hanya setitik cahaya yang nampak di wajahnya. Para karyawan mengira Juna sedang jatuh cinta dan akan melamar wanita dengan menggunakan gitar.  Diana melihat Juna dari kejauhan. Ia menatap tajam benda yang dibawa oleh bosnya itu. Diana langsung mengusap kedua bola matanya berulang kali. "Apakah aku tidak salah lihat?" gumam Diana bertanya pada dirinya sendiri. "Itukan miliknya Thalia," imbuhnya sambil melipat kedua tangan. Diana yakin, gitar yang dibawa oleh Juna adalah milik Methalia. Sebab, ia dan Sinta sering melihat gitar itu.  "Aku harus memberi tahu Sinta." Diana melangkahkan kaki dengan cepat. Ia menuju ke kantin dimana Sinta berada. "Sinta!" teriak Diana.  Sinta berdiri dan melambaikan tangan agar Diana melihatnya.  "Penting!" teriak Diana sambil berlari menuju Sinta.  Sinta menggelengkan kepala. "Jangan seperti anak kecil." "Hos… hos… ini… ini bukan waktu...hos bersantai...hos...fiuh..," ucap Diana sambil menyeka keringatnya.  Diana langsung duduk dan minum air yang ada di meja.  "Itu milikku!" teriak Sinta.  "Cih, ada yang lebih penting," ucap Diana sambil menaruh minuman itu. "Bos Juna membawa gitar Thalia." "Uhuk...uhuk…," Sinta langsung tersedak dan minum air. "Apa kau bilang?" imbuhnya menaruh minuman itu.  "Bos Juna membawa gitar Thalia." Sinta langsung berdiri pergi meninggalkan acara makan siangnya. Sedangkan Diana mengikutinya dari belakang.  Mereka berdua berjalan tergesa - gesa sampai menabrak seseorang di depan lift Brug "Au…" ringis Diana dan Sinta bersamaan. "Thalia," imbuhnya sambil berdiri. Orang yang mereka tabrak tanpa sengaja adalah Methalia.  "Kau tak apa - apa?" tanya Diana. Methalia hanya menggeleng dan tak mau menjawab pertanyaan mereka. Ia terlihat sangat muram.  Sinta kemudian memencet tombol lift dan mendorong pelan Methalia untuk masuk ke dalam. Methalia kemudian menatap keduanya dengan sendu.  Gadis itu keluar lift dan berjalan sedikit cepat agar cepat sampai. Ia kemudian mengetuk dan membuka pintu perlahan. Di sana ada sosok yang tengah berkutat dengan berkasnya. Sosok itu mengangkat kepala dan bersemirik. Siapa lagi kalau bukan Juna?  Ternyata, cepat juga dia datang. Juna menatap Methalia yang sedang berjalan tertunduk ke arahnya. Ia sangat senang melihatnya tak berdaya dan tertekan.  "Berhenti!" teriak Juna. Methalia langsung berhenti dan mengangkat kepala mencari gitar itu. Ia menemukannya tak jauh dari tempat di mana Juna duduk.  Juna mengamati segala gerak - gerik Methalia Dirinya akan menggunakan situasi itu untuk menekannya lebih dalam.  "Bukannya aku bilang kau kembali besok?" Methalia hanya diam tak menjawab karena kedua matanya fokus menatap gitar. Tentu saja Juna jengkel dan berdiri mengambilnya.  Gadis itu langsung mengepalkan tangan kuat. "Jangan di sentuh," ucapnya dingin.  Peringatan Methalia di hiraukan oleh Juna. Ia semakin gencar menyentuh gitar itu. Bahkan mengangkatnya tinggi seperti hendak dilempar.  "Saya mohon, jangan…." ucap Methalia sambil merosot  ke tanah dan meneteskan air mata. Deg Juna berbalik arah karena mendengar permohonan Methalia. Ia kaget melihat melihatnya menangis hanya karena gitar usang.  Juna kemudian melempar gitar itu sembarangan. "Barang usang seperti itu, apa istimewanya?"  "Tidak…!"teriak Methalia sambil berdiri untuk menghampiri gitar itu. Namun, dicegah oleh Juna.  Deg  Juna merasakan rasa sakit itu lagi saat air mata turun di antara kedua pipi milik Methalia. Ia kemudian menggelengkan kepalanya.  Kau tak boleh terpedaya, Juna.  Methalia menunduk, "Biarkan saya mengambilnya." Juna mengangkat dagu Methalia. "Simpan air mata buayamu. Aku tak akan berpengaruh," ucap Juna dingin.  Methalia mengusap kasar air matanya. "Aku akan bekerja di sini lagi. Sekarang kembalikan gitarku, Bos." Juna melipat kedua tangan. "Tak semudah itu. Aku akan kembalikan setelah kau bekerja untuk waktu yang lama." Methalia tahu, semua yang dilakukan oleh Juna pasti mempunyai maksud tertentu. Namun, ia tak punya pilihan lain. Sekarang menuruti keinginan Juna adalah hal yang terbaik.  "Berapa lama saya harus bekerja?"  Juna bersemirik, "Tergantung diriku. Jika bosan, kau pasti keluar dari perusahaan." Gadis itu berpikir keras. Jika bekerja lagi disana, pasti akan mendapatkan siksaan dari Juna. Namun, kalau menolak gitar itu tak akan kembali. Lagi pula, ia butuh uang agar tetap bisa membantu Bunda Linda. Sedangkan masalah Alroy, nanti bisa diskusi lagi. Methalia mengangguk, "Saya setuju." Juna semakin senang bisa menang melawan Methalia. "Kau boleh pergi," usir Juna.  Methalia melirik gitar itu dan menatapnya sendu. Ia tak rela kalau meninggalkannya bersama Juna. "Apa yang kau tunggu!? Pergi…!" teriak Juna. Methalia berjingkat kaget dan keluar dengan langkah berat.  Setelah gadis itu keluar, Juna tertawa kesenangan dan mengambil gitar itu. Ia kemudian meneliti dan melotot kaget tak percaya. Bahwa, gitar milik Methalia adalah barang yang sangat berharga.  Gitar legendaris milik penyanyi terkenal Joan F. Ukiran nama tertera di sana menunjukkan ke pemilikkan itu.  Juna mengamati inci bahan gitar itu. Semuanya sangat berkelas dan mahal. Ia berpikir bahwa Methalia telah mencuri barang dan mengakuinya. "Cih, Dia sangat rendah," gumam Juna meletakkan gitar itu dengan hati - hati.  Sementara itu, Methalia berjalan dengan pandangan kosong. Tak ada yang berani menyapa. Hanya Diana dan Sinta yang mendekatinya. "Kau tak apa - apa?" tanya Diana.  Gadis itu menggeleng, "Aku baik - baik saja." Mereka berdua menyeret tangan Methalia untuk pergi ke tempat sepi. "Katakan, apa yang bos lakukan padamu, Thalia?" tanya Sinta.  Ingin rasanya Methalia menangis keras. Namun, ia tahan agar kedua temannya tidak khawatir.  "Aku kerja kembali," ucap Methalia tersenyum paksa.  "Itu bagus…." Sinta sangat senang mendengar hal itu.  "Bagus apanya?" sambung Diana sambil memukul kepala Sinta.  Sinta meringis kesakitan, "Sakit sekali…." Diana memegang bahu Methalia. "Aku berencana mencari pekerjaan untukmu. Tapi, kau malah kembali." Methalia tersenyum, "Aku senang berada di sini." Bohong  Diana berpikir pasti ada yang disembunyikan oleh gadis di depannya.  "Jika kau butuh uang. Aku bisa meminjamimu. Tapi, keluarlah dari neraka ini, Thalia," bujuk Diana. "Jika Thalia keluar, kau akan jadi sekretaris Bos kribo. Apa kau sanggup?" sambung Sinta.  Diana menunduk, tentu ia tak akan sanggup bila harus bekerja di bawah Juna langsung.  "Kau benar," ucap Diana lesu Methalia menghela nafas panjang, "Aku bisa mengatasinya. Kalian kembalilah bekerja. Aku akan pulang." Gadis itu langsung meninggalkan mereka berdua. Ia akan kembali ke cafe sekarang juga. °°°°° Alroy menunggu Methalia dengan cemas. Ia mondar mandir di depan cafe berharap sosok gadis itu muncul.  Alroy menghela nafas panjang dan memilih duduk memikirkan kebersamaan dengan Methalia yang akan berjalan lagi. Hatinya sangat senang karena bisa berdekatan dengan gadis itu.  Tidak ada yang lebih membahagiakan kecuali cintanya yang dekat. Ia akan berusaha memanfaatkan kedekatan itu untuk membuat Methalia luluh dan mau menerimanya.  "Aku harus berusaha keras," gumam Alroy. "Berusaha apa?" tanya seseorang tiba - tiba.  Alroy menoleh kesamping dan tersenyum. Ia tahu Methalia pasti akan datang kembali. Namun, senyumnya memudar saat melihat bekas air mata yang baru kering itu. "Kau menangis? Matamu sembab?" tanya Alroy.  "Aku tidak menangis," elak methalia. Lelaki itu tahu kalau Methalia bohong. Ia langsung menyeret tangannya untuk masuk ke dalam cafe dan memeluk erat.  "Menangislah, Thalia. Jangan kau tahan." Mendengar perkataan itu, Methalia menangis dengan keras dan membalas pelukan Alroy.   Alroy tahu kalau Methalia sama dengan gadis lainnya. Butuh dukungan dan kasih sayang. Walau Methalia berusaha tegar dan kuat untuk membentengi dirinya. Namun, sejatinya ia adalah gadis lemah dan rapuh.  Hati Alroy tersayat ketika mendengar gadis pujaannya menangis. Ia seperti ikut merasakan sakit yang sama. Setelah membaik, Methalia melepas pelukannya. "Terimakasih, Alroy."  Alroy mengangguk, "Ceritakan padaku, kenapa kau menangis?" Methalia tersenyum, "hanya masalah kecil. Kau punya gitar?" Alroy menarik Methalia untuk duduk. Keduanya pun saling berhadapan. "Kau tak bisa bohong padaku. Katakan…!" Methalia hanya diam saja. Ia tak akan melibatkan Alroy dalam masalahnya. Karena gadis itu tak mau membebani siapapun
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN